Tahun ini, Valentine yang jatuh setiap tanggal 14 Februari, bertepatan dengan hari Minggu. Sebuah kombinasi yang luar biasa, kalau boleh kukata. Sebuah perayaan spesial, bertepatan dengan hari libur pula.
Apa yang akan kalian lakukan di pagi hari Valentine seperti ini? Memastikan cokelat yang akan diberikan ke orang terkasih sudah ada di tangan? Memilih-milih pakaian (termasuk dalaman) yang akan dipakai dalam date istimewa bersama pasangan? Atau mungkin ada saja yang bangun sekejap dan menaruh kembali kepala di bantal secara pelan-pelan?
Yah, yang mana saja yang menjadi pilihan, aku tidak akan menyalahkan. Hanya saja, tiada di antara yang telah tersebut di atas menjadi kegiatanku sekarang. Sebaliknya, aku mencoba melakukan hal bodoh—sebelum itu menjadi terlarang.
Dengan memakai perlengkapan lengkap, pagi-pagi sekali aku keluar dari rumah dan mulai berlari. Ya. Di musim dingin begini, pagi-pagi, tanpa memikirkan ada event apa atau semacamnya, aku lari mengitari lingkungan rumah.
Lantas, di mana poin bodohnya? Biar kujelaskan.
Aku ini tidak suka dingin. Terlahir di daerah yang cukup dingin merupakan puncak ironi bagi diriku. Mengagumkan rasanya, mengingat diriku yang sering sakit-sakitan di masa lalu, dan membayangkan seberapa banyak kehangatan yang diberikan oleh orang tuaku sampai bisa bertahan menginjak usia sekarang.
Kendati demikian, aku merasa sudah cukup terbiasa sekarang—semoga. Itulah kenapa, aku memutuskan untuk mencobanya. Hitung-hitung, sebagai tambahan menu olahraga yang telah kumulai lebih dari sebulan lalu. Kalau cuma kalistenik di dalam rumah saja, bosan juga soalnya. Tapi kalau gara-gara ini aku malah jatuh sakit besoknya, omelan pasti tak akan terhindarkan.
Sebetulnya, aku punya variasi kegiatan lain untuk event Valentine begini. Lagi pula, aku adalah siswa SMA yang sudah punya kekasih. Akan tetapi, sayang disayang, karena beberapa alasan, kami tidak bisa bertemu sekarang.
Sudah seberapa jauh atau lama larian ini tak sempat dihitung. Aku cuma terus melangkah, di atas jalan yang masih tertutup salju. Sesekali, langkahku jadi pelan dan ragu, sebab beberapa titik di jalur yang kuambil ada saja area yang beku. Kalau sampai jatuh gegara itu, mukaku bakal berlipat merahnya, sudah karena dingin juga ditambah malu.
Rasanya jadi seperti kereta api sekarang. Jantung yang berdegup kencang ini adalah tungku arangnya. Darah yang memanas di sekujur badan ini adalah air di dalam ketel uapnya. Kaki-kaki yang mulai lelah ini adalah roda besi nan ausnya. Kemudian, mulut yang mengebulkan napas putih ini adalah cerobong asapnya.
Pada satu poin dalam larian, aku mulai merasakan rasa sakit kerongkongan. Ini pasti gara-gara udara dingin. Inikah yang dirasakan oleh Kamado Tanjirou di episode perdana animenya? Mungkin saja, aku tidak yakin. Tapi karena sudah terasa begitu, kuputuskan sesi menguji diri pagi ini cukup sampai di sini.
Pada persimpangan berikutnya, aku belok ke kiri. Menyusuri jalan yang sepi sebentar, lantas sampai di depan gerbang rumah. Tidak langsung masuk, aku berdiam dulu sebentar sembari mengatur napas. Tudung kubuka, begitu pula ritsleting jaket sedikit saja. Setelah beberapa menit, baru aku bergerak lagi.
Buka gerbang, masuk, tutup. Sebelum masuk ke rumah, kupastikan salju dan kotoran di sepatu dibersihkan dulu. Baru setelahnya, gagang pintu yang dingin kugenggam dan kubuka sembari mengucap, “Tadaima.”
“Okaeri.” Langsung saja balasan itu terdengar dari dalam. Kalau dari suaranya, itu pasti Ibu. Kuharap Ibu sudah membuat sarapan selagi aku lari di luar. Tubuh ini butuh asupan segera.
Sepatu kulepas dan kutaruh ke raknya, tepat di tempatnya yang semula. Sambil menurunkan ritsleting jaket sampai terlepas sepenuhnya, aku merangsek masuk ke dalam. Ibu rupanya ada di ruang keluarga, sedang meminum kopi pagi sambil melihat siaran berita harian.
“Sarapan?” tanyaku, penasaran.
Ibuku menoleh, “Ah, maaf, itu masih agak nanti.”
Hm, akan kuanggap aku bangun terlalu cepat. Lagi pula kalau hari Minggu begini, aku memang sering bangun agak siang.
“Ayah dan Kenji?” Topik pun segera kualihkan dengan pertanyaan demikian.
“Jelas, masih belum bangun.”
“Minggu, sih, ya.”
“Sudah tahu ini hari Minggu, juga.” Ibu sudah kembali mengalihkan perhatiannya ke TV. Mungkin aku harus menunggu sarapan dengan melakukan hal lain di kamar dulu. Dan baru aku berpikir demikian, Ibu tiba-tiba menambahkan, “Oh, iya, sebaiknya kau cepat ke kamar sana.”
“Ini aku memang mau ke kamar.”
Sesuai titah Yang Mulia, aku melanjutkan langkah. Tangga yang sempit kunaiki dengan langkah cepat. Meski lantai kayu ini menimbulkan bunyi kalau diinjak, pasti tidak akan membangunkan dua orang lain yang masih terlelap.
Baik, sekarang apa yang bisa dilakukan. Ini masih pagi, dan Valentine tidak akan berakhir dalam beberapa jam saja. Hm, mungkin aku harus mulai melatih otak dan jariku lagi guna membentuk dunia fiksi baru. Sudah agak terlalu lama aku meninggalkan dunia itu belakangan ini, dan sudah pasti itu mempengaruhi kemampuanku yang sebetulnya tidak ada apa-apanya juga.
Atau mungkin sebaiknya aku mandi dulu? Biar kata ini musim dingin, keringat tetap akan bercucuran kalau sehabis olahraga. Yah, mandi pagi di musim dingin bukanlah kegiatan terbaik yang bisa kubayangkan. Tapi—
Hei, tunggu. Kenapa tadi Ibu menyuruhku kembali ke kamar? Setelah kupikir lagi, itu agak aneh. Kenapa Ibu harus mengatakan hal itu, lebih lagi, ‘cepat-cepat’ katanya.