Tuhan ada di dalam angin. Kemudian, angin itu berembus di dunia. Menyapu sebentang padang di daratan, mengangkat gelombang di lautan, membawa dirimu pulang di pagi ini yang masih lah temaram.
Itu benar. Setelah sekian waktu, Tuhan memulangkanmu.
Dari tepi tebing, di ujung tersembunyi pulau ini, kulihat layar kapal terkembang. Darinya keluar satu sampan, berdayung-dayung menuju dermaga kecil yang menjulang dari batas pasir pantai hitam.
Tampak dirimu turun dari sampan itu. Meninggalkan para pendayung yang lelah dan lusuh, memutar arah kembali ke kapal di laut lepas sana.
Aku tidak lagi meluncur turun langsung ke pantai demi menyambutmu macam dulu, sebab kutahu dirimu tak menyukai itu. Maka dari itu, aku berjalan, seakan mengiringimu dari kejauhan, kembali ke pondok peraduan.
Setapak kita semakin berdekatan. Aku mulai bisa melihat seberapa lusuh wujudmu, seberapa lesu parasmu, dan, seberapa parah luka pada pakaianmu. Kalau tidak salah, itu baju tunik baru yang kujahitkan untukmu dulu. Sudah compang-camping, sobek sana-sini sekarang, kasihan.
Gemerincing perlengkapan dan dua bilah pedang di punggungmu itu pastilah sangat berat. Aku bisa mendahului langkah lambatmu kembali ke pondok, kemudian berbalik, dan melempar senyum pertama.
“Selamat datang,” ujarku menumpahkan senang dan lega selagi menyambut.
“Ya. Aku kembali,” balasmu datar dan hambar, seperti yang sudah-sudah.
Namun kemudian, aku tersadarkan sesuatu. Bila ingatanku tak salah, kata yang kudengar sebelum berpisah denganmu dulu adalah “kami berangkat”. Ada sosok yang menyertaimu kala beranjak pergi hari itu. Sesosok orang yang seharusnya membawa salah satu pedang di gendonganmu.
“Di manakah gerangan Tuan Arthur?” tanyaku, waswas dengan jawaban yang akan kauberikan.
“Dia tewas. Kami terpisah, dia terkena racun musuh dan meregang nyawa di sana. Aku tidak bisa membawa jasadnya kembali.” Semua kata itu kauucapkan dengan datar, sedatar pandangan yang kaulempar padaku sekarang. Kendati demikian aku tahu, dirimu pun merasakan hal yang tak menyenangkan.
Angin yang berembus masih dingin, dan makin terasa dingin sebab kabar menyayat hati itu. Aku terdiam sejenak, menunduk, melihat kembali ke hari di mana kalian pergi itu. Berkebalikan denganmu, Tuan Arthur adalah pria yang ceria. Rambutnya hitam legam, mengkilap berlapis minyak, berbeda denganmu, yang putih nan halus bagai bulu perut rusa. Niatnya untuk mencari penghasilan lebih besar bersamamu sebagai tentara bayaran, kini telah merenggut nyawanya. Sungguh, kasihan.
“Kayunya masih ada?” Daguku terangkat oleh tanyaanmu, memberikan sedikit jeda daripada perasaan yang tadi menenggelamkan. Aku segera mengangguk dan menunjuk ke belakang.
“Setelah membuat makam, aku akan mengantarkan emasnya ke keluarga Arthur,” ucapmu seraya berjalan melewatiku.
“Kalau begitu, aku akan memanaskan air untuk mandimu selepas itu.” Aku mencoba bersemangat, memperhatikan punggungmu yang menjauh, dan perlahan menghilang di samping rumah.
Tergopoh-gopoh aku masuk ke dalam, mengangkat gaun supaya lebih mudah berjalan. Selagi dirimu melakukan apa yang hendak kau lakukan, aku melihat apakah sisa hidangan malam kemarin masih layak dimakan. Walau aku tahu dirimu tak membutuhkannya, setidaknya, aku ingin memberi lidahmu suatu rasa yang berbeda dengan yang kaudapat di medan perang sana. Rasa dari rumah.
Selagi menyiapkan apa yang bisa kutemukan, bunyi dari pekerjaanmu terdengar gemanya. Kuberanjak ke pintu belakang, membukanya, dan mendapatimu memotongi kayu. Kau menyilangkan satu, dengan yang lain yang berbeda panjang, kemudian menancapkannya ke tanah. Dengan godam, kautanamkan ia lebih dalam. Menjadi bagian dari sekian banyak nisan kayu di halaman belakang.
Dirimu adalah prajurit Tuhan yang kesepian.
Kita semua, pada kenyataannya, adalah kehidupan yang kesepian. Mendamba akan sesuatu, bekerja untuk sesuatu, merasa demi sesuatu. Itulah yang menggerakkanmu membuat nisan-nisan itu. Mengukir nama orang-orang yang kauanggap teman di kehidupan, tetapi tak memberi mereka tanggal lahir pun kematian. Itu yang mendorongmu untuk memberikan setengah bayaran dari keringat dan darahmu kepada mereka yang gugur di sisimu. Biarpun alasannya berbeda, kita tidak dapat hidup untuk diri sendiri saja.
Aku melihatmu berjalan menjauh. Menapaki jalan setapak, memotong kebun, lantas menembus padang rumput serta pepohonan rimbun. Memboyong satu tas berisi kepingan emas, serta sebilah pedang. Melaksanakan kewajiban menyampaikan duka dan belangsukawa di dalam kata-kata, kepada mereka yang menanti yang tak akan kembali.
Aku sekali lagi menunggumu. Sekalian memasak hidangan yang baru, juga mempersiapkan kayu-kayu pembakar di dekat tungku supaya dapat dengan mudah memanaskan air mandi buatmu.
Mentari mulai meninggi kala kau kembali. Menyeret kaki-kaki itu lesu, dengan muka yang tertunduk melulu. Sesampainya di rumah, kubuka bajumu yang compang-camping. Memberikan satu pelukan penyampai rasa heran tapi juga tenang selepas melihat badanmu mulus saja sama sekali tanpa luka.