[Sudah sampai?]
11.17
[Ya. Menemani orang yang tengah berpikir.]
11.17
[Hah?]
11.18
Aku benar-benar tak paham maksud pesannya.
Hari Minggu ini, aku ada janji kencan dengan si Kacamata. Setelah sedikit rundingan, aku meminta izin ke Ibu (dan seperti biasa, izin itu turun dengan mudahnya). Kami setuju untuk menghabiskan waktu siang di sebuah museum di dekat rumahku.
Kacamata yang menentukan waktu temu pukul 11.30, jadi niatku adalah sampai di lokasi sepuluh menit sebelumnya. Namun, siapa sangka dirinya malah mendahului. Datang lebih awal dari waktu janjian merupakan sebuah aturan dasar, tapi kukira pacarku itu terlalu serius menanggapinya. Terdorong rasa tak mau membuat orang menunggu, pace langkah kunaikkan.
Kota yang diberkahi air, pepohonan, serta puisi. Itulah slogan kota ini. Berjalan menyusuri sungai Hirosegawa di bawah langit musim semi memberikan dua berkah pertama. Dedaunan hijau meneduhkan raga meski mentari sudah mulai menduduki puncak hari. Di saat yang sama, gemericik air menjadi BGM alami guna menenangkan hati.
Sementara itu, berkah ketiga—dan yang membuat kota ini cukup punya nama—baru terlihat di sisi kiri jalan sekarang. Sebuah bangunan tinggi yang cuma punya jendela di bagian puncak dan tengah saja. Tempat menyimpan dan memajang berbagai barang sastra yang terkhusus lahir di tanah ini, Museum Sastra Kota Maebashi.
Meski dekat, aku belum pernah masuk ke tempat ini. Makanya, timbul juga rasa penasaran di hati. Akan tetapi, baru aku mengembangkan senyum tanda semangat, pemandangan lain yang muncul di depanku membuat tertegun.
Ia melompat turun dari undakan. Mengambil langkah, memposisikan diri tepat di batas antara jalan aspal dan ubin yang berwarna kontras. Sepatu berhaknya hitam mengkilap, tepat di bawah rok cokelat kotak-kotak yang menutup sampai mata kaki. Pandanganku naik, dan menemukan sepasang tangan menggenggam sebuah dompet berwarna fuji1. Di atasnya lagi adalah badan yang terbalut sweter putih berlengan puff. Namun yang paling menarik mata ini adalah, tampilan rupa itu.
“Selamat siang, Kreator.” Ia menyapa disertai senyuman hangat. Kepalanya yang agak dimiringkan itu membuat topi baret di atasnya sedikit bergeser.
“Kacamata ... kau ....”
Sambil terbata-bata, aku menunjuk dengan jemari yang kaku.
“Ya, aku mengubah gaya.”
Seperti katanya, berubah gaya. Rambut si Kacamata yang selama ini akrab dengan digerai panjang sepunggung itu kini hilang, bersisa cuma sampai menutupi telinga. Rambutnya bahkan lebih pendek dari Shiki kala kami pertama bertemu dulu. Tak cuma itu, ia juga mengganti kacamata signature-nya dari yang bingkai kotak menjadi bulat. Kombinasi ini, perubahan tiba-tiba ini ....
“Tidak cocok, kah?” tanyanya sambil mencondongkan badan. Dahinya berkerut, sementara senyumnya jadi tampak dipaksa tanda tak enak hati.
“Ti-Tidak! Cocok, kok .... Ya ....”
Ia menarik diri. Berdiri tegap sambil memandang dalam diam. Aku pun tak berusaha memecah keheningan selagi mengagumi tampilan barunya hari ini.
“Kreator, aku senang melihat mukamu sampai memerah begitu.”
....
“Sh*t. Kau tidak perlu mengatakannya, tahu.”
Aku membuang muka, selagi ia menahan tawa di sana. Setelah beberapa saat, situasi kembali terkendali. Gerakan sebelah tangannya membetulkan topi baret di kepala kujadikan aba-aba mengganti topik segera.
“Ngomong-ngomong, ‘menemani orang berpikir’ tadi maksudnya apa?” tanyaku.
“Ah.” Si Kacamata langsung menunjuk sebuah patung di sisi kanannya. Sesosok pria mengenakan kimono yang bersandar sembari mengusap dagu. Aku pun mengangguk paham.
“Kacamata, menurutmu apa yang sedang dipikirkan olehnya?”
“Entah.” Ia menggeleng kecil. “Tetapi, bagaimana kalau kita cari tahu di dalam?”
Mengiyakan ajakannya, kami pun melangkah menuju gedung museum. Tepat di atas pintu kaca yang berbentuk melingkar, terpampang gambar karikatur manusia kucing (jujur, buatku agak menakutkan). Tapi hal itu secara langsung menjadi pembeda bangunan ini dengan yang lain di sekitarnya.
Patung yang ditunjuk si Kacamata tadi adalah gambaran sosok penyair kenamaan kota ini, Hagiwara Sakutarou. Disebut-sebut sebagai “Bapak Puisi Modern Jepang”, Hagiwara Sakutarou memantapkan dirinya dalam kancah kesusastraan negara dengan karya yang boleh dikatakan revolusioner. Dan bangunan museum yang hendak kami masuki sekarang merupakan wujud peringatan bagi dirinya, beserta sastrawan lain yang lahir di kota ini.
“Aku menyukai penampilanmu hari ini, Kreator,” celetuk sang gadis sebelum melangkah masuk. Aku agak kaget, tapi dengan segera mengendalikan diri.
“Yah, aku akan berterima kasih pada sense ibuku.”
Pada faktanya, setelah tahu kalau aku akan berkencan dengan si Kacamata, Ibu tanpa basa-basi mengambil alih kendali outfit-ku. Sejauh sampai mengeluarkan koleksi baju adikku yang lebih kaya dan berwarna—walau akhirnya yang dipilih tetap warna hitam juga. Setidaknya, selera Ibu memang tidak salah.
“Hm, sudah kembali akrab dengan ibumu, ya?”
Ia masuk duluan, dan aku mengikuti di belakang. Tanpa kusadari, kedua mataku terfokus pada tengkuknya yang selama ini jarang sekali kelihatan. Potongan rambut pendek, dan kerah sweter yang agak terbuka itu seakan mengamplifikasi hawa keberadaannya. Aneh memang, tapi begitulah adanya. Pikiran normalku baru kembali kala udara yang agak lebih dingin menerpa.
“Yah, bisa dibilang begitu.”
“Apakah kau meminta maaf menggunakan puisi atau semacamnya?”
“Mana ada.” Aku mengerutkan dahi. “Lagian, ibuku lebih suka prosa ketimbang puisi. Makanya namaku jadi Sakunosuke, bukan Sakutarou.”
“Yang manapun itu, sama-sama pilihan yang bagus menurut hematku.”
Kami sama-sama menebar pandangan, melihat sekeliling lobi yang dindingnya dihiasi marmer putih-abu-abu. Cahaya masuk dari atap kaca di atas lobi, memberikan penerangan berona alami, dan aku sempat terpaku beberapa saat di situ. Sampai kemudian, mata kami berdua tertuju pada sebuah konter di sudut kanan ruangan.
Pertunjukan Mandolin dan Pembacaan Puisi Bebas.
Tertulis jelas judul itu di sebuah banner di dekat pintu. Di sisi tulisan berwarna kuning itu, terdapat tanda waktu pukul 13.00, juga lokasi yang bertempat di auditorium lantai atas.
Aku menoleh ke Kacamata, dibalas dengan gelengan kecil. Ia juga tidak tahu ada event semacam ini hari ini. Tapi kesampingkan hal itu, sang gadis sama sekali tak keberatan. Aku mau lihat, ujarnya yakin. Lantas, kami menyadari penanda lain di atas konter.
“‘Silakan tulis puisi Anda dan masukkan ke kotak’.” Kami membaca bersamaan.