“Semakin panjang sejarah suatu budaya, bakal muncul keleluasaan dalam hati manusia, dan kehidupan sehari-hari mereka akan jadi lebih santai. Itulah yang disebut sebagai ‘dunia yang damai’.”
Selagi aku keheranan, si Kacamata memasukkan sesendok nasi berlumur kare ke dalam mulutnya. Saking herannya, tanganku yang sudah siap mengangkat sepotong sandwich sampai dibuat membeku.
“Kenapa tiba-tiba?” tanyaku.
Ia menatapku, menyunggingkan senyum setelah mengunyah dan menelan santapannya. Dengan santai, ia lantas menyahut, “Karena pas saja.”
Aku masih belum paham. “Pas bagaimana?”
Menunggu sang gadis di hadapanku menjawab, aku pun melandaskan gigitan ke roti isi kedua dari lima potong yang ada di meja. Si Kacamata juga menyendok lagi nasi karenya, kali ini dilengkapi cuilan telur mata sapi dan bacon—yang mana membuatku bingung sekaligus kagum, bagaimana bisa muat di satu sendok makan itu.
“Pertama, karena setelah sekian lama, dirimu akhirnya mendapatkan kehidupan damai yang engkau dambakan, Kreator.”
Aah, itu. Kalau dipikir, memang tidak salah juga. Setelah beberapa bulan waswas menjalin hubungan rahasia dengan gadis berkacamata ini, akhirnya aku bisa dengan leluasa makan di luar bersamanya. Kalaupun ada yang melihat kami di balik jendela kedai ini, sudah tak akan jadi masalah juga—semoga.
“Kedua, karena kebetulan kutipan tadi cocok dengan situasi kita. Dua kalimat dari cerpen karya Hagiwara Sakutarou, Kissaten nite. Bercerita tentang seorang pria yang membawa kawannya dari Osaka untuk menikmati suasana kafe di Ginza.”
“Aku baru tahu Hagiwara Sakutarou menulis cerpen.”
“Yah, dengan ini dirimu pun tahu.”
Dunia yang damai, kah. Sebuah pernyataan yang terasa subjektif di mataku. Kalau setiap orang memiliki dunia mereka, pasti begitu seharusnya. Masing-masing dunia dengan segala macam iklim mereka.
Duniaku baru saja melewati masa perang baik fisik juga batin, tepat dua minggu yang lalu. Kedamaian duniaku sekarang adalah tak perlu khawatir dipukuli sebab alasan sepele, juga tak perlu merasa bersalah akan banyak hal. Sesuatu yang harusnya normal, akan tetapi pada kenyataannya, ada saja yang selalu tak bisa mendapatkan kenormalan itu. Sekali lagi, orang-orang punya dunia mereka sendiri dengan masing-masing iklimnya.
Aku dan si Kacamata melanjutkan makan dalam diam. Menyantap hidangan masing-masing, meresapi setiap rasa dan sensasi dari bahan-bahan yang dipakai untuk membuatnya, kemudian menelan dengan khidmat. Air putih yang hadir dalam gelas mendampingi, dan memastikan kami tidak tersedak selama prosesnya.
Suasana lokasi makan siang kami pun seakan mendukung kenyamanan itu. Udara sejuk dari pendingin ruangan, alunan musik tanpa lirik juga. Jujur, aku lebih menyukai suasana di luar—dekat dengan alam, hanya saja meja bundar kecil di pelataran kedai sepertinya tak cukup menampung pesanan si Kacamata. Makanya, kami diam di dalam ruangan.
Masih sambil mengunyah, aku memandang keluar jendela. Jalan aspal yang sepi, semak-semak hijau, dan dedaunan yang saling bergesekan terlihat biasa saja. Biasa, seperti sebagaimana seharusnya. Inilah bentuk kedamaian dunia.
“Jadi teringat Okinawa, ya.”
Okinawa, kah. Agak aneh setelah menyadari bahwa kami pernah liburan berdua ke Okinawa, bahkan sebelum kami jadi sepasang kekasih. Walau awalnya enggan—karena secara jelas aku ditipu supaya ikut—ingatan yang tersisa memberikan satu kesan yang sama. Hari itu menyenangkan juga.
“Menyinggung Okinawa, aku jadi teringat.” Si Kacamata menaruh sendok dan garpunya. Dengan satu tangan lantas menyibak poni yang menghalangi pandangannya. “Kreator, mengapa dirimu menulis cerita?”
“Serius kau baru menanyakan itu sekarang?”
“Mau bagaimana? Kau juga tak mengingatkanku lagi setelahnya. Hari itu aku sudah terlalu dekat dengan jam tidur, jadi tidak bisa mengingat dengan jelas.”
Sebagai pengingat, hari itu kami harusnya sama-sama mengungkapkan alasan pribadi mengenai diri masing-masing. Setelah si Kacamata bilang mengapa ia memakai kacamata seperti sekarang—yang mana sebetulnya tak dibutuhkan juga—aku baru mau mengatakan alasanku menulis cerita. Pas saat itulah, setingan otomatisnya untuk tidur pukul dua belas malam menyela, menghentikan percakapan secara sepihak tiba-tiba.
Sejak saat itu, si Kacamata tidak menyinggungnya lagi, jadi aku pun diam saja. Tapi kalau sudah ditanyai begini, tak ada pilihan selain menjawab dengan jujur, ya. Lagi pula, ini perjanjian juga.
“Aku menulis cerita karena ... aku ingin abadi.”
Mendadak sang gadis membelalakkan mata. Di balik lensa yang lebih lebar dari biasanya itu, kedua matanya tampak berbinar-binar. Kemudian, senyum yang mengembang membuat ia sedikit menyipitkan mata. Namun, ekspresi itu sudah jadi sepenuhnya.
“Abadi, ya ....”
Abadi. Kekal, tidak berkesudahan. Melanjutkan yang sebelumnya; biar dikata orang-orang memiliki dunia mereka sendiri, tidak semua mewujudkannya dalam suatu bentuk. Diriku—karena berbagai dorongan—menulis cerita untuk itu. Membuat dunia yang berwujud kata-kata, dan memproyeksikan diri, membubuhkan ide-ideku ke dalamnya. Selagi dunia kata-kata itu ada di dunia, dilihat dan dibaca oleh seseorang, maka aku abadi. Meski hanya diwakili oleh ide-ide, aku bakal abadi.
Museum Sastra ini juga punya fungsi demikian. Dengan nama para sastrawan dan karya-karya mereka terpampang, mereka tidak akan terlupakan. Kalau ide adalah hasil dari pikiran dan perasaan—yang mana merupakan tanda kehidupan—seorang manusia, maka kedua hal itu bakal tetap ada di dunia, selagi masih ada yang berkunjung dan menaruh mata pada tempat ini dan karya-karya mereka.
Melihat ekspresi si Kacamata tadi, kurasa ia juga memahami hal tersebut. Keabadian yang kumaksud. Hanya saja, meski begitu, hatiku tetap tak tenang. Diriku ... tidak sehebat mereka yang namanya tertulis di gedung ini. Lebih lagi, tak seperti dulu, orang-orang yang punya minat serta bakat dalam sastra lebih banyak sekarang. Kalau dunia yang damai berisikan orang yang dengan kehidupan yang santai, mereka pasti memiliki lebih banyak waktu untuk mengapresiasi, lalu mencoba mewujudkan dunia mereka sendiri.
“Entah harapan itu bakal jadi nyata atau tidak, menurutku yang penting adalah aku tetap menulis sekarang.”
Benar. Tak tahu apakah bisa, yang penting aku tidak berhenti sekarang. Seperti saat ini, di mana aku agak menyesal karena cuma memesan sandwich yang sedikit hambar, yang terpenting adalah aku tetap memakannya terlebih dahulu. Pokoknya, lakukan saja dulu.
“Kau pasti bisa, Kreator.”