Sesuai dugaan, kantin ramai di jam makan siang ini. Biar begitu, aku harus menahan rasa malas ini demi mendapatkan asupan selain roti dan sebotol cokelat. Demi menu harian gyuudon1 plus telur dan sup miso itu, aku ikut mengantri di barisan mesin kupon.
“Katanya hari ini dia kembali masuk sekolah.”
“Siapa?”
“Itu, lo, senpai yang minggu lalu berkelahi.”
Ada dua orang siswi berdiri berdampingan di antrian depan. Meski kantin dipenuhi riuh perbincangan, tawa canda dan juga panggilan nomor tunggu, bisik-bisik keduanya yang menggaet fokusku. Walau jarak kami cukup dekat, mereka tampaknya tak menghiraukanku sepenuhnya dan terus bicara.
“Katanya, dia menghajar tiga orang sekaligus sampai masuk rumah sakit.”
“Ih, seram sekali. Ternyata di sekolah ini ada berandal macam itu. Aku jadi waswas.”
Siswi satu, yang terus mengucapkan “katanya” itu kelihatannya berhasil menanamkan keresahan dalam hati kawannya. Kuharap rumor yang baru disebutkan itu tidak akan menimbulkan banyak gangguan, karena jujur saja, aku berpikir anak-anak kelas satu seperti mereka punya banyak hal buat dipikirkan.
“Katanya, dia datang ke sekolah pagi-pagi dengan muka masih babak belur.”
“Semoga aku tidak ketemu dengannya.”
Rumor tetaplah sekadar rumor. Katanya, katanya, dan katanya. Sebuah omong kosong yang tidak mempunyai dasar jelas. Kendati demikian, hal tersebut dengan cepat menyebar. Kenapa? Karena menurutku, tiap rumor yang bergerak macam serbuk bunga di musim semi itu terdengar menarik di telinga. Memang, manusia suka sesuatu yang seru, mengesampingkan latar belakangnya.
Aku punya pengalaman kurang menyenangkan dengan rumor yang tersebar di lingkungan sekolah. Hanya saja, bukan berarti aku benar-benar acuh tak acuh padanya. Sekadar tahu bukanlah suatu masalah, pikirku. Apalagi, kalau rumor yang tersebar itu adalah tentang diri sendiri.
“Hei.” Aku menegur dua siswi itu. “Yang di depan sudah maju, lo.”
Pembicaraan mereka yang masih kelihatan itu itu terhenti. Bersamaan, keduanya menoleh ke arahku, sedikit mendongakkan kepala. Dua hal yang langsung kusadari adalah, mata mereka yang membulat menunjukkan rasa tak percaya, dan fokus mereka yang jelas-jelas bukan ke titik pandangku, melainkan dahi sisi kiri.
“Ma-Maaf ....” Siswi yang dari tadi menebar kabar burung berujar dengan terbata-bata. Sementara kawannya diam seribu bahasa, tampak tegang. Keduanya sudah jelas kaget—atau lebih tepatnya, ketakutan.
Yah, aku tidak bisa menyalahkan mereka juga, sih. Kalau sudah dengar rumor tentang senpai yang berkelahi sampai babak belur dan masuk rumah sakit, lantas bertemu dengan senpai yang dimaksud dalam kondisi mengganggu antrian gegara asyik ngobrol, jelas setidaknya mereka bakal merasa canggung. Tapi setidaknya, dengan ini aku mendapat sedikit pencerahan.
Yang pertama, bahwa perbuatan berdasar (setidaknya menurutku) berupa melawan tukang bully yang sudah menghajarmu berkali-kali, sekaligus menolong teman yang hampir dilecehkan dengan menggunakan kekerasan tidak bakal selalu diterima masyarakat. Biar dikata ini disebabkan oleh penyampaian informasi yang tidak komprehensif, tetap saja.
Lantas yang kedua, bahwa dengan ini aku mendapatkan gelar baru. Berganti dari “tukang bersih-bersih” (yang disematkan oleh teman-temanku gegara kebiasaan) menjadi “berandal” yang mana lahir dari penyampaian informasi serampangan seperti tadi.
Kemudian sebagai tambahan, bahwa hawa kehadiranku yang masih tipis kendati dipandang sebagai berandal. Buktinya, bahkan kedua siswi ini tidak menyadari orang yang mereka bicarakan ada tepat di belakang. Antara itu, atau karena gadis-gadis ini cuma tenggelam dalam dunia mereka sendiri.
Yah, yang manapun kemungkinannya, paling tidak aku mendapatkan beberapa informasi. Entah berguna atau tidak, seperti kataku tadi, tidak ada salahnya buat sekadar tahu.
“Ya .... Kalau begitu tolong maju.” Aku mengingatkan kembali, sebab mereka malah masih membatu.
“Si-Silakan duluan!” Masih dengan terbata, mereka mempersilakan. Aku bingung sekarang. Semenakutkan itukah reputasiku sekarang? Ya, lukaku masih belum sembuh semua. Apalagi jahitan di dahi kiri ini suatu saat harus dibuka juga, tapi, ayolah ....
“O-Oke.”
Sayangnya, suasana tidak menyenangkan sudah telanjur merebak. Antrian yang terhenti karena percakapan tidak penting. Beberapa pasang mata sudah terasa mengalihkan fokusnya padaku sekarang. Meski enggan, aku pun memutuskan buat maju, menyalip antrian.
Maju menuju ke mesin kupon, memasukkan uang, lali menekan tombol menu pilihan harian. Dua kupon keluar, diikuti gemerincing kembalian yang terasa agak menyenangkan. Setelah aku menjauh dari antrian, kedua siswi tadi mengembus napas lega. Serius, buat kalian aku semenakutkan itu kah?
Sambil menanti menu dibuatkan, aku memutar mata ke barisan meja. Maksud hati mencari spot kosong, yang kudapati malah pandangan kurang menyenangkan dari orang-orang yang tak tahu kenapa menghentikan kegiatan makan mereka. Beberapa melirik sejenak lantas membuang muka, tapi ada juga yang memandang agak lama, terus berbicara dengan orang di sebelahnya. Sial, ini canggung.
Menjadi sosok yang sesuai dengan nama yang diberikan bukanlah hal buruk.
Ya, aku ingat pernah mengatakan hal seperti itu. Sembari berjalan guna melanjutkan pencarian spot makan, aku teringat Pulau Selatan yang kukunjungi tahun lalu. Di sana, di sebuah kamar hotel tepatnya, aku mengatakan kalimat itu pada sang gadis yang mengajakku ke sana. Waktu itu aku cukup yakin dengan ucapan tersebut, tapi sekarang, mulai hari ini, tampaknya aku harus berpikir kembali.
Berandal, ya. Benar-benar salah kaprah. Yang berandal itu harusnya bukan orang yang sudah dihajar berkali-kali, tapi yang menghajar. Yang berandal itu adalah orang yang berusaha melecehkan teman seangkatan mereka, bukan yang coba menghentikannya. Cuma apa daya? Kalau pandangan orang-orang yang selama seminggu belakangan tidak pernah kuperhatikan sudah jadi begitu, ya sudah biar begitu.
Ya, dikatai dan disangka yang tidak-tidak memang tidak nyaman. Namun lebih dari itu, aku tidak—atau mungkin belum—merasakan dorongan untuk mengubahnya sekarang.
“Saku!” Panggilan tersebut menyelip di antara keriuhan. Dari meja di sudut kantin, seorang gadis berambut hitam panjang melambaikan tangan disertai senyuman. Shiki Yuuko memberi tanda supaya aku datang.
“Oi, Satou Sakunosuke!” Di samping Shiki ada kawannya, Itou Minami. Dia tiba-tiba saja berdiri dan berseru dengan posisi kacak pinggang.