“Jadi Fujiwara-san membuat bekal sendiri?”
Sambil melihat sekotak bekal yang bukan miliknya, Watanabe Rui bertanya. Gadis pemain basket dengan tinggi di atas rata-rata orang seumurannya itu tampak kagum dengan kemampuan teman santap siangnya kali ini.
“Kukira julukan Nona Sempurna itu cuma olok-olokan belaka, tapi ternyata Fujiwara-san memang pantas menyandangnya, ya.” Di sebelah, Ichinose Kanna menganggukkan kepala sambil melipat tangan di dada. Seperti Watanabe, sang siswi berambut panjang dikuncir ini mengakui kawan barunya.
“Orang-orang selalu seenaknya memberi nama atau label pada kita, hanya label itu kadang tak berhasil menggambarkan diri kita yang sebenarnya. Tapi, bakal kuanggap yang tadi sebagai pujian. Asal kalian tahu, memasak adalah skill yang agak terlambat kupelajari.” Fujiwara Amane menanggapi teman-temannya dengan senyuman yang sehari-hari ia sajikan. Baru kemudian, ia menyantap sepotong telur gulung dari kotak bekalnya.
“Kupikir terlambat masih tidak apa-apa, sih.” Yang menyela di sini adalah Yahagi Momoka. Siswi bergaya rambut hime cut ini duduk di sebelah Fujiwara, menyantap tumis kacang di sela-sela ucapannya. “Lagi pula, memasak adalah skill penting buat kehidupan. Semua orang kudu mempelajari paling tidak dasarnya.”
“Huu~ Aku jadi malu ...,” celetuk Watanabe sembari menutup muka. Yahagi yang baru ingat kalau si pemain basket tidak bisa memasak langsung gelagapan dan melakukan follow dengan ucapan, “Aku tidak bermaksud mengejek, kok. Maksudku, ayo kita semua belajar memasak juga!”
“Tenang saja, Rui-chan,” imbuh Ichinose, “aku bisa mengajarimu, kok. Gratis!”
Fujiwara menyantap lagi bekalnya. Sambil mengunyah potongan daging di mulut, ia juga mencerna beberapa informasi yang dapat tersaring oleh telinganya.
Pertama, biarpun Watanabe sangat jago dalam bermain basket, didukung oleh postur badannya yang mumpuni, ia agak terlalu lembut dan sensitif. Kesampingkan sosoknya ketika berlari di lapangan, ketika di kelas begini, ia lebih suka menundukkan kepala. Kontras yang unik, batin Fujiwara.
Lalu yang kedua, soal Ichinose yang punya kepercayaan diri pada kemampuan memasaknya. Fujiwara mengingat kalau si gadis ponytail itu tidak pernah lupa membawa bekal sendiri ke sekolah. Tiap hari berganti, isi kotak bekalnya bakal berbeda lagi. Sesekali sang gadis berkacamata juga dapat kesempatan mencicip, dan ia mengakui, rasa masakannya enak sekali. Tidak kalah dengan Takeda-san, komentar Fujiwara dalam hati.
Saat ini, Watanabe sudah kembali tenang. Meski masih agak cemberut, ia mulai menggerakkan sumpit lagi. Percakapan keempat gadis yang menyatukan meja di pojokan kelas ini terjeda beberapa saat, hingga Yahagi melontarkan topik lain ke tengah meja.
“Tapi, sempurna, kah ....” Fujiwara melirik, menyadari yang dibicarakan adalah dirinya jadi fokus pembicaraan lagi. “Aku jadi berpikir, orang seperti apa yang bisa jadi pacarnya Fujiwara-san. Jadi top di akademik dan olahraga, lalu masih punya banyak skill lainnya ....”
“Kalau dipikir lagi, andai aku jadi laki-laki, aku tidak akan berani mengejarmu.” Ichinose bergabung.
“Kalau semua begitu, hidupku di masa depan pasti dirundung kesepian. Yah, setidaknya aku punya teman.” Fujiwara menanggapi, membuat teman-temannya dan dirinya sendiri tertawa kecil.
“Tapi, dari dulu banyak yang menyatakan perasaannya ke Fujiwara-san, kan? Dulu aku sering dengar anak laki-laki membicarakan itu.” Watanabe berujar agak ragu, melirik kawan-kawannya bergantian.
“Tapi semuanya ditolak. Antara Fujiwara-san punya selera yang memang tidak bisa diikuti kebanyakan orang, atau dia cuma diam soal hubungan romansanya saat ini.” Oleh pernyataan Ichinose itu, Fujiwara mengangkat alisnya. Ia berpikir, kalau sesama wanita memang punya kesempatan lebih besar untuk memahami satu sama lain. “Menurutku yang pertama, sih.” Hanya saja, tetap, tidak semuanya tepat. Fujiwara tertawa dalam hatinya.
Melihat ada kesempatan di dalam jeda lain yang tercipta, Fujiwara mengganti topik segera. Mengesampingkan selera pribadinya, ia meminta izin untuk bertanya. Yahagi merespon dengan sedikit sentuhan canda. “Sila tanyakan apa saja, Nona.”
Akan tetapi, tidak ada yang mengira-ngira pertanyaan dari sang nona konglomerat. Watanabe, Ichinose dan Yahagi seketika memiringkan kepala bersamaan. Yang ditanyakan oleh Fujiwara adalah, bagaimana pendapat ketiga kawannya itu terkait seorang siswa bernama Satou Sakunosuke.
“Satou-kun, ya ....” Ichinose bergumam, sekaligus mengunyah makanan dengan ujung sumpit masih di ambang bibir. Karena diam terlalu lama, Yahagi pun mengutarakan pendapatnya duluan. “Satou, ya. Menurutku dia biasa saja. Agak otaku, tapi masih dalam batas wajar.”
Ketika sang gadis berambut hime cut selesai, Ichinose mengambil gilirannya kembali. “Kalau buatku, Satou-kun orang yang baik, sih. Aku pernah dibantu mengerjakan tugas bahasa Inggris dulu. Kalau tidak salah Rui-chan juga pernah dibantu, kan, dulu?”
“Eh?!” Watanabe gelagapan mendengar namanya disebut tiba-tiba. Ia seketika memalingkan muka, dan menundukkan kepala sembari bergumam. Fujiwara menatap heran gelagat tersebut.
“Rui, jangan-jangan kau masih takut dengan Satou, ya?” Celetukan Yahagi menarik perhatian Fujiwara. Ia langsung menanyakan maksudnya.
“Tidak, tidak! Bukan begitu! Aku cuma ...,” Watanabe menyela sebelum Yahagi melanjutkan kalimatnya, “aku cuma kadang merasa tidak nyaman dengan ekspresinya Satou-kun. Bagaimana mengatakannya, ... agak dingin?”