Kreator & Kacamata - The Anthology 2

Kosong/Satu
Chapter #6

Akses Terbatas - bagian 1

Si Kacamata—Fujiwara Amane adalah sosok teladan yang memiliki kemampuan self and time management mumpuni. Sejauh yang kuketahui, ia dapat membagi waktunya ke dalam sebuah jadwal yang padat, dengan masih sempat membubuhkan waktu kosong untuk sekadar bersenang-senang. Di antara kegiatan di sekolah, olah raga rutin, juga kerja sambilan membantu urusan ayahnya, ia masih bisa memainkan hobinya yang terdiri dari membaca, musik, dan menggangguku.

Ya, ia kadang kala tidak masuk sekolah—karena urusan pekerjaan yang kusebut sebelumnya—tetapi itu pun tetap dalam batas wajar yang diberikan pihak sekolah. Selama setahun lebih aku mengenalnya, tak pernah sekalipun ia izin karena hal-hal seperti tidak enak badan atau semacamnya.

Well, setidaknya sampai hari ini.

Amane demam jadi harus libur sekolah dulu.”

What-the-f*ck?

***

“Saku, aku berpikir ....”

Mendengar namaku disebut, aku mengalihkan pandangan dari layar ponsel ke arah belakang. Di ujung kanan kursi penumpang itu, Azai Tokio mengusap-usap dagu seakan dirinya adalah guru yang maha bijaksana. Entah kenapa aku mencium aroma pendapat tidak bermutu akan keluar dari mulutnya.

“Apakah Fujiwara-san sakit ini ada hubungannya dengan kencan kalian kemarin?”

Sudah kuduga. Tapi karena kekurangan konteks, aku menahan tsukkomi1 terlebih dahulu dan bertanya lebih detail, “Apa maksudnya?”

Seakan tahu kalau pembicaraan akan bermula, Yamada-san menurunkan volume pemutar musik. Memang, sopir pribadi si Kacamata luar biasa pengertiannya. Aku mempertahankan kepalaku yang menoleh ke belakang lebih lama sekarang.

“Ya ... Siapa tahu pas kencan kalian sempat melakukan ciuman pertama, dan gara-gara itu Fujiwara-san jadi demam.”

Oke, setelah kutimbang lagi, pendapatnya itu tidak sepenuhnya bodoh. Meski terdengar mengada-ada, aku pernah baca sebuah artikel yang menyebutkan beberapa jenis penyakit yang bisa timbul akibat tindakan berciuman di bibir dengan pasangan. Hanya saja .... TAPI SAYANGNYA—

“Kami tidak melakukannya,” jawabku, berusaha mempertahankan kesal cool sebab tidak enak rasanya berbicara terlalu keras di samping sopir yang sedang fokus mengemudi.

“Memang ciuman bisa menyebabkan penyakit?”

Iya, Kawanku. Memang bisa.

Ngomong-ngomong, yang bertanya heran tadi adalah Shiki Yuuko. Dia duduk di kursi belakang di bagian tengah. Posisinya yang diapit dua orang yang lebih tinggi darinya memberikan kesan seperti tiga orang ini adalah keluarga. Ayah, ibu, dan putri kecil mereka.

Tokio mulai menjelaskan berbagai penyakit yang bisa ditimbulkan, dan mengejutkan, yang dia sebutkan sama dengan artikel referensiku. Sepertinya kami memiliki sumber yang sama.

“Heeh, aku baru tahu bisa separah itu ....”

Yang barusan berkomentar takut-takut itu adalah Watanabe Rui. Gadis berpostur tinggi—bahkan lebih tinggi dariku—pemain basket yang belakangan ini akrab dengan si Kacamata.

“Loh loh, ada apa, Watanabe? Kau takut karena pernah melakukannya, kah?” tanya Tokio, menggoda.

“Ti-Tidak, kok! Cuma ... aku cuma kepikiran saja nanti bagaimana ....”

“Tapi meski ada kemungkinan begitu, menurutku kita harus mencobanya, sih. Ciuman antara sepasang kekasih itu hal yang lumrah.”

Pada pernyataan sok bijak itu, Shiki mengerutkan dahi. Merasa tak nyaman, kelihatannya. Dan jujur, aku juga. Jadi aku langsung melancarkan komentar pedas.

“Dikatakan oleh ikemen yang suka menjomlo.”

“Berisik kau, Saku! Mentang-mentang sudah punya pacar.”

“Kau yang mulai! Kalau iri, cepat terima salah satu gadis yang menyatakan perasaan padamu tempo hari!”

“Aku punya selera ....”

Lihat selengkapnya