Selepas membawakan senampan kudapan berupa kue-kue kecil dan jus jeruk, Bibi Chihiro langsung undur diri—atau melarikan diri kalau kata si Kacamata—dari kamar ini. Muka sang gadis kelihatan memerah, tak tahu sebab sakit atau sebal, ketika melihat sang ibu berjalan keluar dengan seringai di muka. Aku tidak bisa berkomentar saat ini.
“Jadi, Fujiwara-san, kenapa tiba-tiba potong rambut?” Watanabe bertanya, diikuti oleh satu seruputan jus menggunakan sedotan. Namun belum sempat Kacamata menjawab, Tokio memberikan imbuhan. “Apa jangan-jangan Saku membuatmu marah sampai memikirkan untuk putus, makanya cukur rambut?”
Yang tertawa oleh tanyaan serampangan itu adalah Kacamata seorang saja. Ia lantas menjawab dengan tenang, menjelaskan kalau penampilan barunya ini cuma karena mau coba-coba saja. Dan, menyadur spekulasi si Kacamata sendiri, mungkin karena dipotong terlalu pendek makanya jadi demam.
“Cuma gegara potong rambut jadi demam, kah. Separah itu, ya?” tanya Shiki. Sepertinya dia juga keheranan dengan kondisi Kacamata.
“Aku juga tidak yakin, tetapi, rasanya macam jadi Samson.”
“Orang kuat yang jadi lemah setelah dipotong rambutnya, ya.” Shiki meminum jusnya sedikit, baru kemudian lanjut berkata. “Fujiwara-san saat sehat kekuatannya memang seperti pria, sih, ya.”
Kacamata menyeringai di akhir kalimat itu, tapi kedutan di ujung alisnya memberi tanda bahwa senyum itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Tiba-tiba saja, Kacamata meraih sebelah tanganku dan menempelkannya ke pipinya.
“Tapi sekarang sudah baikan, kok. Demamku pun tidak separah kelihatannya, kan, Kreator?”
Y-Ya .... Kesampingkan keringat yang membasahi wajah pasinya, badan si Kacamata tidak terlalu panas. Seperti katanya, gadis kaya ini sudah mulai baikan. Cukup baik sampai bisa menunjukkan senyum kucing di muka. Shiki mengerutkan dahi melihat ekspresi si Kacamata.
Di mataku sekarang, muncul dua aliran listrik imajiner yang melayang, memotong udara dan bertemu di tengah-tengah. Sumbernya berasal dari pandangan dua gadis yang kuharap segera akrab dan memahami, tetapi tidak mungkin. Mendorong satu sama lain bak dua orang Force user menyambarkan Force Lightning.
“Demam itu kan biasa. Siapa saja bisa kena. Shiki juga di awal semester langsung dilarikan ke UKS, kan?”
Berkat Tokio, lomba tatap menatap antara Shiki dan Kacamata terhenti. Namun sang kendoka masih belum tenang suasana hatinya. Dengan tatapan tajam yang sama, dia mengalihkan pandangan ke Tokio sekarang.
“Kenapa harus dibahas di sini?”
“Ya, mau bagaimanapun kepikiran, kan? Membandingkan Shiki yang langganan ke UKS dan Fujiwara-san yang bahkan hampir tidak pernah sakit. Situasi kalian berkebalikan sekali.”
“Sekarang aku sudah tidak sering ke UKS, ya!”
Kesal, Shiki memukul-mukul pundak Tokio di sana. Meski begitu, si pemuda cuma ketawa saja. Melihat pemandangan ini, aku merasa tidak enak. Padahal kami mau menjenguk orang sakit, dua orang ini malah bercanda saja. Kuberharap saja si Kacamata memaklumkan.
Membiarkan dua orang bermain sendiri, si Kacamata meminta Watanabe mendekat. Ia menanyakan situasi di kelas juga kondisi penghuninya. “Aku juga, sih, tapi Momo-chan dan Kana-chan kaget sekali, lo pas tahu Fujiwara-san sakit,” papar Watanabe, diakhiri kekehan kecil.
Seperti yang di sebelah, Watanabe dan Kacamata mulai asik bicara sendiri. Di sela-sela perbincangan, aku menawarkan puding yang sudah dibeli. Dengan gembira si Kacamata langsung meminta satu. Tanpa basa-basi aku bergerak ke meja guna mengambil barang yang diminta. Saat itulah, ...
“Aku hampir lupa,” celetuk Shiki, “Minamin menitipkan ini padaku. Katanya punyamu, Fujiwara-san.” Yang diacungkan Shiki itu adalah sebuah flashdisk hitam. Sekarang aku paham alasan utama Shiki ikut.
“Ah, terima kasih. Tolong taruh saja di laci meja belajar.”
Mumpung aku di dekat meja, kuambil alih flashdisk tersebut dan membawanya ke meja belajar Kacamata. Sesuai perintah, kumasukkan benda itu ke laci pertama dari atas, lantas menutupnya rapat-rapat.