“Seorang pria melakukan penembakan di sebuah sekolah dasar di Texas, Amerika Serikat. Penembakan tersebut mengakibatkan sembilan belas siswa dan dua ....”
Aku membuang muka, mencoba menepis kata berikutnya yang dilontarkan speaker ponsel di tengah meja. Maksud hati ini memberi pengisi pada kegiatan klub hari ini—yang cuma terdiri dari membaca santai dan menulis bebas—berita tidak menyenangkan malah menampar kami.
Semuanya, baik diriku, si Kacamata, Aizu juga Kobayashi menghentikan kegiatan masing-masing, dan memfokuskan pandangan ke berita. Diam-diam aku mencuri lirik ke si Kacamata yang duduk di sampingku. Gadis berambut pendek itu menurunkan buku bertajuk Sakurajima1 di tangannya dan memandang tajam ke ponsel di sana. Pandangan yang seperti marah juga jijik terpancar di matanya.
Akhirnya kami mendengarkan dalam diam, keseluruhan. Ketika berita berganti, terdengar embusan napas berat, lalu seseorang membuka kata. “Itu tadi berita yang menyedihkan, ya.” Kobayashi yang berkomentar demikian, melempar tatapan pada diriku.
“Ya. Sayangnya, hal tersebut tidak jarang di Amerika,” sahutku, memberikan komentar yang kalau dipikir lagi cuma menambah kesan berat.
“Sebegitunya kah, Senpai?” Aizu bergabung dalam percakapan, keheranan. Namun yang menanggapi kali ini bukan diriku, melainkan Kacamata. “Ya. Saking kerapnya, Wikipedia menyediakan daftar lengkap untuk kasus penembakan di sekolah.”
Si Kacamata bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela di belakangku dan memandang keluar sana. Ia melepaskan tesmaknya yang sekarang bundar, lantas diam seribu bahasa. Selain bunyi video berita dari ponselku, dan beberapa teriakan klub lain di luar gedung, tidak ada yang bersuara. Suasana agak berat seketika.
Sejenak aku bertanya-tanya, kenapa Kacamata menunjukkan ekspresi dan gelagatnya saat ini? Namun jawaban pun tak perlu dicari, sudah langsung datang sendiri. Mengingat dirinya yang dekat dan menyayangi anak-anak di Kane no Naru Oka, mendengar berita penembakan siswa SD seperti tadi tentu merusak mood-nya. Sial, blunder hari ini.
Minta maaf tidak diperlukan, sebab yang tadi juga tidak disengaja. Kacamata pasti memahaminya. Karena itu, aku pun mencoba kembali ke kegiatan menulisku tadi. Mengambil pena kembali dan bersiap berenang dalam imajinasi, sampai kemudian Aizu membuka perbicangan sesi kedua.
“Lagian, kenapa ada banyak sekali kasus penembakan seperti itu, sih?” Siswi kelas satu berambut panjang itu bertanya dengan datar, seperti tidak berharap banyak akan ada jawaban.
Aku menoleh ke Kacamata, berusaha memastikan bagaimana responsnya. Tidak ada apa-apa. Saat itulah, Kobayashi mengajukan pendapatnya. “Itu karena peredaran senjata api di Amerika sendiri, kan?”
“Memang polisi di Amerika tidak melakukan sesuatu soal itu?” Aizu kelihatannya cukup awam dengan bahasan ini, tapi maklum saja. Buat apa juga?
“Tidak, bila mereka tidak memiliki alasan yang tepat, Aizu-san.”
Tiba-tiba saja si Kacamata menyela. Kala kutengok kedua kali, ia sudah membalik badan dan kembali ke tempat duduknya. Menghadirkan senyum yang tadi sempat sirna, lantas mulai menjelaskan lebih rinci.
“Per negara bagian mungkin dapat berbeda, tetapi pada dasarnya kepolisian tidak bisa asal menindak kepemilikan senjata api di sana. Lagi pula, memiliki, menggunakan, juga memperjualbelikan senjata api sendiri merupakan hak warga negara.”
Kenapa? masih menjadi pertanyaan Aizu. Lebih jauh lagi, si Kacamata menjelaskan bahwa kepemilikan senjata api di Amerika merupakan suatu hal yang dianggap setara dengan menyatakan pendapat secara bebas. Diatur oleh konstitusi resmi yang diakui hingga saat ini.