Si Kacamata—gadis bernama Fujiwara Amane ini merupakan sebuah lubang hitam. Begitu kesanku kala pertama bertemu dengannya dulu. Mengapa demikian? Karena meski ada sesuatu yang menarik, selalu saja tidak mungkin untuk menerka ada apa di balik senyum dan perangai indahnya. Selalu ada rahasia. Hari ini, tak jauh berbeda.
Belum lama setelah karya wisata berakhir dan kami kembali dari Kyoto. Hari Sabtu ini kuisi lagi dengan berlatih di dojo milik keluarga Fujiwara. Setelah coba saling pukul dan tendang berdua, tiba-tiba saja si Kacamata menawarkan sesuatu padaku.
“Berminat lihat satu rahasia di dojo ini?”
Tidak paham maksudnya, aku mengiyakan saja. Lantas gadis itu mengajakku keluar dari area dojo, menyusuri lorong penghubung gym dan dojo panahan, menuju ruang terdalam yang belum pernah kuhampiri.
Di balik pintu yang baru pertama kulihat itu adalah tangga, menuju ke bawah tanah. Kacamata menyalakan saklar lampu sebelum menutup kembali pintu dan memanduku turun. Di ujung tangga itu, ada lorong lagi, tersinari lampu yang terpaut jarak seimbang. Singkat saja, sampai kami bertemu pintu lainnya. Membuka pintu itu, Kacamata bercerita:
“Apa yang akan dirimu lihat ini berisikan warisan Keluarga Fujiwara. Satu yang diturunkan langsung oleh kakek buyutku, Fujiwara Shinsei, dan diteruskan oleh putranya, Fujiwara Shinzou, lantas oleh cucunya Fujiwara Yoshihito, hingga sampai padaku sang cicit, Fujiwara Amane.”
Di sisi kiri dari lorong lain yang kutemui ada pintu yang lain lagi. Namun kali ini sedikit berbeda. Di bawah gagang berwarna perak itu, terdapat sebuah panel dengan tombol angka yang menyala. Ketika si Kacamata mulai menekan beberapa tombol di panel itu, aku langsung paham kalau pintunya dikunci dengan kombinasi rahasia.
“8-8-2-1-3-3. Itu nomor kombinasinya. Kumohon kau mengingatnya, Kreator.”
Seketika mataku terbelalak. Meski masih belum tahu apa yang ada di belakang pintu itu, fakta bahwa pengamanannya menggunakan kombinasi angka elektronik memberikan kesan berat. Ketika dengan santai diberi tahu nomor kombinasinya, kupikir siapapun yang Kacamata ajak bakal gelagapan dan bertanya “kenapa?”.
“Karena aku mempercayaimu.”
Tidak ada kata yang bisa kupilih guna membalas ucapan itu. Ucapan yakin yang diikuti senyum percaya diri, seraya sang pemilik berjalan melewati ambang pintu.
Aku mengekor di belakang. Agak kaget ketika lampu terang menyala dengan sendirinya di langit-langit, dan suara berdengung mulai terdengar dan terus terdengar secara konstan. Kata si Kacamata, itu adalah bunyi AC yang mengatur sirkulasi ruangan ini. Lantas, aku bertanya-tanya, ruang apa ini sebenarnya.
Di sisi kananku, ada beberapa konter berjajar. Kubilang konter pun, itu cuma beberapa penyekat berwarna abu-abu dengan meja setinggi pinggang membatasi satu sama lain. Di balik batas meja itu adalah ruangan kosong nan luas dan panjang. Panggilan si Kacamata yang datang tiba-tiba jadi bergema di sini.
Habis menoleh ke sisi kiri, ke arah suara sang gadis menyebut namaku, akhirnya jawaban atas tanyaan menghampiri kepala. Di dinding berwarna biru telur asin itu, tergantung berbagai macam senjata. Dari pistol sampai senapan serbu dan shotgun. Aku mengenali beberapa di antara berbagai wujud dan corak yang ada. Namun satu hal yang sama, kebanyakan dari semua senjata itu memiliki warna oranye di ujung moncongnya.
“Selamat datang di Fujiwara’s Gun Range~!”
Seperti biasa, sambutan yang agak terlambat itu dibawakan dengan senyuman khasnya. Kacamata saat ini berdiri tepat di tengah-dasar dinding bersenjata itu, diapit oleh dua meja dengan banyak laci.
“Tidak payah khawatir, Kreator. Semua yang kaulihat di dinding ini hanya replika. Tiruan airsoft gun-nya.”
Ketika gadis itu berjalan mendekatiku, aku ikut melangkah maju. Makin dekat, kemudian ia berbalik dan menunjukkan padaku apa-apa saja yang ada di sini.
Itu adalah pengalaman yang mengejutkan, tetapi juga menakjubkan bagiku. Memang airsoft gun bukanlah hal yang jarang di Jepang, tapi, kesempatan untuk melihatnya—apalagi sekaligus dalam jumlah besar begini—belum pernah datang padaku. Dengan jiwa aku menatap takjub apa yang ada dihadapan sekarang.
Kacamata menjelaskan bahwa bermain airsoft gun merupakan hobi yang diturunkan dari ayahnya. Sang ayah, mengejutkannya, memiliki lisensi kepemilikan senjata api sungguhan. Kacamata waktu kecil kerap ikut melihat sang ayah berlatih menggunakan senjatanya di lapangan tembak, dan sejak itu ia pun tertarik. Namun karena beberapa alasan yang jelas, Kacamata memutuskan untuk berganti ke airsoft gun.
“Kakek buyutku merupakan infanteri Kekaisaran Jepang semasa PD2. Kemampuan menembak diturunkan ke anak dan cucunya setelahnya, bersama dua senapan yang ia pakai sewaktu bertempur dulu.”