*BRUK!
Tersadar lantas aku mengangkat kepala, mengedip-ngedipkan mata. Rasa pedih di dahi dan malu di hati segera mengikuti. Aku sendiri tak menyangka, saking mengantuknya aku bisa sampai menjedotkan kepala sendiri ke atas meja.
“Kreator, kau tak apa-apa?”
Di sisi lain dari meja bundar ini, Kacamata bertanya dengan nada khawatir. Tak cuma bibirnya, kedua alis gadis itu juga agak melengkung ke atas, membuat suasana terasa canggung. Aku tak menggeleng pun mengangguk guna menjawab, melainkan cuma mengerang sejenak sambil mengusap kepala yang berat.
Padahal aku sekarang sedang ada di kamar si Kacamata, bersama dengan dirinya mengerjakan latihan soal untuk persiapan tes masuk universitas—yang masih cukup lama—nanti. Aku mau bilang kalau angka yang bertemu dengan huruf seperti menghasilkan efek yang sama dengan kloroform, tapi tampaknya ada alasan yang lebih tepat.
“Kurang tidur, kah?” tanya si Kacamata lagi. Kali ini aku bermaksud menjawab. “Aku kemarin kebut mengetik cerpen baru.”
“Sampai pukul?”
“Dua pagi.”
Terdengar suara mendengus setelah jawabanku. Kulihat sang gadis di hadapan menggelengkan kepala, disertai senyuman yang seakan berucap “pantas saja”.
Yah, respons itu tidak salah. Aku memang agak terbawa suasana hari sebelumnya dan cuma memikirkan ending terbaik untuk cerita terbaru. Akan tetapi, yang membuat kelopak mata ini berat tak cuma itu.
Musim panas sudah dekat, kalau boleh dikata. Kami anak-anak SMA sudah berganti seragam dengan yang berlengan pendek. Makin banyak yang tak mengenakan dasi, sebab suhu udara yang melonjak kian hari. Walau demikian, kamar si Kacamata yang luas ini punya air conditioner yang luar biasa. Rasanya begitu sejuk di sini, meski kami belajar di dekat jendela lebar yang tepat mengarah keluar, membiarkan sinar mentari yang tersisa menyusup begitu saja.
“Mari kita rehat sejenak.” Begitu saran si Kacamata setelah menyesap cangkir tehnya. Aku melakukan hal yang sama, lantas melekatkan punggung pada sandaran kursi. Kubiarkan mata menutup juga, untuk sementara.
“Dirimu memang sudah mulai akrab dengan hitung-hitungan itu, tapi kalau sampai tidak ada yang masuk ke kepala gegara mengantuk, lantas apa gunanya?”
Aku masih mendengarnya berbicara, tetapi suara sang gadis makin ke belakang makin terasa pelan. Setelah kubuka lagi mata baru aku sadar, kalau si Kacamata sudah beranjak dari kursinya dan berjalan menuju ranjang berkelambunya sekarang.