“Mungkin tak banyak yang mengira kalau cerpen ini mengisahkan dirimu sendiri yang tengah burn out, Kreator.” Begitu jelas si Kacamata setelah melepas sekilas pandang dari papan mading. Atau lebih tepatnya, sebuah cerpen dua halaman yang dipajang di sana.
“Setiap orang punya pendapat mereka sendiri, Kacamata. Dan perbedaan itu bukan kejahatan.” Aku menyahut, ikut berhenti di belakang sang gadis yang saat ini tengah menatapku.
Lekas setelah pelajaran usai, si Kacamata mengajakku ke perpustakaan. “Ronde kedua,” katanya, sambil menyeret lenganku kendati masih membenahi meja. Tapi setidaknya gadis itu tidak salah. Kami benar-benar akan melaksanakan pelajaran ronde kedua di perpustakaan.
Menganggap diriku terlupa atau apa, ia mengulang ucapannya yang dari kapan lalu. “Ingat, jalan menuju Toudai1 bisa securam Gunung Jarum.”
Tapi meski dengan semangat demikian, perhatian si Kacamata pun teralihkan oleh papan mading di dekat ruang perpustakaan. Karena telanjur berhenti, aku pun ikut melihat-lihat. Dan, ya, sesuatu yang menarik tampak di mata.
“Pride month, kah …,” gumamku, masih sembari memandangi secarik artikel tempelan berjudul demikian. Walau cuma dalam imajinasi, aku membuka sebuah buku catatan dan menuliskan dua kata tersebut pada selembar halamannya. Aku sering melakukan ini, guna menambah cadangan ide cerpen berikutnya.
“Pride month, kah …” Tak tahu kenapa, si Kacamata mengulang ucapanku persis. Hanya saja, ia mengimbuhi satu desahan lemah, lantas lanjut berjalan. Itu … agak aneh.
Mengekor si tutor, aku masuk ke ruang perpustakaan. Yang menyambut pertama ada semerbak aroma kopi yang halus. Pustakawati di sini punya selera yang cukup bagus, kalau boleh kukata.
Di sisi kiri tersusun beberapa meja persegi panjang. Beberapa siswi duduk di salah satu sudutnya, membuka buku yang ditaruh di permukaan meja kayu. Kemudian di belakang mereka adalah deretan rak-rak penuh buku yang tinggi dan besar. Koleksi yang mungkin dapat disaingi dengan mudah oleh si Kacamata di rumahnya. Sementara itu di sisi kanan terdapat konter dengan seorang siswi berjaga. Ke situlah perginya si Kacamata.
“Yosano-san, konnichiwa2.” Si Kacamata melempar sapa tepat ketika aku sampai di sampingnya. Aku mengikuti dengan satu lambaian tangan saja.
Yang menjadi penjaga konter ini adalah Yosano Chiyo. Di antara enam anggota Klub Sastra, siswi ini adalah yang paling kecil badannya. Namun, semangatnya tak bisa diremehkan. Seakan menunjukkan bukti demikian, dirinya juga sukarela menjadi anggota komite pustakawan siswa dan berjaga di perpus sepulang sekolah. Seperti hari ini.
Yosano, yang sedang duduk sambil membaca sebuah buku kecil, membalas sapaan kami. “Senpai sekalian mau pinjam buku?” tanyanya disertai senyum.
“Tidak,” sahut si Kacamata, “kami mau belajar bersama saja. Tapi kalau bersedia, bisa beri aku rekomendasi bacaan ringan?”
Di sini, aku ikut menyela. “Tunggu, bukannya kita mau belajar bersama?”
“Aku akan mengajarimu, Kreator. Tapi selagi dirimu mengerjakan soal nanti, aku butuh sesuatu untuk dilakukan.”
“Ya ikut belajar, dong.”
“Aku sudah belajar duluan. Lagi pula, membaca sebuah karangan juga suatu bentuk pembelajaran.”
“Shit, curang.”