Kedekatan mempengaruhi persepsi, itu sudah pasti. Karena itu juga aku jadi lebih terkejut ketika tahu si Kacamata tidak mengakui golongan homoseksual, ketimbang tahu kalau salah seorang penulis besar termasuk golongan homoseksual itu sendiri.
Wajah si Kacamata tidak mendapatkan cahayanya, atau, begitulah sebaiknya aku bisa mengumpamakan. Tatapan dan bibir somei yoshino-nya sama-sama datar, meski bersitatap dengan seseorang yang harusnya cukup dekat.
Di saat yang sama, aku bisa menyimpulkan kalau Yosano pun terbawa suatu emosi. Beberapa jilid buku berada dalam dekapannya, dan menurutku, itu buku-buku pinjaman yang kudunya Yosano kembalikan ke rak seperti semula. Bukannya melakukan pekerjaan sebagai pustakawati hari ini, dia malah datang ke meja di pojokan ruang yang kami pakai ini dan bertanya demikian. Kenapa?
“Tentu karena itu hal yang tidak masuk akal.” Sambil mengatakan itu, Kacamata membuka sebelah kepalannya. Gestur yang seakan-akan menukaskan bahwa ucapannya tadi sudah jelas sekali.
Yosano mencondongkan badannya sedikit lalu membalas, “Tapi kalau kita melihat kembali sejarah, homoseksual sudah terjadi dari zaman Mesir kuno. Senpai tidak berpikir kalau hal tersebut sudah jadi hal lumrah dalam kehidupan manusia?”
“Pembohongan dan pembunuhan juga sudah terjadi sejak manusia diturunkan ke dunia. Apa kita harus menganggap dua hal tersebut lumrah juga? Kurasa tidak.”
Kerutan di kening Yosano semakin intens, sementara si Kacamata bergeming. Mataku melacak garis ekspresi keduanya secara bergantian, dalam diam.
“Aku tidak yakin ini dan itu dapat disandingkan, Senpai. Kupikir itu terlalu berlebihan.” Berkata begitu, Yosano lantas menegakkan punggungnya.
“Paling tidak mereka memiliki persamaan.” Kacamata di sini pun coba merilekskan diri, menyandarkan diri pada kursi.
“Yaitu?”
“Semuanya sama-sama dilaknat Tuhan.” Kacamata sekali lagi membetulkan posisi tesmaknya dengan satu dorongan jari. “Dirimu tak mungkin tak tahu kisah Sodom dan Gomora, Yosano-san? Negeri yang ditunggangbalikkan oleh murka Tuhan, serta penyebabnya ….”
“Dewa-dewa Shinto dan Buddha tidak bertindak begitu!” bantah Yosano kuat.
“Sebuah sistem dengan nama berbeda.” Kacamata mencondongkan badan ke arah meja, menaruh dua siku di permukaannya dan menyatukan kepalan tangan di depan mulut. “Andai kita tidak bisa menggunakan nama Tuhan dalam percakapan ini, aturan-aturan manusia juga sudah memberikan penjelasan.”
Dalam jeda yang diberikan, Yosano tak membalas. Kacamata mendengus pelan, lantas kembali menjelaskan, “Konstitusi Jepang, artikel 24 paragraf 1 dengan jelas menyatakan, ‘pernikahan harus didasarkan hanya pada persetujuan bersama dari kedua jenis kelamin’.”
Kali ini Yosano dengan sigap membalas, “Tapi Senpai, bukannya konstitusi yang sama juga menyatakan bahwa semua orang setara di mata hukum tanpa ada pembedaan terkait politik, ekonomi, kepercayaan, jenis kelamin, dan lain-lainnya?”
Kacamata menyela, “Artikel 14, ya.”
“Benar.” Genggaman sang pustakawati pada buku-bukunya makin erat. “Tidak mengakui hubungan sesama jenis seperti itu merupakan diskriminasi yang tak beralasan. Aku yakin, Senpai, mereka juga cuma mau hidup dengan damai dan mencintai apa yang mereka cinta seperti kita. Aku tidak melihat sesuatu yang buruk dari hal tersebut. Dan kalau melihat survei, sekitar 68 persen penduduk Jepang menerima homoseksualitas. Menanggapi hal tersebut, pemerintah juga membuat partnership oath system yang dilaksanakan oleh 50 kota di penjuru Jepang.”