Aku punya kecenderungan untuk diam ketika dihadapkan pada topik-topik yang sensitif.
Sesuatu yang kulihat dapat dengan mudah menyinggung hati seseorang, bukanlah sesuatu yang secara nyaman dapat dijadikan pembahasan. Homoseksual atau LGBTQ+ (serius, singkatan ini tidak terasa seperti singkatan) termasuk ke dalamnya.
Ah, jadi teringat waktu kematian Saki.
Paling tidak, dengan mendengarkan, aku pun mendapat sedikit banyak pemahaman. Semua argumen debat yang dilontarkan kedua sisi, yang entah dari mana dan dari kapan mereka punya. Melihat dari sisi berbeda memberikanku perasaan yang berbeda pula, dan mungkin itu akan membantu di masa yang akan datang.
Tapi, sebelum masa itu mungkin menghampiri, sebuah pertanyaan sudah hinggap di kepalaku. Kesampingkan si Kacamata—yang setelah kuingat memang dari dulu punya pola pikir yang berbeda—kenapa Yosano begitu bersikukuh dengan pendapatnya? Kenapa anak kelas satu itu punya pemikiran seperti itu.
Seperti katanya, lebih dari setengah warga Jepang menerima homoseksual. Akan tetapi, tetap saja, kenapa? Aku belum pernah bertemu secara langsung dengan golongan penyuka sesama jenis, jadi tak bisa mengira-ngira bagaimana rasanya. Paling banter cuma ekspos representasi aspek tersebuk di media dan pop culture.
Karena hal tersebut, saat ini pun aku tidak bisa bilang mendukung atau menolak hubungan sesama jenis. Penilaianku masih berupa “selama tidak memberikan kerugian tidak apa-apa”, dan aku tidak terlalu memikirkannya.
Apakah Yosano memiliki pengalaman tersendiri dengan penyuka sesama jenis? Atau malah dia sendiri yang penyuka sesama jenis?
Pertanyaan itu terjawab di hari berikutnya, ketika sahabat Yosano sekaligus anggota lain Klub Sastra datang menghampiriku. Murasaki Tooko, gadis dengan tahi lalat di sebelah mata kanannya itu menghubungiku pagi-pagi, dan minta ketemu sebelum bel jam pertama berbunyi.
Di ruang klub yang sepi, ia menanyakan pasal pertengkaran (kalau bisa disebut demikian) Yosano dan Kacamata. Sebab-sebabnya, situasinya. Kujelaskan apa adanya.
“Ah, sudah kuduga,” ujarnya menanggapi penjelasanku.
“Murasaki, apa kau tahu kenapa Yosano begitu?”
Sambil memainkan ujung rambut di pundaknya, Murasaki kelihatan ragu. Aku sendiri tidak berniat memaksa, mengetahui gestur tak nyaman itu. Namun, pada akhirnya dia pun bercerita.
“Chiyo-chan punya seorang kakak perempuan yang beda tiga tahun. Mereka sangat dekat, dan aku juga sering main dengan keduanya.” Murasaki bercerita tanpa menatapku sama sekali. “Tapi suatu hari, terungkap kalau Kayo-chan—kakaknya Chiyo-chan ini lesbian.”
Orang tua Yosano yang tahu hal itu tidak bisa menerima putri tertua mereka, dan sang ayah dengan keras mengusirnya. Memutus hubungan keluarga melalui beberapa patah kata saja. Yosano dan Murasaki melihat kejadian tersebut secara langsung, dan saat itu menjadi kali terakhir mereka melihat sang kakak. Ini benar-benar cerita yang tidak menyesakkan.
“Karena hal itu, belakangan ini Chiyo-chan mulai belajar mengenai LGBT. Hak-hak serta perjuangan mereka. Chiyo-chan bilang, dia mau membuat dunia yang lebih baik bagi golongan-golongan tersebut. Dia tidak mau ada yang seperti kakaknya lagi. Diusir, dikata-katai, tidak diakui. Makanya, Chiyo-chan senang bukan main ketika tahu Maebashi juga mengadopsi partnership oath system dulu.”
Di akhir percakapan ini, Murasaki juga menambahkan: meski Yosano belum secara publik mengatakan dirinya mendukung homoseksual, kelihatan dia memang berniat menjadi aktivis nantinya. Meski tidak termasuk ke dalam golongan penyuka sesama jenis, dia berniat memperjuangkan hak-hak hidup mereka.