“Oke, istirahat 15 menit!”
Ketika pemuda berambut undercut itu berseru demikian, ayunan shinai pun terhenti. Para kendoka yang sebagian besar terdiri dari anak kelas satu dan dua pun mengakhiri latihan dasar mereka, segera memecah barisan. Semua, kecuali satu orang yang masih bergerak dalam diam.
Shiki Yuuko, selalu memberikan latihan yang lebih keras pada diri sendiri. Setelah dua puluh ayunan tambahan, baru ia bergabung dengan yang lainnya. Menurunkan shinai, menaruhnya di sebuah sudut yang aman, dan beranjak keluar dari dojo.
Gadis itu melepaskan kunciran rambutnya, menggeraikan helai-helai yang berkilauan karena keringat bercucuran. Sambil berjalan menuju mesin penjual otomatis di sebelah gedung olahraga, Yuuko menggulung lengan gi-nya, mengekspos lengan yang gerah pada udara.
Di mesin yang menyediakan berbagai minuman dingin itu terdapat salah satu kesukaan sang kendoka. Soda mixed berries. Namun setelah sadar bahwa entah kenapa pilihan lazimnya tidak ada, Yuuko mengembus napas sebal, lantas melirik minuman ringan lainnya.
“Melon mungkin enak juga,” gumam Yuuko rendah.
Beberapa saat kemudian bunyi berdebuk terdengar. Dilanjutkan oleh suara tegukan ganas dari seseorang yang seperti menemukan oasis di tengah gurun. Pada akhirnya Yuuko menikmati minumannya tanpa peduli rasa yang ada, sebab dahaga tak menaruh perhatian apa-apa.
“Shiki, tumben minum rasa melon?”
Yuuko menurunkan minuman di tangan, lantas menoleh. Diam saja sampai si pemuda yang muncul dan bertanya sampai di hadapannya. “Sedang mau ganti suasana, kah?”
“Tokio,” Yuuko membalas, “kebetulan saja mixed berries-nya habis.”
Sebelum si pemuda yang dipanggil Tokio ini menyahut lagi, Yuuko menenggak kembali minumannya. Mendesah puas ketika botol sudah tinggal tiga perempat.
“Jadi, bagaimana rasa melon? Cuma memberi tahu, tapi minuman itu favoritku, lo.”
Begitu, kah ...., Yuuko berkata dalam hati, menangkap sebuah informasi baru. Sambil memberikan pendapat bernada positif pada pertanyaan si pemuda, Yuuko mengingat-ingat kembali. Soal si Azai Tokio ini, pemuda yang menyarankan olahraga kendo padanya ini, Yuuko tidak banyak tahu.
Terbawa arus perbincangan, keduanya pun mendudukkan diri pada bangku di dengan mesin penjual otomatis. Berbicara santai sembari menanti keringat di badan hilang dengan sendirinya.
Seperti Yuuko, Tokio baru saja masuk sesi istirahat dari latihan sepak bolanya. Seperti Yuuko lagi, peluh membasahi seragam latihannya. Menjadi pilihan normal bagi keduanya untuk mencari minuman dingin segera.
“Oh iya, Shiki, kudengar dari Yuusuke kalau kau selalu menambah ayunan sebelum istirahat. Kenapa?”
Sebelum menjawab ungkapan penasaran Tokio, Yuuko refleks menatap telapak tangannya. Lebih fokus lagi, pada kulit-kulit yang mengeras di pangkal jari tengah dan jari manisnya.
Melihat gestur itu, si pemuda teringat akan sesuatu. Kebiasaannya mirip dia, ya, gumamnya dalam hati.