Saku.
....
Saat membuka mata, wajah Ibu terlihat tepat di atas kepalaku. Selain wajah yang belum dijalari kerutan itu, sunyi senyap yang agak canggung pun menyapa. Dalam jeda aku berimajinasi, membayangkan ucapan apa yang ada di balik raut setengah terkejut itu. Apa Ibu membangunkanmu? Sekolah hari ini melelahkan, ya? Atau .... Apa Saku lapar?
“Maaf, Ibu membangunkanmu, ya?”
Oh, ternyata yang pertama.
Ya, memang aku barusan tertidur. Hanya saja seingatku, aku tertidur di lantai ruang keluarga tanpa bantal atau semacamnya untuk menyangga kepala. Namun saat ini, kepalaku sudah berada di pangkuan Ibu. Aku terlelap di pangkuan Ibu macam tidur siang di zaman kanak-kanak dulu.
“Tidak.”
Mengedip beberapa kali, aku bangkit lantas mengusap muka. Langit di balik pintu kaca di hadapan sudah memerah rupanya. Sudah sore, ya.
Aku baru teringat. Ibu biasanya akan menegur kalau aku tidur sore-sore begini. Akan kusebut sebuah keberuntungan karena alih-alih dimarahi dan bangunku akan disertai mood yang berantakan, Ibu malah memberiku sebuah pangkuan.
“Hari ini melelahkan, ya?”
Aku menoleh balik pada Ibu. Dengan lemas menggeser badan supaya menghadap wanita yang masih melakukan seiza itu. Aku menggeleng.
“Tidak terlalu, kok.”
“Yang benar?”
Hm, jawabanku kurang meyakinkan, ya. Tapi wajar saja, sih. Mulai awal tahun kalau pulang sekolah pasti aku menyempatkan olahraga, entah lari atau push up semacamnya, dan jelas Ibu tahu soal itu. Menemukan putranya tergeletak pulas di ruang keluarga—belum ganti baju pula—pasti setidaknya menimbulkan satu atau dua pertanyaan.
“Iya.”
Ini hari Kamis—pelajaran olahraga sudah kemarin—dan tidak ada kegiatan berat hari ini. Sedikit penat dan peluh tetap akan terkumpul, tapi harusnya itu tak akan membuatku KO cuma gegara berbaring di atas tatami. Cuma ....
“Saku kekenyangan makan snack, kah?”
Mengucapkan itu, Ibu melirik sebuah kotak di dekat kaki meja teh. Isinya adalah kue cokelat, terpisah dalam seka-sekat berjumlah dua puluh buah. Setengahnya sudah kosong, berpindah ke perutku. Aku memang memakannya, tapi mana mungkin aku kenyang hanya dengan snack begitu.
“Dari Amane-chan?”
“Ya.”
Ibu menggapai kotak itu, menjumput sepotong isinya yang berbentuk hati dengan dua warna. Sudah beberapa kali aku membawa pulang berbagai macam kudapan ke rumah, dan ya, itu pemberian orang. Atau harus kubilang, “seseorang”. Seseorang yang namanya disebut Ibu barusan.
Kebetulan, nama itu disebut sekarang. Kurasa Ibu semakin dekat dengan jawaban. Kenapa aku tertidur di ruang keluarga sore-sore begini?
“Aku tadi sedang berpikir,” cetusku lirih.
“Soal Amane-chan?”
Aku ... memang jatuh cinta, tapi bukan berarti yang ada di kepalaku cuma gadis yang kusuka. Tiba-tiba terlintas di pikiran, kalau Ibu juga punya sisi jahil sama seperti si gadis yang kami bahas ini. Namun, kesampingkan itu dulu. Karena ada hal lain yang seketika menendang sakelar urgensi untuk diperbincangkan.
“Soal universitas.”