Boxing atau tinju sudah menjadi sesuatu yang akrab di telinga orang-orang, bahkan bagi mereka yang tidak menekuninya. Olahraga sekaligus bela diri ini dapat dilacak sejarahnya hingga 6000 tahun sebelum masehi, menjadikannya salah satu olahraga tertua di dunia. Lagi pula, manusia sudah menggunakan tangan mereka untuk berbagai hal semenjak kemunculan mereka di dunia. Boxing yang ada sekarang dapat dikatakan sebagai efisiensi sistem yang sudah ada dari awal.
Fujiwara Amane menjadikan boxing sebagai olahraga favoritnya. Mulai berlatih memukul sejak usia sepuluh tahun, ia sudah cukup terbiasa hingga bisa dikatakan jago sekarang. Meski ada banyak lagi seni bela diri dan variasi yang muncul dan ia pelajari, olahraga yang menaruh fokus pada tangan ini tetap jadi yang pertama di hati sang putri.
“One-two, hook, two, hook.”
Sepulang sekolah. Tak lama setelah turun dari mobil antar-jemputnya, Amane melangkahkan kaki ke gym yang ada di sebelah barat bangunan rumah utama. Belum mengucap salam tanda pulang, belum juga berganti seragam. Ia masuk ke gym, melepaskan blazer dan dasi merahnya, lantas meraih sarung tinju guna membungkus kepalan. Secara tiba-tiba, sang tuan putri berkacamata memutuskan untuk berlatih melayangkan beberapa pukulan dasar.
“One-two, one-two, hook.”
Amane bak menari-nari sekarang. Sinar mentari sore yang kekuningan masuk dari jendela, menggantikan chandelier yang biasanya menerangi lantai-lantai dansa. Bunyi benturan tinju dan samsak terdengar bak genderang, menentukan tempo musik yang dialunkan. Decit sepatu dan lantai, juga embusan napas singkat di tiap pukulan dari sang gadis sendiri menjadi tambahan aksen yang khas.
“One-two, uppercut, two, hook.”
Samsak berayun-ayun terkena pukulan. Amane pun bergerak, melangkah ke kanan-kiri depan-belakang demi menyesuaikan. Tiap melayangkan lima serangan, ia akan berpindah posisi. Menganggap bahwa samsak yang bergantung di hadapannya adalah lawan—pelatihnya yang saat ini tidak hadir karena jadwal yang berbeda.
Sementara itu, mengenakan setelan kemeja berdasi dan rompi, seorang pria menyusuri koridor gym. Di tangan kanannya sebuah handuk, sementara tangan kirinya membuka tutup sekotak rokok—hendak memastikan berapa batang sisanya. Pria itu menyelukkan rokok ke saku celana ketika berhenti di depan pintu kaca. Sosok Amane yang masih berlatih terlihat di sebaliknya.
Tok tok tok!
Si pria menanti, tetapi orang yang ada di dalam gym tidak memberikan respons apa-apa. Ia pun mendorong pintu, masuk, lantas menutupnya pelan-pelan. Tanpa mengucap permisi, tanpa menunggu gadis yang bertinju di hadapannya berhenti, si pria berkata, “Nona, Tuan Besar memanggilmu.”
“Adakah sesuatu, Yamada-san?” Amane membalas, sembari terus bergerak.
“Katanya ada laporan masuk, dari tim ekspedisi.”
Baru setelah mendengar itu, sang gadis terdiam. Ia menoleh ke pria yang dipanggilnya “Yamada”. Samsak yang berayun turun ia hentikan dengan satu tangan, sebelum berjalan ke arah si pria.
“Akhirnya.”
Bunyi velkro terdengar sekilas kala Amane melepaskan sarung tinju, yang lantas ia serahkan ke Yamada. Si pria sendiri menyodorkan handuk di tangan, yang langsung dipakai sang gadis untuk menyeka seberkas keringat di wajahnya.
Yamada menggantungkan sarung tangan tadi di dinding, ganti menyambar tas serta blazer sang gadis, berjalan kembali ke sisinya. Amane, selesai menyeka muka, tersenyum senang dan puas. Keduanya lantas berjalan keluar dari gym berdampingan.
“Laporannya baru saja masuk?”
“Iya. Tuan Besar sudah membacanya duluan, sih. Makanya aku disuruh memanggilmu.”
“Kuharap kali ini ada perkembangan.”
“Ekspedisi ini sudah memakan waktu lama sih, ya.”
Hubungan Amane dengan Yamada cuma sebatas majikan dan pelayan. Meski demikian, Amane meminta pria itu untuk berbicara dengan santai ketika bersamanya. Sedikit terkesan aneh, sebab sang gadis sendiri selalu berbicara dengan bahasa sopan kepada siapapun, bahkan para pembantu di kediamannya, dan Yamada juga menyadarinya.
Namun, sang majikan tetap memaksa. Sesekali mengajak bicara pria yang melayaninya sedari kecil itu untuk berbicara tentang berbagai hal layaknya seorang teman. Hingga pada akhirnya, terciptalah situasi seperti ini.
“Ngomong-ngomong, Nona, kenapa tiba-tiba latihan boxing?” tanya Yamada penasaran.
“Hari ini aku merasa tak tenang.”
Penasaran Yamada berubah jadi bingung. “Tidak tenang?”