Kreator & Kacamata - The Anthology 2

Kosong/Satu
Chapter #11

Ke Depannya - KUROGANE

Asap mengepul ke langit-langit ruangan. Para lelaki yang kebanyakan berpakaian rapi—dengan setelan jas dan kemeja—hampir semuanya menyulut rokok di antara jemari, tak terkecuali Kurogane Rikiya. Sementara ada beberapa hadirin yang berdiri sepanjang tembok, dirinya duduk di sofa bersama enam orang lainnya.

Di atas meja, gelas sudah disebar ke masing-masing yang hadir. Botol-botol minuman keras yang tersedia sudah dibuka, mengimbuhi aroma lain ke udara ruangan yang sudah terpolusi asap rokok dan parfum para penghuninya, tidak bisa bersirkulasi karena jendela ditutup semua. Beginilah suasana rapat kelompok Ryuujinkai.

“Jadi, ....” Karena satu kata bernada rendah itu saja, kepala orang-orang berpaling dari rokok dan minuman mereka. Semua tertuju pada satu titik, pada seorang pria paruh baya berbadan gempal yang duduk santai di balik meja kerja. Wajahnya datar, sedatar gaya bicaranya. Meski demikian, tak salah lagi suaranya adalah satu yang paling didengarkan. “Memang tidak mengenakkan, tapi aku telah membatalkan kerja sama dengan Seiko.”

Tidak ada respons yang berlebihan. Rikiya menjatuhkan pandangan ke lantai sembari mengusap dagu, sementara dari sisi lain terdengar dehaman rendah. Seakan-akan semua yang berkumpul di ruangan ini saat ini memang sudah menduga bahwa si pria yang kelihatan sebagai bos mereka itu akan berkata demikian.

“Tetapi,” lanjut si pria berbadan gempal. Ia menjeda kalimat sejenak untuk membenahi posisi duduk di kursi yang berputar. “Bukan berarti semua bakal kita buang begitu saja. Kita akan mencari rekan baru, dari tempat yang baru. Revisi.”

Segera salah seorang yang hadir mengangkat tangannya, meminta izin. Sesosok pria bergaya rambut cepak yang duduk di samping Rikiya, Kurosaki Nagare namanya. “Bagaimana dengan penanggung jawabnya?”

“Penanggung jawab rencana ini juga akan kuganti, meski tidak sekarang.” Si Bos melirik datar ke arah si cepak dan Rikiya. “Kuharap, kalian tidak tersinggung.”

“Jelas tidak, Bos,” sahut Nagare cepat.

“Tentu tidak, Bos. Malah, aku yang harus minta maaf karena menyebabkan masalah ini. Andai saja aku tidak main-main dengan gadis tengil itu.” Rikiya berbicara dengan muka tertunduk, melihat kembali masa beberapa minggu yang lalu sebagai salah satu kesalahan terbesarnya.

Si Bos terkekeh sejenak, lantas memutar kursi agak ke kiri dengan ujung kaki. “Tengil memang, tapi Putri Fujiwara tidak bisa diremehkan. Aku tidak akan menyalahkanmu karena ini baru kali pertama. Hati-hatilah, karena dia bisa tahu sesuatu yang kita tidak tahu.”

Tangan Bos mengawai permukaan meja, sementara matanya berenang, memindai sesuatu. Ketika ujung telunjuknya berhenti dan menekan ujung selembar foto—menariknya ke tepian, ia mengangkat foto itu dan melemparnya. Begitu tepat, foto itu melayang berputar-putar dan mendarat di meja Rikiya.

“Tugas barumu, Rikiya. Carikan aku anak yang mirip dengannya.”

Dalam satu gerakan mulus, Rikiya mengangkat dan membawa foto itu ke depan wajahnya. Seorang gadis terpampang, dengan seragam sekolah berupa blazer hitam dan rok kotak-kotak. Ia mengenali gadis ini.

“Shiki Yuuko,” gumamnya lirih. “Yang kemarin tidak memuaskan, ya, Bos? Kalau tidak salah belum ada dua minggu.”

“Dari penampilan memang mirip, tapi bagian dalamnya aku tidak terlalu suka. Carikan lagi.”

Mengangguk paham, Rikiya menaruh kembali foto tersebut ke atas meja. Di sini ia berpikir, kalau kriteria Bos mulai berubah dari usia muda menjadi kepribadian semata. Atau lebih tepatnya, sifat yang mirip dengan gadis di foto tadi.

Bermain dengan gadis muda adalah hobi pimpinan kelompok yakuza ini, dan mencarikan gadis-gadis sesuai keinginan Bos adalah pekerjaan Rikiya. Secara kebetulan, pekerjaan itu juga yang membuatnya dekat dengan kelompok ini.

“Kukira dengan membunuh ayah anak itu, aku jadi bisa membuatnya jadi milikku sepenuhnya. Sedih, dia malah jatuh ke tangan Fujiwara. Tanganku kurang cepat.”

Bos menggelengkan kepala. Seperti Rikiya sebelumnya, menyesali satu kesalahan dalam hidupnya. Pertanyaan yang dulu muncul di kepala Rikiya kini mengapung lagi. Kenapa tidak kita rebut saja Shiki Yuuko dari Fujiwara? Namun ia tak berani menyuarakan, sebab Nagare—anggota kelompok yang jadi akrab dengan Rikiya—sudah pernah menjawabnya.

Kelompok Ryuujinkai menjalin perjanjian dengan keluarga Fujiwara untuk saling tidak mencampuri urusan. Tanpa alasan yang jelas, tidak ada yang boleh mengacau di wilayah yang telah ditentukan satu sama lain. Ryuujinkai menunjuk beberapa pachinko, bar, dan pemandian. Sementara itu, keluarga Fujiwara meminta sebuah panti asuhan yang kebetulan menjadi tempat singgah Shiki Yuuko selama setahun belakangan.

“Si Fujiwara ini ...,” ujar laki-laki muda di pojok ruangan. Sepertinya keraguan akan posisi Fujiwara yang sebenarnya tidak hanya ada pada Rikiya. Ia mengambil sedikit jeda, memikirkan pilihan kata yang tepat. “Seberbahaya itu, kah, Bos?”

“Hm, seperti Rikiya, kau juga orang baru, ya. Pantas kalau belum tahu.” Si Bos berbicara tanpa menatap lawannya. Ia menyandarkan diri ke kursi, mengambil posisi serileks mungkin. Jari-jari gemuknya yang berhias cincin disilangkan, berdiam di atas perut.

“Semenjak aku duduk di kursi ini, sebagai orang yang kalian hormati, keluarga Fujiwara sudah menjadi keberadaan yang patut diwaspadai. Tapi, gadis itu, Fujiwara Amane membawa hal ke tingkat yang berbeda lagi. Kalau harus kubilang, ya ... dia adalah orang yang serakah. Nafsunya itu, ya ... sepadan, atau bahkan lebih dalam dari nafsuku sendiri. Aku bisa melihatnya, sekali saja aku langsung tahu wujud aslinya.”

Seperti yang sudah, Bos berbicara dengan suara yang dalam dan datar. Semua orang memperhatikan, membuat suasana menjadi agak tegang. Bos, yang selalu mendapatkan apa yang ia ingin tanpa peduli cara—termasuk gadis-gadis muda yang masih bau kencur untuk dijadikan teman bermain—masih menyebut orang lain lebih serakah daripada dirinya. Lebih lagi, orang yang dimaksud ini adalah seorang siswi SMA.

Bukan takut yang menjalari hati dan pikiran para hadirin, melainkan heran dan kebingungan. Orang yang diwaspadai bos mereka ini, anak SMA yang bisa mengetahui rencana rahasia mereka untuk membuat divisi narkoba ini, apa-apaan dia?

“Kuharap, ke depannya lagi kalian semua lebih berhati-hati. Selalu ada langit di atas langit, dan suatu saat, kita semua akan mendapat kesempatan mengetahui seberapa tinggi langit itu.”

Wanti-wanti itu menjadi penutup rapat kali ini. Semua orang membubarkan diri. Rikiya pun segera bangkit dari sofa. Saat itulah, ia melihat Bos memberi aba-aba dengan jarinya, menyuruh Nagare mendekat.

Lihat selengkapnya