“Bagaimana rasa kue cokelatnya, Kreator?”
“Ya ... enak.”
“Hanya enak? Tidak bisakah dirimu memberikan komentar yang lebih terperinci?”
“Terperinci macam apa coba?”
“Perbandingan dengan produk suatu toko atau brand, mungkin?”
“Mana bisa. Aku jarang makan yang begituan.”
“Kalau begitu, di lain waktu aku akan membelikanmu yang demikian.”
“Bukan begitu juga, wei!”
....
Ah, dia sudah dimabuk cinta sepertinya.
Dari sisi luar jendela, aku mengamati seorang pemuda yang tengah berbicara dengan kekasihnya di panggilan video. Si pemuda mungkin kelihatan kesusahan—tengok saja tingkah dan respons berkesan setengah hatinya—tapi aku tahu, pasti sebetulnya dia bahagia juga. Tidak kalah bahagia dengan gadis yang tersenyum dan tertawa di balik layar smartphone.
Ah, rasanya dulu aku juga pernah begitu, ya.
Sungguh keberuntungan, sebab gorden jendela belum ditutup olehnya. Kalau saja ditutup, aku tidak punya pilihan selain memutari rumah ini dan mencari celah untuk menyelinap, mendekati si pemuda. Tapi aku sudah tahu duluan, kalau itu pilihan yang agak sulit. Ketika malam datang, pemuda itu akan otomatis memastikan pintu-pintu dan jendela rumahnya tertutup rapat. Seakan kecoa yang lihai menyelinap pun tak akan dibiarkannya masuk, apalagi diriku.
Ya, aku tahu badanku kecil. Cukup kecil sampai tidak kelihatan kalau malam-malam berdiam diri di atap rumah seseorang. Cukup kecil sampai pemuda itu tidak merasakan keberadaanku. Tapi itu tak apa. Ketika waktunya tiba—lebih tepatnya, ketika dia selesai bertelepon ria dengan kekasihnya—aku akan mencakar-cakar kaca jendela dan membuatnya mendekat. Sambil menunggu, ekorku berayun ke kanan-kiri dengan sendirinya.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok, Kreator.”
“Ya, sampai jumpa.”
“Oyasumi.”
“Oyasumi.”
Kan? Aku tahu. Setelah layar panggilan dimatikan, pemuda itu tersenyum sekilas. Dia juga sama bahagianya. Eh, tapi, itu bisa disimpan buat nanti. Inilah saatnya aku beraksi.
Dengan dua tangan—atau kaki depan, aku menggores-gores kaca. Tak lupa juga membuat suara yang khas dan punya kemungkinan kecil tidak dipedulikan oleh manusia. Meong~ Meong~ Meong~
“Hm?”
Dapat! Pemuda itu menyadariku dan menoleh ke arah jendela. Ia bangkit dari kursi dan langsung mendekat, membuka jendela dengan menggesernya. “Kucing?” ujarnya bingung, “punya siapa kau?”
Aku mau menjawab pertanyaan itu, tapi seperti sebelumnya, aku tidak bisa bicara bahasa manusia dengan mulut ini sekarang. Karenanya, meong~
“Lapar kah? Maaf, tapi aku tidak punya makanan untukmu. Beda kasus kalau kau bisa makan kue cokelat dan sayuran, sih.”
Tenang saja wahai pemuda, ada banyak orang di dunia yang secara baik hati memberiku makan. Kau tidak usah merasa bertanggung jawab. Akan tetapi, begitu, ya. Aku paham. Dirimu sekarang meski punya tampang yang agak menyeramkan—tatapan datar dengan bekas luka di dahi kiri—rupanya punya hati baik. Saking baiknya sampai berbicara dengan binatang seperti ini.
Aku mengangkat sebelah kaki depan, membuat gestur seakan mengundangnya lebih dekat. Sejenak pemuda itu heran, tapi kemudian ia mencondongkan badan, dan secara refleks menggerakkan tangan. Jemarinya cukup indah untuk seorang laki-laki, ramping dan lentik.
Dengan jari-jari itu—kusadari, kukunya juga cantik, berbentuk squoval dan bersih seperti perempuan yang melakukan perawatan—ia mengelus daguku. Untuk beberapa saat kubiarkan ia begitu, karena aku juga menikmatinya. Sampai kemudian ....