Kreator & Kacamata - The Anthology 2

Kosong/Satu
Chapter #13

Kyoto Romance - Si Rakus dan Permohonan pada Dewa

Mengadakan karya wisata di tahun ketiga SMA. Sungguh spesial rasanya. Sudah dihajar kenyataan bahwa masa SMA kami yang kerap disebut berwarna mawar akan segera berakhir, juga dengan berbagai persiapan akan masa depan yang jelas terasa menekan, pihak sekolah punya satu lagi kotak untuk dicentang dalam lembar kurikulum mereka. Kalau dikata spesial, memang iya.

Akan tetapi, aku merasa hal itu belum semua. Karena beberapa alasan yang berbeda, aku merasa pada karya wisata SMA-ku ini akan banyak bertebaran aroma cinta. Ya, bukan cuma karena aku sudah punya pacar sekarang, akan tetapi, mungkin saja, orang disekitarku akan segera bergabung dalam klub ....

***

Kyoto, ibu kota lama Jepang yang terkenal akan warisan budayanya yang mengagumkan. Kota yang karena posisinya dulu memiliki berbagai macam julukan ini, tidak bisa dilepaskan dari daftar teratas tujuan wisata, baik dalam maupun luar negeri. Walhasil, kota yang juga menjadi latar tempat cerpen Rashomon karangan Akutagawa ini terpilih sebagai tujuan karya wisata sekolah kami.

Seperti kataku tadi, ada banyak warisan budaya di sini, dan kelihatannya, sebagian besar adalah kuil-kuil kuno yang sudah beberapa di antaranya sudah dibangun ribuan tahun yang lalu. Salah satu yang paling dikenal, tentu saja adalah Kuil Kiyomizudera, yang mana menjadi lokasi perdana kami.

“Silakan, Kreator. Satu untukmu.”

Berkata demikian, si Kacamata menyerahkan sebuah kue sus yang terbungkus kertas berwarna hijau padaku. Berterima kasih secara singkat, aku menerima kudapan yang masih hangat dan menyerbakkan aroma distingtif kayu manis itu dengan sebelah tangan.

“Dua lainnya kumasukkan ke tas, ya.”

Berkata lagi, gadis berambut pendek ini berputar ke belakangku, membuka ritsleting tas ransel yang kugendong. Sebuah bungkusan kertas dimasukkan ke dalam tas, menghasilkan bunyi uniknya.

Ya. Dari semua keindahan—baik itu budaya, arsitektur, sampai alam yang disediakan oleh Kuil Kiyomizudera, hal yang menarik perhatian si Kacamata paling pertama adalah makanannya. Kue sus yatsuhashi yang dijual di toko Kiyomizu Kyoami ini disebut-sebut sebagai salah satu makanan khas Kyoto—bahkan khas dari kuil ini sendiri.

Rombongan sekolah kami belum lama turun dari bis. Ketika kelasku melangkah duluan menyusuri jalan menuju kuil, mata kami tak bisa lepas dari beragam toko dan kedai yang berjajar di kanan-kiri. Ada beragam benda yang diperjualbelikan, tetapi jelas, makanan menjadi godaan yang tak tertandingi hawa keberadaannya. Lagi pula, setelah perjalanan berjam-jam, tentu saja kami mau mengisi tenaga kembali. Makanan manis adalah pilihan yang masuk akal.

“Lama sekali kalian ini!”

Tokio yang melihat kami datang meluncurkan komplain. Aku tidak menanggapi sahabatku itu dan lebih memilih memberi satu gigitan pada sus di tangan. Uh, rasa matcha yang menjadi isian kue sus ini kuat sekali. Untungnya, lapisan luar yang dibubuhi kayu manis memberikan counter dengan sepadan, membuat harmoni yang menakjubkan meski cuma dalam satu gigitan. Aku sekarang paham kenapa Kacamata tadi langsung menyeretku keluar barisan.

“Maafkan kami, Azai-san. Karena kepopuleran kedai Kiyomizu Kyoami sendiri, kami terpaksa mengantre.” Selesai dengan permintaan maaf yang tak terdengar tulus, Kacamata melahap makanannya. Dari bekas gigitan yang cukup lebar itu, terlihat isian krim berwarna putih—rasa vanila.

“Ih, kok tidak ajak kami, sih!” Yahagi menyalak tak terima sambil menunjukku, padahal aku cuma diseret oleh si Kacamata. Melihat reaksi barusan, aku makin merasa rambut hime cut-nya kurang cocok dengan kepribadian Yahagi sendiri.

“Sus yatsuhashi, ya? Kelihatannya enak sekali.” Gadis lain yang mendekat ke Kacamata adalah Watanabe. Dia dengan saksama melihat makanan di tangan kawannya. “Watanabe-san mau?” Kacamata menawarkan, membuat wajah Watanabe yang agak menunduk karena perbedaan tinggi badan itu dipenuhi senyuman. Yah, interaksi yang terlihat menyenangkan.

Sementara itu ....

“Saku, bersediakah dirimu memberiku satu gigitan, wahai kawanku~?”

“Oh, kawan baikku Saku, tidaklah dirimu tega membiarkan kami menatap saja~”

“Kalian jadi bodoh, kah?”

Pemuda yang mengikuti Azai Tokio bersajak tanpa malu di depan umum ini cuma untuk minta makanan ini adalah Kurihara. Dengan ini, jelas semua anggota kelompokku menginginkan bagian. Kacamata mengeluarkan bungkusan dari dalam tas gendongku. Dua buah kue sus yang tersisa, dibagi menjadi empat, diberikan kepada yang lainnya. Dengan ini, urusan berakhir damai.

Sebelum tersalip barisan kelas lain, kami bergegas jalan. Ketika bergabung dengan sisa kelas, wali kelas kami tengah memimpin briefing singkat. Beberapa siswa berceletuk, menanyakan aku habis dari mana.

“Pastikan telepon kalian tidak kehabisan baterai, supaya kalau terjadi sesuatu bisa langsung menghubungi teman atau sensei. Jangan berpisah dari kelompok yang sudah ditentukan, dan jangan membuat masalah. Ketua kelompok, pastikan kalian mengecek kelengkapan anggota selama berkeliling area. Dariku sekian!”

Sudah jadi ketua kelas, aku ditunjuk sebagai ketua kelompok karya wisata juga. Sebetulnya tidak apa-apa, sih, cuma kalau diperintah oleh wali kelas yang semangatnya bahkan tidak ada setengah itu, rasanya agak enggan. Yah, setidaknya aku bersama teman-temanku—dan pacarku.

Ketika pengarahan selesai, tiap kelompok mulai berpencar. Kelas lain juga tak jauh beda. Kebanyakan dari kami segera melangkah menaiki tangga, menuju bangunan gerbang besar yang didominasi warna merah.

Kuil Kiyomizudera merupakan kuil Buddha yang dibangun pada awal Zaman Heian, diberi nama demikian karena ada sebuah air terjun berada di dekatnya (Kiyomizu sendiri berarti air yang jernih, bersih). Selain air terjun yang katanya punya khasiat itu, kuil ini juga punya keistimewaan karena konon tidak digunakan sebatang pun paku untuk mendirikan bangunannya. Kehebatan arsitektur yang tidak bisa kubayangkan.

Seperti kompleks kuil pada umumnya, ada banyak bangunan di sini. Banyak di antaranya yang tidak bisa kubedakan satu sama lain, kecuali gerbang merah besar tadi, pagoda yang berdiri menjulang tinggi, dan bangunan utama di mana kukira siapapun yang tinggal di Jepang tahu bagaimana wujudnya.

Kami bergerak agak pelan. Meski tidak terlalu paham, mataku tetap berlari ke sana kemari melihat apa yang bisa dilihat. Bangunan-bangunan kuil, aula-aulanya. Pahatan pada tiang dan patung-patung yang diberi hiasan. Tanpa sadar, aku sudah berada barisan belakang.

“Kalau kita menyewa pemandu, pasti informasi yang kita terima bisa lebih mendalam.”

Aku agak kaget. Rupanya si Kacamata berjalan di sampingku. Rasanya tadi ia berjalan bersama Yahagi dan Watanabe di depan.

“Kita diminta menulis laporan karya wisata, sih, ya,” sahutku sembari menoleh padanya.

“Semakin kita tahu, semakin kita bisa mengapresiasi sesuatu,” lanjut sang gadis, tersenyum.

“Apresiasi, ya. Kuharap kau mengatakan hal yang sama pada teman-teman kita, Kacamata.” Mengedikkan dagu, aku menunjuk empat orang di depan yang saat ini sibuk bicara satu sama lain.

Si Kacamata sekilas memandang ke arah mereka, lantas membenahi posisi tesmak di muka sebelum tertawa ringan. “Sepertinya akan sulit, Kreator. Terutama Azai-san, sebab bahkan sebelum kita menginjakkan kaki di tanah Heian-kyo ini, kepalanya sudah terokupasi oleh hal lain. Tetapi, juga bukan berarti dirinya tak mendalami apa-apa mengenai tempat ini.”

Aku menanggapi candaan Kacamata dengan senyuman tipis belaka. Sekali lagi aku menatap ke depan, atau lebih tepatnya, pada sahabatku itu.

Kuil adalah tempat di mana kita membuat permohonan, berharap kita dikabulkan. Aku berpikir, bagi Tokio yang sedang terfokus pada satu hal—satu selain sepakbola—dalam hidupnya ini, Kuil Kiyomizudera menjadi tempat yang cocok baginya. Memohonlah sekuat yang kau bisa.

Beberapa saat melangkah, kami akhirnya naik ke aula utama. Sebuah bangunan yang cukup tinggi, dengan beranda luas yang tampak sepenuhnya terbuat dari kayu, memperlihatkan hijaunya pepohonan di kaki bukit Otowa dan skyview Kota Kyoto. Tanpa pikir panjang kami mendekat ke arah pagar.

Lihat selengkapnya