“Aku menyukai Shiki.”
Sore itu aku mengetahuinya. Tidak, lebih tepatnya mendapat kepastiannya, sebab sebelum ini sudah ada seseorang yang melontarkan perkiraan demikian. Azai Tokio memiliki perasaan pada Shiki Yuuko.
Saat itu, aku cuma berdua bersama Tokio di kelas. Kami menunggu Kacamata kembali dari ruang guru demi mengantarkan daftar kelompok untuk karya wisata. Kawanku sedari SMP ini tiba-tiba saja bertanya, Apa Shiki sedang tertarik pada seseorang sekarang? Sebuah pertanyaan yang tak kukira bakal keluar dari mulutnya.
Bukan tanpa sebab. Pemuda ikemen ini sedari dulu jarang membahas hal seperti itu. Kalaupun menyinggung topik berbau perasaan—utamanya asmara, pasti dia cuma hendak curhat kalau ada gadis yang menangis karena ia menolak pernyataan perasaan mereka. Dalam tahunan aku mengenalnya, Tokio tak menunjukkan tanda dirinya tertarik pada seseorang. Yah, setidaknya sampai detik ini.
“Dalam waktu dekat, aku akan menyatakan perasaanku padanya.”
Ya, aku terkejut lagi. Meski kali ini tidak sekeras tadi impact-nya, tetak tak bisa disangkal.
“Itu ... bagus, dong.”
“Makanya, aku butuh bantuanmu, Saku.”
“Apa?”
“Apakah Shiki sedang melihat seseorang sekarang? Kalau kau tahu ... katakan padaku.”
Aku tidak tahu.
Aku bisa dengan mudah mengatakan hal itu. Namun, melihat tingkah Tokio yang gelagapan melihat Kacamata kembali ke kelas, aku menganggap topik ini adalah bahasan kami berdua saja. Aku tidak menjawab pertanyaannya hari itu.
Di hari-hari yang mengikuti, melihat Tokio yang tak membahas hal kemarin lagi, aku pun tidak secara aktif mengangkat topik kembali. Hingga sekarang, karya wisata dimulai, dan kami berada di tempat yang berbeda—hanya dengan situasi yang serupa.
Malam menyelimuti Kyoto sekarang. Kami sudah sampai di hotel dan merapikan barang bawaan di kamar masing-masing. Waktunya makan malam. Setiap murid mendapat senampan makanan dengan menu sosis, bacon, telur dadar, salad dan semangkuk nasi. Menu yang cukup menyenangkan untuk hari yang lumayan melelahkan.
Aku duduk berhadapan dengan Tokio, sementara Kacamata ada di sebelahku. Baru beberapa sendok kami menyantap hidangan, ponsel sang gadis berdering. Ayahanda menelepon, aku permisi sebentar. Begitu kata si Kacamata, lantas meninggalkan meja. Aula besar jadi tempat makan ini cukup ramai, tetapi hanya ada aku dan Tokio berdua di meja.
“Sekarang aku agak paham kenapa Fujiwara menyukaimu, Saku.”
Mendengar itu, aku mengarahkan pandangan pada Tokio. Sambil mengunyah dia mengembangkan senyum.
“Kenapa tiba-tiba?” Aku membalas, lalu menyendok sesuap telur dadar.
“Bukan apa-apa, sih. Cuma aku merasa dia punya pola pikir yang unik saja. Kita bisa menentukan jodoh sendiri, ya. Aku ... tak tahu kenapa agak sulit membayangkannya.”
“Hm?”
“Menentukan jodoh sendiri, berarti dengan bebas jatuh cinta pada siapapun bukan?”
Kemudian, Tokio bercerita dengan agak menurunkan nada. Ia mengatakan padaku, alasan mengapa dirinya selalu menolak pernyataan perasaan dari gadis-gadis yang tertarik padanya selama ini, lalu secara tiba-tiba mengincar Shiki. Sebuah cerita rahasia.
Seperti yang sudah dikatakannya, Tokio percaya bahwa jodoh seseorang itu telah ditakdirkan. Ia berkata, seseorang akan tahu siapa jodohnya hanya dengan sekilas melihatnya. Orang tua Tokio dulu bertemu karena pemikiran yang sama. Sang ayah, beberapa kali mencoba menjalin hubungan dengan beberapa wanita. Namun, semua berakhir dalam kegagalan. Katanya, semua karena ayahnya hanya coba-coba, mengikuti desakan dari sekitar untuk memiliki pasangan. Setelah kegagalan kesekian, ayahnya bertemu dengan seorang wanita yang memantik sebuah emosi spesial di dalam hatinya. Wanita itu kemudian menjadi ibu Tokio. Saat ini, putra kedua insan itu juga merasakan perasaan yang sama dengan sang ayah pada Shiki.
“Kalau kau seyakin itu dengan perasaanmu, kenapa kau tidak dari dulu menyatakan perasaan padanya?” tanyaku bingung. Kalau dipikir lagi, aku mengenalkan Shiki pada Tokio sudah dari pertengahan kelas dua. Lantas kenapa ....
“Menyatakan perasaan pada gadis yang hatinya masih terluka? Mana bisa.”
Yah, itu masuk akal. Saat itu Shiki masih mencoba menjadi dirinya yang lebih baik—mencoba lepas dari pengalaman masa lalu yang menyedihkan. Meski begitu, luka di hati tak mungkin hilang begitu saja.
“Ayahku dulu dalam waktu singkat langsung melamar ibuku, makanya hubungan mereka berjalan mulus. Tapi, aku tidak langsung bergerak setelah melihat Shiki. Aku berpikir, siapa tahu dia sudah suka duluan seseorang dengan seseorang. Jadi ....”
Ah, pertanyaan yang dulu terangkat lagi.
Aku berdeham. Tanpa sadar menggigit sendok di dalam mulut terus-terusan.
Di sini, jawaban tidak adalah yang paling benar, sudah. Lagi pula, memang aku tidak tahu pastinya siapa sosok yang ada di dalam hati Shiki. Atau bahkan, apakah memang gadis kendoka itu menyukai seseorang sekarang. Akan tetapi, entah kenapa, aku tak bisa langsung mengucapkannya.
Aku ... menyukaimu.
Sudah hampir sebulan berlalu. Shiki sendiri sudah menyangkal hal itu. Namun, kata-katanya tidak bisa lepas dari kepalaku.
Ya, saat itu Shiki berbicara saat sedang demam, dan orang sakit kerap mengigau hal yang bukan-bukan. Akan tetapi, andai saja dari segala kemungkinan ....
“Kalian berdua.”
Aku dan Tokio tersentak, tidak menduga suara itu datang. Kami segera melacak sumbernya, dan mendapati dua orang gadis berdiri membawa nampan dan gelas di belakang Tokio. Itu Shiki dan Itou.
“Kami boleh bergabung?”
Bersamaan, kami mempersilahkan mereka duduk. Shiki duduk di ujung meja sendirian, sementara Itou mengambil kursi di kanan Tokio. Suasana terasa agak canggung, setidaknya di antara aku dan Tokio. Tidak ada dari kami yang menyangka kalau sosok yang dibicarakan bakal muncul di timing seperti ini. Sebelum kami coba lanjut makan, Itou bertanya, “Itu ... makanannya Fujiwara-san?”
Aku mengangguk. Ketika gadis berkacamata (selain si Kacamata sendiri) menanyakan ke mana si empunya makanan, kujawab sedang menelepon. Dia mengangguk paham.
“Satou, katanya kau dan Fujiwara-san bermesraan di Kiyomizudera, ya?”
“Itou, kenapa kau harus membahas itu sekarang?”
Tak kuduga, Shiki ikut bergabung untuk berkomentar.
“Aku tahu kalian berdua pacaran, tapi menurutku lebih baik tidak sering-sering bermesraan di depan umum.”
Bermesraan macam mana coba? Aku cuma menggandeng tangan si Kacamata, dan itu pun tidak terlalu lama. Masih wajar, kan?
“Mereka tadi sampai coba Batu Peramal Cinta, lo.”
“Kan kau yang menantang kami, sialan!”
Pada Tokio yang tersenyum kambing itu, aku acungkan jari tengah. Dia membalas dengan satu jempol di ujung meja. Dan kemudian, dua orang lainnya tertawa.
Sekilas, aku menyadari sesuatu. Raut Tokio terkesan agak berbeda. Aku tidak tahu apakah dia sadar kalau aku memperhatikannya, tapi senyum di wajahnya berubah menjadi lebih tenang. Lirikan matanya terfokus ke sisi kiri—kepada Shiki. rasanya ada yang aneh, tapi aku tak bisa menarik kesimpulan dari hal itu.
Beberapa saat kemudian Kacamata kembali ke meja. Seperti biasa, Itou heboh sendiri, sementara Shiki jadi lebih diam. Anak ini masih belum terbiasa dengan si Kacamata tampaknya. Tapi tak apa. Paling tidak, aku tahu kalau Shiki sekarang benar-benar bisa menyantap daging yang dulu sempat ditolaknya. Malahan, bacon, sosis dan telur dadar di nampannya itu sudah habis duluan, menyisakan salad saja. Bersamaan dengan itu, dia benar-benar jadi lebih sering tertawa.
Aku ikut senang melihatnya.
***
Waktu membawa kami ke malam yang semakin dalam. Meski demikian, tidak berarti kami bakal menurut dan bersegera berselimut di balik futon. Sebaliknya, Tokio yang suka permainan kartu mengeluarkan satu set remi baru dan menantang kami—tujuh orang teman sekamarnya untuk melakukan babanuki1. Lagi pula, jam malam masih agak nanti. Kami terima saja tantangan ikemen pesepak bola ini.