Pagiku di hari baru terasa luar biasa. Sekitar pukul lima, si Kacamata meneleponku. Syukur saat itu aku sudah setengah bangun, jadi nada deringku tidak mengganggu yang lain. Sambil mengedarkan pandangan ke penjuru kamar yang remang-remang, aku menjawab, “Moshi-moshi.”
“Kreator, mari kita jogging.”
Dunia masih belum terang, dan kekasihku memulai kegiatannya seperti biasa. Mengawali hari dengan sedikit peregangan dan lari-larian sebetulnya juga sudah jadi kebiasaanku—dan kerap juga kami berlari bersama. Hanya saja ....
“Serius, saat karya wisata begini?”
“Kenapa tidak? Taiga-sensei juga bersedia mendampingi kita.”
Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Tapi, akhirnya aku mengenyahkan mereka dulu dan bangun. Berusaha tidak menimbulkan banyak suara, aku melipat futon, meraih jaket seragam olahraga yang kugunakan selagi tidur, lantas mencuci muka.
Belum ada yang bangun ketika aku keluar dari kamar mandi. Baguslah, karena kalau ada yang membuka mata, mungkin Kurihara bakal mengutuk seisi kamar ini lagi. Sebelum mengenakan sepatu, aku melahap sekeping permen pemberian si Kacamata. Sedikit nutrisi untuk awal hari.
Selagi menyusuri jalan-jalan di kota orang, aku mendapati sedikit fakta menarik. Taiga-sensei yang dikenal killer ini rupanya kelahiran Kyoto, dan beliau suka yatsuhashi. Sepertinya bukan cuma Kacamata yang belok ke toko dan mengantre waktu di Kiyomizudera kemarin. Rute yang kami telusuri juga merupakan jalan yang kerap ia lalui Jadi, tiap tahun sensei juga lari pagi meski jadi pendamping karya wisata.
Dengan badan berkeringat meminta dibilas, aku kembali ke kamar. Saat itulah aku mendapati Tokio sudah terjaga, duduk di kursi di dekat jendela. Menatap jauh keluar, dari sela-sela gorden yang tidak disingkap sepenuhnya.
“Okaeri,” sapa si ikemen disertai senyum ringannya.
“Tadaima.”
“Pagi-pagi sudah olahraga saja. Pengaruh pacar, ya?”
“Pagi-pagi sudah melamun saja. Tidak ada kerjaan, kah?”
Setelah pertukaran itu, aku berjalan mendekat—melangkahi teman-teman lain yang masih bisa tidur seperti mayat. Sementara Tokio, dia melemparkan pandangan kembali ke jendela.
“Aku sedang berpikir,” ungkapnya. “Kemarin malam aku teringat lagi ucapan Fujiwara dan tersadar, mungkin saja memang aku melihat Shiki sebagai pasangan yang ditakdirkan buatku. Tapi, apakah dia juga merasakan hal yang sama?”
Tawa kecil tak bisa kutahan, dan lepas begitu aku menduduki kursi di hadapan Tokio. “Kau takut ditolak?”
“Menyedihkan, ya. Padahal aku sudah menolak banyak orang.” Tawa juga tampak di wajah sahabatku itu, tetapi dengan rasa seperti mengejek diri sendiri.
Yah, itu hal yang wajar, tentu saja. Aku tidak bermaksud mengatakan pemikiran dan perasaan Tokio soal “jodoh yang ditakdirkan” itu salah. Tapi, di sini aku lebih berpihak pada pendapat Kacamata, bahwa seseorang bisa jatuh cinta pada siapa saja.
Menjadikan diri sendiri sebagai contoh mungkin bisa dipandang kurang valid, tetapi, bahkan sampai sekarang aku masih heran sendiri. Bagaimana aku dapat merasa deg-degan ketika bermain, berbicara, atau sekadar bersama dengan si Kacamata sekarang. Mengingat apa yang terjadi, apa yang kupikirkan mengenai dirinya di awal-awal dulu, rasa ini sungguh misterius kalau dipikir lagi.
Pada akhirnya, Kacamata menyatakan perasaannya padaku, dan aku menerima. Dia memilihku, dan aku memilih untuk menerima pilihannya. Kalau dipecah-pecah lagi, menurutku, semua menjadi setumpuk pilihan saja. Tinggal apa yang kita ambil dari pilihan yang tersedia. Lagi pula, ada ungkapan cinta tumbuh lantaran terbiasa.
“Yang sudah pengalaman memang paham betul, ya.” Terlihat seperti pujian, tapi aku melihat sedikit cemoohan dalam perkataan Tokio itu.
“Yang terakhir tadi aku juga cuma mengutip, sih.”
“Fujiwara?”
“Mau siapa lagi?”
Jeda menyela perbincangan kami. Sekarang, dua pasang mata ini tengah memandang ke luar sana, ke langit juga dunia mendapatkan warna-warna mereka. Aku bangkit dari kursi, menyeret gorden ke ujung dan membiarkan mentari pagi menyeluk ke kamar ini. Yanamoto segera mengerang, lantas menggeliat karena cahaya yang masuk tepat mengenai kepalanya.
“Masih mau menyatakan perasaanmu pada Shiki, kan?” tanyaku, sembari beranjak dari jendela.
“Kubilang aku sedang berpikir, kan?”
Menanggapi jawaban tak meyakinkan itu, aku melemparkan sebungkus permen pemberian Kacamata padanya. “Serius? Permen pagi-pagi begini?” tanyanya heran.
“Otak cukup banyak makan gula. Mungkin kau membutuhkannya untuk berpikir lebih lama sampai waktu sarapan tiba.”
Aku membiarkan Tokio menyimpan permen itu, siapa tahu dia butuh lebih banyak waktu dan tenaga untuk berpikir mengenai pilihannya. Tapi kalau bisa, sebetulnya aku mau dia agak rileks paling tidak hari kedua ini saja. Sebab, tujuan kami hari ini bisa dikatakan mimpi yang jadi nyata, dan aku mau Tokio menikmatinya juga.
***
“Tampaknya tempat ini yang bakal menjadi nomor satu di hati Kreator, ya.”
Celetuk si Kacamata tepat setelah kami melewati pintu masuk yang dibangun menyerupai gerbang kastel kediaman Tokugawa Ieyasu. Dan kalian tahu, ucapannya itu tidak salah.
Jepang mempunyai berbagai kebudayaan yang mendunia. Setelah menelusuri salah satu warisan budaya tradisional/keagamaan kemarin, hari ini kami menyentuh salah satu hasil budaya pop yang memiliki dampak cukup signifikan. Apalagi kalau bukan dunia perfilman.
Kepada diri sendiri aku memberi sambutan, selamat datang di Toei Kyoto Studio Park! Sebuah theme park yang menawarkan pengalaman hidup di zaman Edo kepada kami yang hidup di masa kini. Taman hiburan yang dibuka pada 1975 ini (seperti namanya) merupakan properti Toei Company yang memproduksi banyak sekali film di Jepang, yang mana beberapa filmnya juga diambil di sini.
Kendati nuansa jidaigeki menjadi pesona utama tempat ini, bukan itu alasanku menempatkan taman yang juga dikenal sebagai Toei Uzumasa Eigamura ini sebagai yang pertama dalam daftar destinasi karya wisata. Melainkan, sebab di taman ini juga terdapat pameran khusus yang menampilkan properti Toei lain, yaitu Kamen Rider dan Super Sentai.
Benar, ziarah tokusatsu menjadi alasan menggebunya diriku pada karya wisata ini, dan aku tidak sendiri. Menurut beberapa sumber, genre hiburan ini diawali oleh film Godzilla pada tahun 1954 yang diprakarsai oleh sutradara Honda Ishirou dan special effect artist Tsuburaya Eiji. Kemudian, formula pengambilan film dengan orang memakai kostum khusus (monster, pahlawan super, dan semacamnya) menjadi semakin populer, dan melahirkan berbagai subgenre serta judul-judul waralaba yang masih dikenal hingga sekarang. Sebut saja Kamen Rider, Super Sentai, Ultra Series, juga Godzilla sendiri. Nama-nama tersebut saking populernya mendapat penayangan di luar negeri, hingga adaptasi khusus sendiri, memastikan seberapa besar pengaruhnya dalam budaya pop dunia bersanding dengan anime.
“Saku, kau mau pose siapa nanti?” Tokio yang berdiri di sampingku bertanya. Matanya melihat lurus ke depan, dan kedua tangannya berkacak pinggang.
“Jelas.” Aku melipat kedua tangan di dada. “Kalau bukan Kuuga, Ichigo.”