“Tahun terakhir SMA! Jangan sia-siakan waktumu dan buatlah kenangan saat karya wisata!”
Shiki Yuuko pun menyadari ada berbagai faktor yang membuat event karya wisata tidak seperti kegiatan sekolah lainnya. Akan tetapi, pemahamannya mengenai kondisi diri sendiri lebih menguasai pemikirannya, dan itu membuat Yuuko enggan untuk ikut. Setidaknya, pada awalnya.
Pesan telepatis dari Mike si kucing ajaib itu mungkin dorongan pertama bagi Yuuko, tetapi jelas bukan yang terakhir. Itou Minami selaku sahabatnya pun memaksa agar Yuuko ikut karya wisata, bahkan sampai mengancam kalau dirinya pun tak ikut kalau Yuuko tak bersamanya. Fujiwara Amane seperti biasa dengan santai menggunakan kekayaannya untuk mencoba menenangkan kegelisahan Yuuko, meski tidak berhasil juga. Sampai kemudian bujukan Sakunosuke dan Tokio membuatnya tak dapat lagi berkata “tidak”.
Yuuko cukup menikmati pilihannya. Di hari pertama karya wisata, dengan luar biasa cepat ia mengakrabkan diri dengan beberapa teman sekelasnya. Terutama, mereka yang menjadi satu kelompok dengannya dan Minami.
Satu siswi yang bersamanya sekarang memanggil Yuuko dengan namanya disertai imbuhan “-chan”. Entah sejak kapan, sang gadis kendoka menjadi semacam figur adik perempuan dalam kelompok tersebut. Apa gara-gara badanku kecil? Yuuko mengira-ngira demikian, sampai kemudian ia sebal sendiri sebab hal tersebut memang kenyataan.
Mereka bersenda gurau dan berbicara, kemudian mengambil banyak foto di destinasi karya wisata yang pertama. Jumlah jepretan terbanyak dalam sejarah hidup Yuuko yang notabene tidak terlalu suka difoto. Senyum tak henti-henti menghiasi wajahnya. Tak ayal ketika malam tiba otot mukanya terasa sedikit ngilu.
Namun, sejenak kesenangan itu harus tertunda.
“Ma-Maaf, Shiki. Aku sudah mampir ke sana tadi pagi bersama Kacamata.”
Mendengar jawaban dari Sakunosuke atas pertanyaannya, Yuuko segera membayangkan. Seperti terkena tsuki tapi tepat di dada, begitu ia mengumpamakan perasaan yang mencengkeram hatinya sekarang.
Semalam, pemuda yang punya bekas luka di alis kirinya itu memberi tahu Yuuko soal sebuah kuil dengan banyak atribut kelinci. Setelah kucing, kelinci masuk ke dalam daftar hewan lucu bagi Yuuko, dan jelas ia merasa sangat tertarik untuk melihat. Di situlah, tanpa memastikan malam itu juga, sang gadis mengira bahwa Sakunosuke mengajaknya pergi bersama.
Sekarang, sudah jelas kalau hal tersebut cuma kesalahpahaman. Tidak mungkin Sakunosuke bermaksud mengajak Yuuko melihat kuil itu berdua. Lagi pula, Sakunosuke adalah pemuda yang sudah menambatkan hatinya. Dia sudah punya kekasih. Yuuko yang melupakan fakta itu mengutuk dirinya sendiri.
“Terima kasih telah menunggu.” Satu suara yang berbeda masuk, mengeluarkan Yuuko dan Sakunosuke dari nuansa canggung. “Mari.”
Fujiwara Amane memberi aba-aba bahwa sesi brunch-nya telah usai, dan rombongan bisa melanjutkan kegiatan. Sakunosuke segera bangkit dari bangku dan berjalan di samping kekasihnya itu, sementara Yuuko menanti ekor barisan datang.
Merasa sudah ada di paling belakang, Yuuko baru melangkah dengan sedikit rasa enggan. Salah paham, bodoh, masihlah dirinya dalam hati mengumpat pada diri sendiri. Namun, Yuuko juga mengembus napas lega mendapati Minami berada di depan, berbicara dengan Amane—sepertinya mengenai ramen tadi. Sahabatnya itu tak akan menanyai apa-apa untuk sementara ini.
Hanya saja, peran tersebut tampaknya cuma bakal diambil orang lain.
“Kau dan Saku kenapa, Shiki?”
Yuuko hampir meloncat di salah satu langkahnya. Gelagapan memutar kepala ke sumber suara yang bertanya. Azai Tokio, entah muncul dari mana sekarang pemuda itu berjalan di sampingnya.
“Ti-Tidak. Tidak ada apa-apa.”
“Serius? Di mataku kalian kelihatan seperti menjaga jarak. Atau ... malah kau yang sedang menjauhi Saku?”
“Sudah kubilang tidak ada apa-apa, kan?”
Yuuko spontan membuang muka. Tak menyangka kalau malah temannya Saku yang membongkar isi hatinya, dan kesal dibuatnya.
Di sisi lain, Tokio terkikih rendah. Ia menatap Yuuko dari ujung mata dan berkata, “Asal kau tahu, Shiki. Kau dan Saku itu mirip.”
Sang gadis mengembalikkan pandangan, merasa penasaran dengan maksud perkataan Tokio. “Mirip bagaimana?”
“Emosi kalian mudah sekali keluar di muka. Poker face payah sekali. Mungkin gegara itu kalian sulit berbohong, ya. Kalau main kartu pasti banyak kalahnya.”
Berbohong itu tidak baik, Yuuko masih mengingat pesan mendiang ibunya itu. Akan tetapi, tetap dirinya juga pernah berbohong. Dari semua kebohongan yang dilakukannya, Yuuko tak bisa menilai mana yang benar-benar berhasil dan mana yang terbongkar dari awal. Karena itu, Yuuko jarang sekali memperhatikan wajah seperti apa yang ditunjukkannya ketika mengatakan hal yang tidak benar.
“Tapi, meski begitu ... lagi-lagi Saku mengalahkanku di permainan kartu kemarin malam. Sialan.”
Tapi, Yuuko merasa senang dikatakan mirip dengan Sakunosuke. Setidaknya, ada bagian dari dirinya yang seperti sosok orang yang menyelamatkannya. Dalam kondisi agak senang, Yuuko segera melemparkan balasan pada ucapan Tokio.
“Kalian main apa kemarin?”
“Babanuki. Tiap aku mau menarik kartu, dia pasti senyum-senyum tidak jelas begitu. Rasanya ingin kutunjukkan pada dunia wajah lucu-nya itu.”
Yuuko tak bisa menahan tawa gelinya mendengarkan keluhan Tokio. Perbincangan keduanya kemudian bercabang, dan terus bercabang selagi kaki melangkah maju. Dari teman mereka Saku, permainan kartu, sampai obat apa yang menurut mereka paling mujarab untuk diminum andai sakit sewaktu-waktu.