Cinta itu sama dengan sastra.
Setelah aku memasuki masa SMA yang sekarang, aku mulai berpikiran seperti itu. Kenapa? Semuanya cuma karena kebetulan. Di masa SMA ini, aku baru mengenal yang namanya pelajaran sastra. Kemudian, di masa SMA ini juga, apa yang disebut cinta betul-betul menjadi sebuah pusaran yang kuat.
Apa alasanku menyebutnya sama? Biar kujelaskan sedikit. Cinta dan sastra itu sama-sama indah, namun sukar dipahami. Jika kau mencoba mendalami cinta maupun sastra, kau akan mendapatkan semakin banyak rasa keindahan di dalamnya. Tapi jika kau salah mengambil langkah, kau akan mendapati stagnan yang menyusahkan.
Secara spesifik, sebenarnya aku tidak mendalami ilmu sastra. Aku hanya menerimanya sedikit-sedikit karena terkadang sastra membuat hatiku menari. Tapi secara tidak langsung, entah bagaimana, aku terjebak dalam situasi yang rumit berhubungan dengan sastra.
“Jadi, bisa tidak?” Siswa yang duduk menghadapku ini memohon dengan sangatnya. Wajahnya setengah memelas setengah pasrah, dan itu menggangguku.
“Kenapa kau tidak buat sendiri saja??” Aku membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan, menandakan kalau aku tidak berniat mendengarkan pembicaraannya.
“Ayolah, kau pasti bisa ‘kan?” Siswa itu semakin menjadi. “Kau pasti bisa membuat sebuah puisi yang bagus dalam waktu singkat...”
“Memangnya kenapa sih? Kau tadi bilang kau ingin menyatakan perasaanmu pada siswi kelas sebelah, kenapa malah datang kepadaku?”
“Aku ingin menyatakan perasaanku dengan puisi kepadanya...”
Dia memilih sebuah cara yang luar biasa jadul untuk menyatakan perasaannya. Oh iya, sepanjang sejarah, tema cinta dan asmara kekal dalam sebuah sastra. Jadi memang pada dasarnya, keduanya selalu berhubungan.
“Lakukan saja, tapi kenapa kau datang kepadaku?”
“Soalnya, aku ingin menyatakan perasaanku sepulang sekolah ini. Aku sudah terlanjur memanggilnya untuk nanti, tapi aku masih belum bisa membuat puisinya.”
Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli dengan perasaannya kepada Nona Siswi Kelas Sebelah, tapi ketidaksiapannya benar-benar menggangguku. Kalau kau ingin melakukan sesuatu, buatlah persiapannya. Rencananya. Tak cukup dengan rencana utama, kau juga harus membuat rencana cadangan demi mengatasi situasi yang tak terduga.
“Dan kau baru datang kepadaku di jam istirahat kedua ini?”
“Ayolah! Kumohon! Aku tidak bisa minta tolong lagi selain pada dirimu! Kalau kau mau, aku akan membayarmu nanti ...”
—Hmm!!
Biasanya, aku tidak mau ikut campur dalam sebuah masalah pribadi macam ini. Tapi, seperti kata para pengusaha yang cukup berkuasa, uang memang menggerakkan dunia.
“Kau ingin puisi yang bagaimana?” Akhirnya, aku menerima permintaan bodoh ini.
“Intinya, aku ingin sebuah puisi yang mewakili perasaan suka dari seorang pria.”
Heh, itu, permintaan yang agak aneh. Mewakili perasaan suka dari seorang pria, katanya? Jujur, aku kurang paham. Apalagi, diriku masih belum pernah merasakan yang namanya ‘menyukai seseorang’.
“Sebenarnya, apa motivasimu untuk menyatakan perasaan kepada seseorang dengan puisi semacam ini?”
“Yaaah, kau tahu? Gadis yang kusukai ini punya ketertarikan dengan hal-hal berbau sastra. Jadi, mungkin aku bisa memikat hatinya dengan melakukan hal ini ...”
Hmm, langkah yang diambil berdasarkan fakta informasi. Pilihan yang bagus. Tapi untuk ini, aku lebih menyarankan kau membuat puisimu sendiri, sebenarnya. Orang-orang yang menyukai sastra, kebanyakan mengutamakan originalitas yang tinggi. Kalau kau ketahuan minta dibuatkan olehku, itu bisa jadi bumerang.
—Yah, kukatakan pun tidak ada gunanya kurasa ...
“Akan coba kuselesaikan sebelum waktu pulang sekolah. Tunggu saja.”
“Yay! Terima kasih, Kawan!”
‘Jangan girang dulu’, aku berniat mengatakan itu, tapi lebih baik kutahan saja. Orang yang terkena euforia asmara memang biasanya semacam ini. Nasihat masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Jadi coba kuhentikan pun malah akan buang-buang tenaga saja.
Aku jadi teringat persamaan lain antara cinta dan sastra. Originalitas. Jika kau melakukan plagiat karya sastra, maupun menyatakan sebuah cinta palsu atau buat-buatan, kau akan dikutuk seumur hidupmu.
###