Dikata aku amatiran, itu memang apa adanya. Karenanya, hanya yang ingin kutulis yang akan kutulis. Hanya yang kulihat yang akan kutulis. Dan apa yang dapat kusampaikan yang akan kutulis.
Nampak dia datang kemarin. Dari sudut cakrawala, dengan keingintahuan kupandangi dia. Apa yang membuatnya mengikat dunia? Apa yang membuatnya mendentangkan lonceng logika? Apa yang membuatnya melangitkan semua? Atau, apakah karena itu dia, maka semuanya jadi nyata?
Dari dasar hati terdalam aku jujur, aku tak tahu apa-apa. Perihal dirinya, perihal langkahnya, perihal senyumnya, maupun perihal auranya. Yang kupastikan pertama ialah, bahwa dia menarik kami kepadanya.
Alangkah sayang, dia seperti surya. Iras tenang yang berbalut senyum menerangkan. Daya pikat erat bak gravitasi semesta, membuat insan lain berdiam di sekitar dirinya. Tetapi, bila sedikit saja demarkasi revolusi kami langgar, kaos akan membakar. Habis sudah, tiada sisa. Begitulah kesan yang kutangkap dari keberadaannya.
Benar. Biar dikata dia menarik kami semua, bukan berarti semua dapat melingkarkan lengan di sekitarnya. Ada kuasa kontradiktif yang di saat yang sama melemparkan kami semua, bagai magnet berkutub sama.
Sekali lagi, ku tak tahu apakah gerangan itu. Tetapi, bila harus dibuat padanan dengan suatu hal, aku bisa menuturkannya. Itu seperti, ya, kacamata yang dipakainya.
Bila dikata mata ialah jendela hati, maka lensa-lensa yang dipakainya itu tak memperbolehkan kami mengintip ke lubuknya. Cahaya redup yang kami pancarkan, tiada dapat menembus, dan cuma berakhir dipantulkan tiada guna.
Aku tak paham lagi, ada apa dengan dirinya.
Oh, Tuhan, lancangnya diriku. Padahal sebelum berpikir substansi apa sehakikatnya dia, ada lagi hal lainnya. Aku bahkan, belum tahu namanya ...
****
“Boleh aku melihatnya?”
Tanyaan yang datang entah dari mana itu mengejutkanku. Baru saja keluar dari gang sempit di belakang gedung olahraga, dan aku terpaksa mengambil satu langkah mundur sebab kemunculan tak terduga darinya.
Ya, dia.
“A-Apa?”
Tanyaku balik, bingung atas apa yang dimaksudkan pengejutku. Tetapi, bukannya langsung menjawab, dia menatapku lurus terlebih dahulu, lalu memiringkan kepala ke sebelah. Ikutan bingung, ‘kah?
“Tentu saja, karya barumu. Apa yang kausimpan di saku celanamu itu seharusnya adalah buku catatan untuk menulis bukan?”
Setelah melontarkan ucapan yang ngawur—atau, tidak juga sih sebenarnya, dia maju satu langkah mendekatiku. Saat itu aku sadar, dia mengembangkan senyum yang indah, dan itu menenangkan diriku sejenak, entah kenapa.
“Lalu,” lanjutnya, sambil melangkah maju sekali lagi. “Sekilas kulihat sesuatu di saku kemejamu. Pena ‘kah itu? Oh, mungkin pensil mekanik, bila kau tak berniat mengotori kain putihnya.”
Aku sadar akan satu hal lagi. Dia punya pengamatan yang tajam, mengesampingkan dirinya yang mengenakan kacamata. Dalam sekali lihat, tidak, sekilas lihat saja, dia bisa tahu apa yang kubawa.