Bersih-bersih. Ini adalah kewajiban siswa selepas pelajaran usai. Bersama kawan-kawan, membersihkan ruang kelas yang telah ditempati seharian penuh. Aku tidak tahu kenapa ada saja yang malas melakukan ini, padahal sudah dijadwal juga.
Bagiku, agenda ini tidak hanya berguna membersihkan lingkungan, tetapi juga hati serta pikiran. Berusaha mencapai hasil yang memuaskan, memfokuskan diri pada hal sederhana yang kita lakukan. Dalam kesempatan kali ini, aku bisa melupakan sedikit tentang kejadian tadi pagi.
Seorang gadis yang bahkan tak kutahu namanya, muncul begitu saja, dan memaksakan diri untuk membaca tulisanku. Memang, aku tidak apa-apa bila ada yang sukarela menjadi pembaca, akan tetapi, tidak dulu dengan gadis itu, tidak juga dengan tulisanku kali ini. Aku tidak bisa membacakan yang ini.
Di satu sisi, aku disadarkan akan kepopuleran gadis itu lagi. Rumor soal dirinya yang—sekali lagi—menolak perasaan seorang pria kemarin sore, menyebar di kelasku. Karenanya, aku tidak bisa melepaskan pikiran dari si pemakai kacamata tersebut. Setidaknya, karena aku secara tak sengaja terlibat dalam kejadian kemarin, aku tak perlu nimbrung menggali informasi.
Sempat aku was-was jikalau gadis itu akan datang ke kelasku saat istirahat makan siang. Tapi kelihatannya, tak perlu cemas lagi. Bersamaan dengan meja-meja yang perlahan kembali ke posisi rapi semula, aku merasa dapat berjalan pulang sehabis ini dengan lega.
—Atau, malah sebaiknya aku cepat pulang untuk mengantisipasi kehadirannya ....
Kelas sudah bersih sekarang. Pasukan Kebersihan hari ini dapat berpulang dengan tenang ke peraduan. Aku pun, segera kembali ke mejaku di tengah ruang. Hendaklah berberes sebelum melangkah keluar. Saat itulah aku sadar, ada yang aneh ...
“Ritsleting tasku ... terbuka,” gumamku lirih.
Posisinya masih sama dengan saat kutinggalkan, menggantung di sisi meja. Tapi, kalau tidak salah, ritsletingnya kututup sebelum bersih-bersih tadi.
Ah, mungkin aku hanya terlupa. Bukan hal yang jarang juga, melupakan sesuatu hal yang sudah jadi kebiasaan. Aku memang pelupa pada dasarnya.
Tapi, pikiran itu segera tersingkirkan. Ketika ada secarik kertas putih tampak mencuat di ujung mulut tas yang terbuka. Aku mengambilnya, dan akhirnya tahu kalau itu adalah sepucuk surat. Di salah satu sisi, di salah satu sudut tertulis sesuatu. ‘Teruntuk Tuan Kreator’.
Spontan, kusobek amplop pembungkusnya. Menarik keluar kertas di dalam, lalu membuka lipatannya. Cepat-cepat kubaca tanpa bersuara.
....
Yang Terhormat, Tuan Kreator. Atas dasar kebosanan yang menggerogoti diri, aku memutuskan untuk sedikit bermain saat ini. Jadilah petualang yang memburu harta, dan diriku akan menuntunmu dengan sebaik-baiknya petunjuk yang ada. Hartamu, ada di tempat yang teramat aman. Dapatkanlah, di ujung tantangan ini ...
....
Melihat kata ‘harta’, aku jadi teringat sesuatu. Yang kudengar tadi pagi. Ya, soal melindungi hartaku dengan baik atau semacamnya. Gelagapan, aku segera mengecek dalam tas. Barang itu, buku catatanku. Harusnya kusimpan di dalam tas, tapi tidak ada. Kulihat ke laci meja, juga tidak ada.
Dia ... gadis itu, si kacamata itu, jadi ini maksud ucapannya, ya. Sialan. Apanya yang pemburu harta, barangku kaucuri, WEI! Kalau begini harusnya ini jadi permainan polisi dan pencuri, tapi ya sudahlah.
Ingin rasanya kuremas kertas di tanganku ini. Cuma, sebab bacaan belum selesai, terpaksa kukandangkan emosi terlebih dahulu. Sebelum itu, ada juga yang harus dipastikan.
“Hei, adakah dari kalian yang melihat seseorang membuka tasku?” tanyaku pada beberapa siswa yang masih ada di kelas.
“Tidak, tidak ada,” balas salah seorang dari mereka, sementara yang lain menggeleng senada.
“Atau, apa kalian lihat murid kelas lain masuk ke sini tadi?” sambungku.
“Tidak juga,” jawab seorang yang lain.
Baiklah. Itu aneh. Mungkin sebaiknya, aku lanjut membaca surat ini dulu.
....
Langsung ke petunjuk pertama.
“Namanya adalah Kiyomi Sanada. Dia orang yang baik, dan dapat memudahkanmu dalam berbagai urusan. Temui dia, kenali dia, maka dia akan menuntunmu.”
Temukan posisi harta karunnya berdasarkan petunjuk yang kaudapat. Area permainan terbatas di sekolah. Batas waktunya hingga matahari terbenam. Selamat bermain, Tuan Kreator.
Salam hangat, dari A-K-U.
N.B. Jika kau tidak ikut permainan ini, karyamu akan kupublikasikan melalui buletin sekolah.
....
Kuputuskan untuk duduk sejenak. Duduk tenang, lalu memastikan situasi yang kuhadapi ini. Menyilangkan jemari tangan, menaruh siku di atas meja. Andai aku memakai kacamata, mungkin aku akan seperti Gendou Ikari saat ini. Ah, terserah.
Jadi singkatnya, catatan yang berisi tulisan baruku dicuri. Pelakunya, ya, sudah pasti, gadis berkacamata itu. Sudah pasti.
Dan sekarang, aku dipaksa untuk mengikuti permainan yang diajukannya. Ya, aku tidak mau sebenarnya. Tapi, kalau sudah diancam begini, mau macam mana. Aku tidak mau kalau tulisan itu dibaca orang banyak. Jangan, pokoknya jangan. YANG ITU SAJA JANGAN!
Baiklah, tidak ada pilihan lain sepertinya. Sementara, mari lakukan ini, sebisanya.
Hanya berbekal ponsel di saku jaket, aku bangkit dari kursi dan keluar kelas. Meski sudah tidak ada orang, aku akan bertaruh pada opini kalau negara ini aman. Kutinggalkan tasku di kelas sementara ini.