Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #4

Nama Kami - Bagian 3

Akhirnya aku bertemu lagi dengannya. Belum lama kami melepas pandang sebetulnya, tapi, entah kenapa terasa rentang yang begitu lena. Sosok gadis tidak jelas yang pagi ini muncul secara mendadak, dan memberiku sebuah quest yang sama mendadaknya juga. Dia berdiri di sana, dengan senyum yang tampak sebagai andalannya.

Aku masih belum tahu namanya. Biar dikata dia adalah sosok yang populer sampai terus mendapat pengakuan suka dari pria, aku tak terlalu peduli. Kami baru bertemu kemarin sore, dan kalau menghitung waktu sampai sekarang, itu belum ada 24 jam.

Walau begitu, kami sudah terjebak dalam situasi yang macam film-film aksi ini. Ketika polisi menemukan pelaku kejahatan yang dicarinya, ketika seorang pemuda bertatap muka dengan dendam kesumat pembunuh orang tuanya, ketika pahlawan berhadapan dengan raja iblis penghancur dunia. Situasi stand-off, semacam itu.

Tanganku masih menjulur, menampakkan pinta atas pengembalian hak milik. Sementara itu lawanku, si gadis berkacamata itu menyembunyikan kedua tangan di balik badan berseragamnya.

Baru ada yang bergerak ketika angin pelan mengembus dalam taman. Gadis itu melangkah ke depan. Mukanya masih saja tersenyum, meski tidak selebar tadi. Saat berhenti, kedua tangannya pun bergerak. Memisah, membentuk lintasan mereka sendiri, namun bergabung menjadi satu kembali di depan badan. Di dua telapak tangan itu, ada sesuatu. Sebotol minuman.

“Silakan,” tawarnya.

“Maaf,” ku menyahut, “tapi apa yang kuminta bukan ini.”

“Benar. Hanya saja sebelum itu, tidakkah kau haus? Naik turun gedung melelahkan bukan?”

Sialan. Memangnya gara-gara siapa aku harus melakukan itu coba. Setelah memaksaku dengan ancaman, kau berlagak memberikan perhatian?

Yah, ya sudah. Tanganku yang masih menengadah kubalik, mengambil sebotol minuman—yang rupanya adalah jus apel—yang ditawarkannya. Kulacak sejenak kedua tangannya turun tepat di depan badan, lalu mengalihkan fokus pada wajahnya lagi. Apa yang kupikirkan masih sama, aku tidak paham dengannya.

“Memang itu bukan apel dari Taman Eden, tapi komoditas andalan Aomori sudah terkenal, lho,” tuturnya, yang mana merupakan informasi yang sudah diketahui mayoritas warga Jepang.

Sebentar kupandang botol di tangan. Memang tertulis nama prefektur paling ujung Pulau Honshuu itu pada labelnya. Sepertinya, ini adalah salah satu produk olahan yang diunggulkan. Apa dia baru jalan-jalan ke Aomori? Ah, maaf, pikiranku teralihkan.

Dia masih melihatku sekarang, dengan wajah tersenyum yang belum berubah. Sejenak aku bertanya-tanya, apakah wajah itu tidak lelah memberikan senyum setiap saat? Atau itu memang wajah default-nya sedari lahir? Yah, siapa tahu.

Kubuka penutup botolnya sekali putar. Karena segelnya masih terasa, berarti botol ini belum pernah dibuka. Aku bisa sedikit tenang, sebab sudah memastikan tidak ada yang dimasukkan dalam minuman ini. Mau bagaimana pun, menerima makanan atau minuman dari orang yang tidak dikenal itu cukup berisiko, jadi kita harus waspada.

Kucoba minum seteguk dulu. Saat sadar bahwa rasa jus ini lumayan enak dengan perpaduan asam-manis yang sepadan, aku minum untuk kedua kalinya. Kalau minuman ini dingin, pasti menyegarkan sekali. Kututup kembali botol, selagi menghela napas puas selepas minum setengah isi botolnya.

“Apa kau sedang menggalakkan konservasi lingkungan, Tuan Kreator?” tanyaannya itu menarik atensiku lagi. Sebelum bisa ku menjawab, dia sudah menyambung, “Memakai kertas bekas sebagai catatan kecil, tidak buruk.”

 Selepas mendengar itu, aku baru sadar kalau di tangannya sudah ada buku catatanku. Entah dikeluarkan dari mana, seperti muncul begitu saja. Tetapi, jadi, begitu maksudnya ‘tempat teraman’, ya? Kau membawanya sendiri.

Seperti katanya, itu cuma kumpulan kertas bekas yang kupotong jadi dua dan disatukan dengan penjepit kertas. Memanfaatkan lembar sebalik yang masih bersih dari bekas berkas adalah ide yang kupunya sebelum masuk SMA. Aku bisa memakainya sebagai pengganti buku biasa ketika menghitung rumus, mencatat hal-hal kecil, atau menuliskan isi kepalaku yang kadang terlalu absurd. Dan sekarang, benda itu, yang berisi perwujudan imajiku, ada di tangannya.

“Tenang saja, aku belum membacanya,” celetuknya tetiba. Baru saja hendak ku bertanya, tapi, syukurlah. Satu keberuntungan lain aku tidak menulis dari halaman pertama, membuat selembar kertas di muka itu jadi kover yang melindungi isinya dari mata orang lain.

“Tapi, memang pada awalnya aku bermaksud membacanya segera. Didorong oleh rasa penasaran yang sangat, menantikan seni seperti apa yang dihasilkan oleh orang di dunia yang sama denganku.”

Jujur, aku merasa ujarannya itu terlalu berlebihan. Kalau mencari karya tulis yang dihasilkan oleh anak muda, zaman sekarang sudah banyak situs bacaan bertebaran di internet. Belum lagi eksemplar yang tak terhitung dari light novel yang makin menggunung belakangan, entah dari jumlah maupun ragam judulnya.

“Aku menahan diri, Tuan Kreator,” tegasnya di situ. “Karyamu ini ... hartamu ini, adalah sesuatu yang penting dan berharga. Setelah kutimbang kembali, benda seberharga ini tak boleh bila tak lengkap. Itulah kenapa, aku menahan diri terlebih dahulu.”

Hmm, ya, dikatakan dengan bangganya oleh orang yang menyelinap ke kelas lain dan mengambil barang tanpa izin pemilik. Yah, dia minta pun tidak akan kuberi sih.

Kemudian dia melanjutkan, “Karya ini, hendaknya kujaga agar dapat menjadi sebagaimana mestinya.”

“Menjaga? Dengan mencurinya dari pemilik aslinya?”

“Kalau memang itu harus dilakukan. Tapi tenang, aku akan mengembalikan milikmu.”

Aah, sudah, aku tidak paham dengan gadis ini.

“Kalau begitu,” tukasku, sambil menyodorkan sebelah tangan kembali, “bisakah kau mengembalikan benda itu sekarang juga?”

Matanya melebar sesaat, entah kenapa. Lantas dia menyahut, “Hm, maaf, itu belum bisa.”

“Hah? Aku sudah memecahkan petunjuk yang kauberi dan menemukan harta karunnya, ‘kan? Permainan berakhir, dan aku ingin benda milikku itu kembali.” Aku mulai memaksa.

Sedihnya, dia segera menyanggah paksaanku begitu saja. Dengan santainya dia berucap, “Sayangnya, permainan belum berakhir. Juga, sekadar menemukan lokasi tidak bisa dibilang mendapatkan hartanya, lho, Tuan Kreator.”

Kurang ajar, aku dipermainkan. Memang sudah dari tadi juga sih, cuma tak kusangka kalau ini akan berlanjut lagi macam ini. Tanganku yang mengatung terpaksa kutarik kembali buat menggaruk belakang kepala. Karena semua ini, jadi gatal rasanya.

“Kau bermain dengan cepat. Mentari masih belum mau duduk di ufuk.” ujarnya kembali, kali ini dengan satu tangan menunjuk ke langit yang masih memberi warna biru.

Lihat selengkapnya