Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #5

Nama Kami - Bagian 4

Yah, sepertinya aku cuma bisa menunggu rubrik khusus di buletin besok. Dengan namaku, beserta rangkaian omong kosong terpampang di sana. Setelah itu, aku hanya perlu mendengarkan tertawaan dunia. Sialan. Malu akan menerkamku mati, pasti. Sialan.

Sebetulnya, bukan berarti aku menyerah sepenuhnya juga. Aku masih berjalan di area sekolah, mencari si pencuri yang mungkin saja bersembunyi. Sayang disayang, kaki yang penat tak membiarkanku jauh-jauh. Cuma lantai satu yang kutelusuri, lantas bermuara kembali ke taman tengah di mana—

—oh, ya, aku meninggalkan jus apel di sana.

Duduk-duduk saja aku kini di bawah pohon. Meneguk lagi jus apel yang tersisa, lalu menghela napas kesal bercampur pasrah. Di akhir siklus ini, tak bisa kutahan serapah lagi. “Sial!”

Sungguh hari yang sial. Kenapa coba bisa jadi begini ... hhh~

Yang kuinginkan cuma menulis apa yang ingin kutulis. Mencipta semesta sendiri, di dalam dunia yang penuh kecemasan ini. Lalu tiba-tiba muncul dia, si pencuri yang memakai kacamata. Tampak memang dia suka dengan karya sastra, tapi kejahilan ini, tak mencerminkan kearifan para penikmat sastra kalau kukira.

Merebut untuk melindungi. Lari meski ‘mengembalikan’ sudah dijanji. Sumpah, kontradiksi yang tidak menyenangkan. Apa yang sebenarnya dipikirkan gadis itu?!

Kenapa coba bisa jadi begini ...

...

Angin mengembus kembali, agak lebih keras dari yang sudah-sudah. Sejuk menenangkan, mengangkat daguku supaya memandang ke langit. Sudah mau jadi oranye, ya. Usai naik ke puncak tangga, mentari hendak berseluncur turun sekarang. Itu adalah pertanda kekalahan dan awal dipermalukannya duniaku.

Kenapa ... bisa jadi begini, ya. Ah, benar, itu karena aku tidak tahu apa-apa soal dia. Si gadis berkacamata yang suka sastra, aku tidak tahu apa-apa selain hal itu saja. Setelah kejadian ini pun, yang bisa kusimpulkan cuma dia jahil dan punya stamina yang luar biasa. Tapi, itu belum seberapa .... Sesuatu yang lain, masih ada ....

Dalam lelah juga pasrah, aku bergumam, “Hhh, apakah deus ex machina dapat terjadi dalam hidup ini?”

Tanpa aba-aba, sesuatu masuk dalam penglihatan. Benda kecil, melayang perlahan, berputar beberapa kali sebelum akhirnya mendekat kepadaku. Kukira daun awalnya, namun terungkap kalau itu adalah pesawat kertas. Mendarat dengan selamat di tanah, di hadapanku.

Pesawat kertas itu lantas kupungut. Sebab ada beberapa huruf yang tampak, kubongkar lipatannya. Dan, yah, aku muak sudah.

Naiklah ke atap. Aku menanti.

Tulisan ini, adalah miliknya. Si pencuri meninggalkan surat untuk kesekian kalinya. Sempat mau kubuang ajakan ini ke tempat sampah, karena bisa saja, ini hanya pancingan lain untuk memainkanku. Tapi kuurungkan niat itu segera. Karena aku sadar, mungkin saja, ini deus ex machina yang kuharapkan tadi.

“Pemecahan masalah datang begitu saja dari langit. Begitu, ya ...”

Bangkitlah diriku. Memaksa kaki bekerja sedikit lagi. Kudongakkan kepala, dan mendapati ada sosok yang melambai di puncak gedung sana. Itu dia, bersandar di pagar pembatas. Kecurigaanku reda begitu melihat hal itu. Semoga dia tidak kabur dulu.

Ya, aku masih kesal. Tapi di satu sisi, menyerah pada pasrah lebih ringan rasanya. Makanya, kuputuskan untuk mengikuti ajakannya sekali lagi. Entah hasilnya bagaimana nanti, yang penting jalan saja.

Jus kuhabiskan, lalu kubuang botolnya ke tempat sampah. Untuk kedua kalinya, tangga ke atas kujajaki, namun dengan langkah yang lebih lambat lagi.

 Sesampainya di atas, aku rada terkejut. Dia benar-benar ada. Tidak lari atau bagaimana, cuma berdiri tepat di tengah-tengah area. Menyambutku yang lemas ini dengan wajah tersenyum yang masih sama dari tadi pagi. Di balik punggung, kedua tangannya bersembunyi.

“Sungguh, Kreator, apa kau belum memikirkan nama sama sekali untuk karya barumu ini?” tanyanya tetiba, meski sudah pernah ditanyakannya juga.

“Sudah kubilang, ‘kan? Belum!” jawabku kesal, diakhiri helaan napas.

“Sayang. Kalau cerita ini tidak bernama, aku tidak bisa mempublikasikannya. Selayaknya mengenal seseorang, nama diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keberadaan sesuatu hal. Inilah kenapa juga, aku menahan diri untuk tidak membacanya dulu.”

Setelah mengatakan itu, dia menunjukkan tangannya. Mereka masih memegang buku catatanku, dan diposisikan dekat ke dada.

“Kalau kau sebegitu inginnya menyebarkan itu, kenapa tidak kau saja yang memberi nama?!” keluhku sambil menunjuk pada dirinya.

“Sebuah nama acapnya ditentukan oleh individu lain, bukan oleh entitas itu sendiri. Tetapi dalam hal ini, aku tidak berhak memberi karya ini nama sebab aku bukanlah sosok yang melahirkannya,” paparnya, yang mana itu semakin memompa rasa kesalku.

“Dikatakan oleh orang yang mengambil barang tanpa izin ...,” aku mencecar, “Lalu buat apa kau mengambil benda itu dariku, dan melakukan semua ini?! Sebenarnya apa maumu?!”

“Bukanlah aku sudah bilang? Aku bosan. Dan untuk menghilangkannya, aku bermain denganmu. Itu saja.”

Ah, ya ampun.

“Awalnya, memang aku hendak membaca tulisanmu ini. Tapi seperti yang sudah kuutarakan, karya ini belum selesai, bahkan belum bernama. Aku berubah pikiran, dan memutuskan untuk menyimpan ini dulu. Tapi tetap, aku ingin bermain denganmu. Dan ya, kau bermain cukup baik, kendati nampak pasrah di akhir tadi.”

Sekali lagi, aku menghela napas. Kali ini, disertai garukan kepala, sebab sudah tidak paham lagi dengan sirkuit pikiran sosok di hadapan ini.

Lihat selengkapnya