—Sampah seseorang dapat menjadi harta bagi orang lain ....
Yah, ada banyak orang yang bilang begitu. Dari orang-orang yang peduli lingkungan, narator di Bocah Spons Celana Kotak, sampai siswa yang merasa dirinya sudah cukup bijak soal dunia.
Aku setuju-setuju saja dengan pernyataan tersebut, sebab itu memang memungkinkan selama kita tahu cara memanfaatkan sampah yang dimaksud. Lagipula, sampah atau tidaknya sesuatu, juga cuma masalah sudut pandang.
Pada kasusku, tumpukan kertas di meja itu terlihat sebagai ... harta? Tidak juga sebetulnya. Aku hanya mengumpulkan mereka untuk mengurangi pengeluaran atas pembelian buku catatan. Hal yang sudah kulakukan sejak zaman SMP, untuk mendukung hobi sendiri.
Tentu, untuk mendapatkan sesuatu tak bisa asal ambil. Walau hanya kertas bekas, aku masih harus meminta izin guru, kemudian melaksanakan sebuah tugas sebagai gantinya. Dan kali ini, aku dimintai tolong membereskan ruang arsip di lantai teratas sehabis kelas. Sebagai imbalan, kertas yang tampak tidak akan dipakai lagi bisa kubawa pulang.
Tidak seimbang dengan bayarannya? Tidak juga. Setidaknya, begitu menurutku. Bukan hal yang menakjubkan juga, tapi aku menikmati kegiatan bersih-bersih. Secara sengaja menceburkan diri ke dalam lautan debu, kemudian menyingkirkan mereka semua. Membuang tenaga sepulang sekolah hanya untuk memindah dan menyusun berkotak-kotak buku dan berkas lainnya. Selama tiga hari belakangan, aku menikmatinya. Lagipula, aku tidak ada kegiatan ekstrakurikuler juga.
Ya, aku menikmati bersih-bersih, terutama bila sendirian. Karena rasa kepuasan yang didapat nanti akan berlipat, lalu berubah menjadi semacam kebanggaan sendiri. Akan tetapi, hari ini, aku tidak bisa mengharapkan situasi yang sesuai idealku itu.
Senandung terdengar di ruangan ini, di antara lorong-lorong sempit yang diapit tingginya rak-rak buku. Meski bukan menyanyi juga, namun sekadar getaran pita suara yang menyesuaikan nada itu sudah bisa dikatakan indah. Cukup untuk merebut panggung dari orkestra rintik hujan deras di luar sana.
Buku bawaan sudah habis di tangan, aku pun beranjak dari tempatku berdiri. Berjalan tenang, berusaha tak membuat suara, meski kebanyakan juga akan diredam dera hujan. Saat itu lah, senandung terdengar makin jelas dan merdu. Hingga kemudian aku yakin, yang dilantunkannya itu adalah bagian dari Simfoni Kesembilan Beethoven yang termahsyur, Ode to Joy.
Sumber lantunan ini adalah dia, sesosok gadis yang tampak segera setelah aku keluar dari lorong rak buku. Duduk di balik meja, mengambil, memeriksa, lalu menyusun buku-buku sesuai nomor entri mereka dengan teliti. Bibir melengkung, tersenyum simpul tanda menikmati. Seakan ketika dia bersenandung selama bekerja, dunia jadi miliknya.
Setahuku, orang banyak memberinya pujian. Yang mana bila disusun mungkin bisa jadi satu lirik ode pula. Kenapa? Tentu sebab rupa dan pembawaannya yang memikat serta penuh wibawa. Karenanya juga, gadis di sana itu mendapat banyak nama. Namun, julukan yang kusematkan padanya, hanyalah sesederhana ‘Si Kacamata’.
Waktu belum banyak berlalu semenjak kami secara resmi berkenalan. Makanya, masih banyak hal yang tidak kuketahui soal dirinya. Selain ucapan bahwa dia adalah putri keluarga kaya, juga fakta bahwa dia mencetak skor sempurna di setiap ujian yang dihadapinya. Itu semua, ditambah apa yang sudah kusebutkan sebelumnya menaikkan pamornya seketika, mengesampingkan fakta bahwa dia masih kelas satu SMA.
Ku berjalan ke arahnya, mengulurkan kedua tangan pada susunan buku lain yang siap disimpan sebaik-baiknya di rak sebelumnya. Saat kuraihkan tangan, saat itu juga dia melirik padaku. Tanpa menjatuhkan senyum, mau pun mendiamkan senandung. Atas selayang jerat pandang itu, aku sesaat membatu.
“K-Kenapa?” tanyaku, terheran sekaligus ragu.
Simfoni dihentikan, tangannya pun terdiam. Segera setelahnya, jari-jemari itu berpindah dan menyeluk ke saku jaket. “Ada baiknya kau menyeka peluh di dahimu dulu, Kreator ...”
“A-Ah, benar juga.” Mendengar sarannya, refleks aku mengusap dahi dan wajah dengan lengan bawah yang masih bersih. Selepasnya aku baru sadar, si Kacamata menawarkan sebuah sapu tangan. Wajahnya melongo saat ini, terheran oleh tindakanku mungkin. Kami terjebak dalam hening selama beberapa saat.
“Erm ...”
Menanggapi erangan canggungku, dia mengembangkan senyum saja. Kupikir dia akan menyimpan kembali sapu tangan itu, tapi sebaliknya, dia malah menyodorkannya lebih dekat ke wajahku sekarang. Hingga terlihat jelas, sulaman kecil bermotif sepasang sayap di salah satu sudutnya.
“Kau bisa memiliki ini, Kreator. Aku berani bertaruh, kau sama sekali tidak menyimpan sapu tangan di tas maupun kamarmu.”
Senyumnya yang biasa bergeser menjadi bangga. Mungkin dia senang sebab berhasil mengambil jawaban atas tebakannya dari ekspresiku. Dalam secuil kekagetan, aku mengaku, aku memang tidak mempunyai sapu tangan sama sekali.
Tapi, itu bukan berarti aku harus menerima pemberiannya hari ini. Sesopan mungkin, aku menolak dengan gestur lambaian tangan, berharap supaya empu sapu tangan merah muda itu mengurungkan niatnya.
“Baiklah, Kreator. Aku tidak akan memaksamu saat ini. Tapi bila kau membutuhkannya, sampaikan saja padaku,” pesannya, sembari menyimpan kembali sapu tangan di saku.
“Erm, ya, baiklah,” pungkasku, lantas mengambil tumpukan buku lain dan membawanya ke rak lagi.
Di saat jarak fisik kami terpaut begini lah, aku baru bisa merasakan sedikit ketenangan. Hanya dengan kerenggangan seperti ini, rikuhnya situasi dapat dilelehkan. Inilah kenapa kusebut, ku tak bisa menciptakan situasi ideal sore ini. Itu semua berkat kehadirannya yang tiba-tiba. Muncul begitu saja, lalu ikut masuk dalam pekerjaanku hari ini.