Bisa saja, apa yang tampak di mataku saat ini tidak seperti yang kukira. Bisa saja, dia hanya iseng bermain di sana. Maklum, anak muda, kerap sekali melakukan hal-hal bodoh bahkan gila demi kepuasan semata. Tapi, ketika sepatu sudah dilepas begitu, pikiran positifku terbang menjauh begitu saja. Mau bagaimana pun, itu adalah gestur yang kerap dilakukan oleh orang yang hendak mengakhiri sendiri hidupnya.
“HEI!” seruku, berharap bahana lebih cepat daripada tanganku untuk menggapai sosok di sana. Sosok berambut hitam pendek yang berdiri di sisi luar pagar pembatas, itulah dia.
Aku tidak mematung saja. Kaki betulan kupacu demi memangkas jarak ke posisinya yang berbahaya. Hanya saja, langkahku tidak mau dipaksa mantap. Sebab mau bagaimana pun, genangan air di atap gedung ini memberikan kesan licin yang membahayakan. Salah-salah, bisa aku yang lebih dulu celaka malahan daripada dia.
“Tunggu!!” Teriak kuhempas lagi ketika aku mendekat. Badannya yang condong keluar, kepalanya yang tertunduk, juga pagar besi basah yang digenggamnya, kesemua itu membuatku tak tenang, risih, juga takut di saat bersamaan. Dia bisa jatuh—atau harus kubilang menjatuhkan diri—kapan saja dari puncak gedung ini.
“Jangan mendekat!”
Laung itu memberikan konfirmasi, bahwa yang dilakukannya memang sesuatu yang bukan main-main. Di saat yang sama, ia menghentikan langkahku. Tetapi, sebetulnya bukan sekadar seruan itu yang menjadi alasan. Sebuah pemikiran, bahwa menstimulus orang yang hendak bunuh diri untuk melakukan tabiat mereka adalah hal buruk. Itulah kenapa, aku berhenti saat ini. Supaya dia, sosok gadis berambut hitam pendek itu tak panik dan menjatuhkan diri.
Kudapati dia melirik. Memang sebelah matanya itu terhalangi beberapa helai rambut yang basah kuyup, sama seperti blazer yang dikenakannya. Aku pun mengamati sesaat. Satu hal yang langsung kusadari adalah, dia memakai seragam yang sama denganku. Sudah jelas dan pasti, dia salah satu murid sekolah ini.
“Hei, tunggu, jangan buru-buru!” seruku membujuk.
“Tolong, pergi saja. Biarkan aku mati sendiri,” balas dirinya meminta, yang mana merupakan kalim yang tak mungkin kukabulkan. Juga, sekali lagi, pernyataan yang memastikan niatnya. Tidak salah lagi.
Dahi ini mengerut keras, mengikuti geraham yang saling menekan di dalam mulut. Kalau pun aku terlihat tenang, itu hanya usaha agar memang tetap tampak begitu saja. Di dalam hati, aku menyadari, aku tidak punya pengalaman atau ilmu mumpuni untuk menangani situasi seperti ini.
“Kumohon, jangan buru-buru,” lanjutku membujuk, kali ini sambil sekali maju melangkahkan kaki. “Bila kau memiliki masalah, kau boleh mengatakannya padaku ...”
“Jangan mendekat!”
Stalemate sekali lagi. Meski dalam situasi yang membahayakan begini, pandangannya masih tajam sepertinya. Seruan tadi, pasti respon atas langkahku. Aku tidak berani mendekat sekarang. Sebab aku tidak yakin bisa menghentikan ini hanya dengan kata-kata, niatku adalah segera mendekat dan menangkapnya.
“Baiklah, maaf! Tapi aku serius, coba katakan masalahmu dulu, mari kita pikirkan bersama jalan keluarnya. Jangan buru-buru melakukan hal ini ....”
Aku pernah baca di internet, kalau orang yang mencoba bunuh diri adalah orang yang tersiksa di dunia ini. Korban dari anggapan ketidakadilan semesta. Selagi menanggung beban mental yang berat, mereka tidak menemukan cara untuk memanggil pertolongan. Perasaan ditinggalkan yang berujung depresi, lalu menuntun pada rasa percepatan untuk mati.
Kalau memang itu benar, maka yang harus diyakinkan pertama kali adalah, kepercayaan bahwa dia tidak sendiri di dunia ini. Pertolongan pasti akan hadir. Lemah pun tak apa, karena sesosok penolong pasti ada. Walau aku tak memiliki hati dan kapasitas sebagai seorang penolong, setidaknya, yang pasti, aku tidak bisa meninggalkan dia begitu saja.
“Hei, kau mau menceritakan masalahmu? Sebentar saja ...,” bujukku kembali. Berharap ini dapat menjadi peluang waktu, menanti bantuan yang sebenarnya datang. Kendati demikian, aku tak yakin bantuan macam apa yang sebenarnya kutunggu ini ....
“Tidak, terima kasih,” Gerak mulutnya, tapi tidak dengan mata yang bahkan tak berkedip itu. Lempeng saja menatapku lurus. Macam mata Medusa, membuatku membatu di posisi. “Aku ... tidak ada niat merepotkan orang lain lagi.”
“Tak apa! Aku tidak merasa kerepotan, kok! Kau boleh bercerita semaumu padaku.”
“Tidak! Aku sudah menceritakan masalahku pada seseorang. Kau bisa bertanya padanya nanti.”
“Kumohon, ceritakan saja. Aku bersedia membantu—“
“Tidak!” Pekik itu jelas memotong usahaku. “Aku sudah cukup mengecewakan di sini. Kalau kau mau membantu, tinggalkan aku sendiri, sekarang juga! Aku hanya ingin mati saat ini!!”
...
Aku sadar, apa yang kukatakan barusan, kesemuanya, terdengar omong kosong bagi siapapun. Bahkan, bagi diriku sendiri. Tapi, dirimu juga, wahai gadis di sana. Kalau kau memang cuma ingin mati, kenapa kau tidak langsung lompat dari awal saja? Tentu, aku tidak punya nyali untuk mengatakan ini secara langsung. Tapi, mungkin saja, kau masih bimbang sampai sekarang bukan? Kau masih ragu-ragu akan niatanmu sendiri. Mungkin, kau masih menanti pertolongan juga saat ini. Hanya saja, ...
—Mungkin kah, kau hanya malu untuk meminta tolong ....
Ah, sialan. Di saat seperti ini malah teringat ucapan si Kacamata tadi. Tapi, ya, aku tidak bisa menyangkal kalau itu adalah sebuah kemungkinan. Mau bagaimana pun, cuma bisa bertaruh di sini.
“Hei, sungguh, kau tidak perlu melakukan ini.” Dengan ucapan berbeda, kucoba dekati dia. Waktu selalu memburu untuk situasi semacam ini. Alirannya seakan berteriak di telinga kami untuk segera menyelesaikan segala tabiat yang ada. Ditambah, hujan ini memburu kami dengan sikap dinginnya.
“Tidak.” Dia menggeleng. “Kau tidak mengerti. Aku hanya ingin mati saja. Jadi tolong, tinggalkan ....“
“Bagaimana aku bisa mengerti kalau kau tidak mau bicara!”
Kali ini, aku yang memotong kalimatnya. Dia diam, lantas menoleh padaku, memperlihatkan lebih banyak bagian wajah yang di mataku terkesan lelah.
Di satu sisi, aku baru sadar kalau bisa saja seruanku barusan membuatnya terpelatuk untuk mengeksekusi tindakan. Tentu, aku tidak berharap demikian. Hanya saja, sempat terlintas bahwa ucapanku tadi bisa saja agak berlebihan.
“Kau sungguh, ingin mendengar ceritaku?” Sekejap, tanyaan itu seperti memunculkan harapan. Kelihatannya, niatnya untuk berkomunikasi masih bersisa sedikit juga. Bolehkah kusimpulkan dia masih memiliki kewarasan saat ini? Tampaknya itu terlalu cepat, tapi ya sudah.
“Ya! Aku berniat membantu, jadi paling tidak, biarkan aku tahu apa masalah yang kau hadapi,” jawabku mantap, karena dorongan keadaan ini.
“Aku ... aku sudah ....” Jeda memotong. Seperti kebingungan, dia menarik pandang dariku, mengalihkannya ke bawah, tertunduk. Sesaat kemudian, dia menatap lurus ke depan. Lalu sesaat lagi, dia mendongakkan kepala, membiarkan kulit wajahnya ditimpa rintik hujan.
“Aku ... sudah membuang mimpi. Aku sudah mengecewakan. Aku sudah kehilangan ... artiku. Itu saja.”
“Arti?” responku spontan. Walau dia menyebutkan hal lain juga, kata itu saja yang seketika menarik perhatianku. ‘Arti’, apakah itu maksudnya alasan untuk hidup? Kalau begitu, apa yang telah hilang darinya?
“Ya. Aku sudah tidak memiliki alasan untuk singgah di dunia ini. Aku sudah tidak memiliki guna lagi. Aku hanya sampah di sini.”
Selagi dia tidak melihat, aku pelan-pelan bergerak mendekat. Sepelan mungkin supaya dia tidak sadar akan pergerakanku. Di saat bersamaan, aku melanjutkan bujukanku.
“Kumohon, tak usah kau bilang begitu pada diri sendiri. Kupikir, selama masih bernyawa, manusia selalu memiliki manfaat di dunia.”
“Ya. Kau mengatakannya, karena memang masih memilikinya. Aku? Tidak lagi.”
“Kumohon, jangan. Apapun masalah yang kau hadapi, pasti ada jalan keluarnya.”
Sekali lagi, aku tahu, itu semua terasa jelas omong kosongnya. Tapi memang hanya kalimat seperti itu yang kutahu untuk hal-hal seperti ini. Aroma harapan dalam keterpurukan, sepertinya kadang malah terlalu manis dan memuakkan.
“Satu-satunya masalah yang kumiliki saat ini adalah, pengganggu yang tidak membiarkanku pergi sendirian dengan tenang! Bisa kau beri aku jalan keluar untuk itu?!”