Situasi berubah dengan begitu cepat. Setidaknya, klimaks telah berlalu dan aku dapat merasa tenang sesaat. Meski begitu, hujan masih belum mau reda. Seperti menandakan bahwa masalah tidak akan selesai dengan ini saja.
Gadis yang mencoba bunuh diri, seketika langsung pingsan setelah niatnya tidak dikabulkan. Aku dan Kacamata membawanya ke UKS, masih dalam kondisi basah kuyup.
Selagi gadis mengurusi gadis lainnya di ruang sana, aku membenahi diriku sendiri di ruang ganti. Menanggalkan kemeja dan blazer yang basah, kemudian memakai kaos olahraga kembali. Untung saja aku membawanya hari ini. Buat pakaian dalamnya ..., yah, aku tidak perlu mengatakannya.
Menolong orang kadang berarti mengorbankan diri sendiri. Kupahami pengorbanan itu berwujud waktu atau sekadar tenaga saja. Makanya, aku agak terkejut, kalau tanganku harus menerima luka demi mengangkat kembali sebuah nyawa.
Sambil berjalan menyusuri lorong, kutiup-tiup punggung tangan yang lecet kulitnya. Perih ini memaksa tanganku buat tidak banyak bergerak, juga melarangku memasukkannya ke dalam saku seperti biasa. Menyebalkan memang, tapi mau bagaimana. Aku tidak punya healing factor1 macam Wolverine juga.
Beberapa langkah sebelum sampai ke UKS, pintunya terbuka begitu saja. Seseorang keluar dari sana, yang kemudian dia berbalik ke dalam ruang dan melambaikan tangan. “Kalau begitu, aku permisi dulu, Nona,” pamitnya.
Gadis lain yang memakai seragam sekolah ini, aku sudah pernah berkenalan dengannya, namun kontak kami sebatas saling tahu nama masing-masing saja. Sebab alasan itu, aku jadi agak ragu untuk menyapa. Si Kiyomi Sanada ini ....
Dia menoleh, menyadari kehadiranku. Selepasnya, dia tersenyum lantas jalan ke arahku. “Sedikit saran untukmu, kawanku ...,” ujarnya, berhenti dan lalu menaruh tangan di bahuku, “... jangan terlalu dibawa perasaan dan terima saja apa adanya.”
Tak paham maksudnya, aku pun menyahut bingung, “Hah? Apa?”
“Ingat-ingat saja itu. Kau sudah melakukan yang terbaik.” Itu adalah ucapan penutupnya, sebelum berjalan meninggalkanku sambil melambaikan tangan. Rasanya ... deja vu.
Melepaskan pikiran dari tindakan aneh tadi, aku bergegas ke UKS. Masuk, kemudian menutup pintu. Di salah satu sisi ruang, berjejer beberapa tempat tidur. Salah satunya ditutupi tirai, menunjukkan bahwa tempat itu sedang digunakan.
Kemudian, di sudut lain ruangan, si Kacamata tampak menggeledah lemari. Sepertinya dia mengeluarkan beberapa barang dari sana. Menutup kembali tempat berisi berbagai macam obat itu, lalu berbalik ke arahku. Lantas, aku menyadari sesuatu. Sepi sekali di sini.
“Bu guru mana?” tanyaku ke Kacamata.
“Entahlah, Kreator. Tapi syukur ruangan ini tidak dikunci,” jawabnya santai.
Sedikit jauh dari ranjang, aku membangkukan diri. Sementara itu, si Kacamata menaruh sebuah botol kecil dan beberapa bungkusan plastik di meja. Dia membuka salah satu bungkusan—yang ternyata isinya adalah kain kasa itu.
“Apa dia terluka?” tanyaku penasaran, merujuk ke gadis yang sekarang terbaring.
“Tidak, Kreator.” Kacamata melangkah ke arahku, membawa kain kasa dan botol tadi. “Dia memang pingsan, tapi kupikir itu karena kelelahan saja. Yang ini, untuk lukamu.”
Duduk di bangku lain, dia kemudian menyemprot kasa dengan cairan—antiseptik mungkin—dari botol.
“Kau sudah membasuh luka itu, ‘kan?”
“Sudah, sih.”
“Tunjukkan tanganmu. Kita kompres dengan ini.”
Hendak saja dia akan meraih tanganku, aku langsung mengelak. Dengan alasan ‘aku bisa sendiri’, dan merebut kain kasa dari tangannya. Dan seperti arahannya, mengompres tanganku dengan kain itu.
Pada sentuhan pertama, perih kembali terpelatuk lagi di tangan kanan. Memaksa wajah datarku menampakkan rasa yang sesungguhnya. Tapi beberapa saat kemudian, sensasi dingin mengambil alih situasi. Huhhh, sudah lama, sejak SD kalau tidak salah semenjak aku pertama merasakan bahan medis ini.
“Syukurlah kau punya kesadaran atas lukamu. Aku khawatir kau adalah tipe yang lebih suka menahan rasa sakit luka dan membiarkannya saja,” celetuknya tetiba.
“Kupikir, itu tergantung situasi, sih. Tapi, yah, terima kasih.”
Kami masuk ke mode senyap sesaat. Kacamata bangkit dari bangku dan melepaskan blazernya. Gerah karena agak basah mungkin? Lagipula, dia tadi juga berada di luar ruangan tanpa payung atau pelindung apapun. Maklum saja.
Baru teringat, aku bertanya soal baju gadis itu tadi. Lantas si Kacamata menjawab kalau dia—dibantu seorang temannya—sudah menggantikan bajunya dengan seragam olahraga, seperti diriku sekarang ini. Habis itu, kami diam saja lagi.
Ruangan ini memberikan aroma yang agak aneh di hidung. Namun yang kutahu, itu adalah aroma tanda kebersihan. Mirip seperti di rumah sakit. Dari dalam sini pun, hujan masih terasa juga. Mungkin tidak sederas tadi, tapi belum berhenti.
“Jadi, Kreator ...,” cetus si Kacamata tiba-tiba. “Inikah jawabanmu atas tanyaanku tadi?”