Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #9

Despair Tendency - Talking

“Jangan paksa aku untuk mendengarkan ocehan kalian, kumohon.”

Yuuko Shiki, gadis yang barusan berusaha untuk lompat dari puncak gedung sekolah ini telah bangkit dari tidurnya. Tidak seperti yang kukira, dia siuman cepat juga. Kacamata mungkin benar, dia hanya sekadar kelelahan, ditambah syok karena situasi yang baru saja terjadi.

“Shiki, ada baiknya kau perbanyak istirahat dulu,” saran Kacamata, yang langsung berjalan ke arah ranjang.

“Aku sudah baikan. Jangan hiraukan aku.” Namun Shiki dengan segera menolak saran itu, secara bersamaan, menepis tangan Kacamata yang hendak memaksanya berbaring kembali.

“Mata panda dan kulit pucatmu tidak berkata demikian, Shiki.” Meski Kacamata terus meminta, Shiki tetap meronta. Persis macam situasi yang kuhadapi belum lama tadi. Hingga kemudian, Kacamata akhirnya menyerah. “Baiklah. Kalau begitu tolong, setidaknya jangan banyak bergerak.”

Tak lama waktu berselang, Kacamata memintaku untuk mengambilkan segelas air. Tanpa membalas apa-apa, aku bergerak menuju dispenser di sudut lain ruangan. Mengisi satu gelas kaca dengan air, lalu membawanya ke depat ranjang. Setelah Kacamata menjauh, aku memberikan air itu pada Shiki.

Dia menggapai gelas yang kusodorkan dengan tangan kirinya, membuat jemari kami bersentuhan sesaat. Tetapi, bukannya langsung menarik lepas, dia mencengkeram gelas itu bersama jemariku di antaranya.

“Aku tidak akan berterima kasih,” celetuknya ketus.

Dia tidak mengatakan itu sambil memandangku. Matanya, seperti saat di sisi lain dari pagar pembatas tadi, melihat ke bawah saja. Bagai tujuan satu-satunya adalah jatuh ke tanah, kembali menjadi asal muasal raga ini.

“Tidak apa-apa,” balasku datar. Sehabis yakin kalau pegangannya cukup kuat, kulepaskan genggaman. Meski tidak ia jelaskan maksud ucapan tadi, aku sudah paham untuk apa itu. Makanya, aku cuma menjawab demikian. Tapi, sakit juga, ya, rasanya.

Dia meminum air dari gelas hingga setengah kosong, kemudian mengembalikannya padaku. Kacamata yang sempat hilang dari pandang, tetiba datang mendekat bersama dua buah bangku. Ditaruhnya mereka di dekat ranjang Shiki, dan kami duduk berhadap-hadapan sekarang.

Hening. Aku tidak tahu harus berbicara apa dalam situasi ini. Rintik hujan di luar sana masih terdengar saja, tapi tentu tak akan selamanya. Ketika dia diam, dan itu pasti, situasi ini akan semakin canggung sepertinya.

Bertanya alasan Shiki hendak bunuh diri pun, aku sudah terlanjur mengetahuinya lebih dulu. Mencoba meyakinkan dia kalau hidup tidaklah buruk juga terasa lebih berat rasanya. Lidahku ini kelu sudah, terlalu banyak teriak dan berargumen tak jelas.

“Shiki ....” Macam tahu kebuntuan yang melingkupiku, si Kacamata membuka kata. Dia memang punya pengamatan yang bagus, selalu. Kendati kami sempat cekcok tadi, untuk sementara, akan kuandalkan dia untuk mencairkan suasana.

“Apa dirimu masih berpikir untuk bunuh diri?”

Sial! Tidak seharusnya aku berharap terlalu cepat padanya. Bagai kilat, aku sigap menoleh ke Kacamata yang duduk di sebelah kiriku. Menatap dengan mata melotot. Dia sadar akan hal itu, tapi acuh tak acuh saja padaku. Sialan memang, orang baru saja selamat dari percobaan bunuh diri malah ditanyai begitu.

“Entahlah. Tapi aku masih ingin ... menghilang dari dunia ini.”

Selepas Shiki menjawab demikian, Kacamata balik menoleh padaku. Sorot mata di balik lensa itu bagai bicara, ‘sudah kubilang, ‘kan?’. Maka dari itu, aku pun membalas pakai mata dengan pandangan, ‘itu kan karena kau yang tanya, keparat!’.

“Shiki ...?” ucapku menyela.

“Hm?” responnya sembari menolehkan muka padaku.

“Sebelumnya, maaf, aku sudah mengetahui masalah yang kauhadapi dari si Kacamata ini. Aku ... turut berduka atas hal yang terjadi. Meski begitu, kupikir tidak berarti kau harus membunuh dirimu sendiri karena itu.”

“Ya. Orang-orang pasti akan bilang begitu, ya. Tapi setidaknya, tolong sebutkan, alasan apa yang kumiliki untuk tetap hidup juga?”

Secara refleks, aku memutar mata, tidak bisa secara langsung menyiapkan alasan yang dia minta. Shiki sendiri, dia kembali menundukkan kepala. Menghela napas dalam, dan mengembuskannya keras-keras seperti sudah lelah dengan semua. Sementara si Kacamata, dia tidak melakukan apa-apa.

“Kau tadi sempat bertanya bukan, kenapa aku ingin mati? Kupikir kau sudah bisa mengira-ngira jawabnya. Tapi sekarang, coba kutanya balik, kenapa kau ingin hidup di dunia ini?”

Masih sama saja, aku tidak bisa langsung menjawab. Kacamata pun cuma memasang telinga, tersenyum sambil mendengarkan setiap ucapan gadis lain di depan mukanya.

“Aku sudah cukup mengecewakan orang, aku sudah cukup dikhianati. Terserah kalian melihatku dengan mata yang bagaimana, tapi aku sudah muak. Kalau pun aku menambah daftar kasus tahunan nanti, toh tidak ada bedanya juga, ‘kan?”

Jumlah orang yang bunuh diri di Jepang memang terbilang tinggi, mencapai puluhan ribu orang. Dan salah satu usia tertinggi yang mengisi daftar tersebut adalah remaja. Alasannya beragam, namun atas alasan apapun itu, semuanya menyedihkan.

Yang gadis berambut pendek itu katakan mungkin benar. Kematiannya tidak akan menambah jumlah secara spesifik. Tapi, tetap saja, setiap satu angka yang bertambah pada daftar itu menandakan suatu bentuk deviasi dalam masyarakat ini.

Seketika, Shiki mengalihkan perhatian pada Kacamata. Mata keduanya pun bertemu, dalam hening sesaat, yang tetap berusaha menyampaikan berbagai rasa yang mereka punya.

“Terima kasih, sudah memahami diriku. Seperti yang kau bilang, aku hanya ingin mati saja. Aku tidak menginginkan pertolongan dari siapapun atau apapun. Aku menghargai pilihanmu.” Sejenak, dia terdiam. “Lagipula, orang sepertiku yang macam sampah ini, tidak ada gunanya lagi di dunia. Yang ada malah, hanya menyakiti orang lain saja ....”

Pada akhir ucapannya itu, aku merasakan lirikan mengarah padaku. Tidak, lebih tepatnya mengarah pada punggung tangan berhias luka yang ada di pangkuanku.

“Aku tidak masalah dengan luka ini, kok.” Karena merasa dipandangi, aku sengaja buka suara sambil mengangkat sebelah tangan. “Kau tidak perlu khawatir. Juga, kau tidak perlu menyebut dirimu sampah seperti itu.”

“Meski dirimu jadi sampah pun, masih ada kemungkinan untuk didaur ulang, kok. Setiap sesuatu yang hadir di dunia ini pasti memiliki maksud tertentu. Ketika waktunya mereka hilang, mereka akan menghilang juga atas suatu maksud dan alasan.” Meski aku kurang menyukai cara penyampaian itu, aku berterima kasih atas imbuhan Kacamata.

Lihat selengkapnya