Hei, Diriku. Ya, kau yang bermain balok di sana. Berpalinglah sejenak. Lihat, Ibu melihat di belakangmu. Berbaliklah dan katakan sesuatu!
Ah, tidak. Diriku masih belum bisa berbicara. Meski Ibu ada dihadapmu pun, menatap dengan mata juga gurat bahagia, kau hanya akan tertawa dan mengeluarkan suara tanpa arti yang dipahami orang dewasa.
Hei, Diriku yang sedang menggambar di sana itu. Hentikan dulu tarian pensil warnamu dan lihat ke Ibu. Dia sedang memasak makanan kesukaanmu di sana. Berpalinglah sejenak dari imaji itu dan tolong tanyakan pada Ibu!
Tidak, tunggu! Simpan saja gambar itu karena Ibu pasti akan melihatnya! Bantu aku dengan menanyakan sepatah dua patah kata! Tidak. Kau sudah dititah untuk tidur siang sekarang. Memunggungi raja hari di futon itu.
Hei, berbaliklah sekarang! Simpan PR itu untuk nanti lagi sebab Ibu sudah menunggu di pintu depan. Kau akan terlambat, begitu juga Ibu yang hendak mengantarmu. Kumohon, ketika kalian menyusuri trotoar itu bersama, tanyakan, sampaikan tanyaku pada Ibu! Kumohon!
Ah, tidak, bahkan memohon pada Diriku sendiri pun tiada guna. Suaraku tak dapat menggapai Diriku di dunia ini, apalagi Ibu.
Sudah cukup, aku menyerah. Terduduk lesu di balik pintu. Menekuk, memeluk lutut dalam kesendirian, kekosongan ruang. Tiada rasa, tiada sensasi pula. Hanya gelap semata. Gelap yang pasti abadi selama-lamanya.
Kemudian, kudengar suara pintu diketuk. Tok tok tok, berima begitu tiga kali. Setelah ketukan keempat, kuberanikan diri bangkit dan membuka pintunya.