—Apakah ini memang yang terbaik?
Pertanyaan itu terngiang lagi di kepalaku, kala selembar lagi kertas A4 kubelah jadi A5. Bayangan sensasi seperti Moses yang membelah Laut Merah pun sirna seketika, sebab tanganku diberhentikan oleh rasa tidak yakin.
Dua hari sudah berlalu dari Jumat itu, tapi aku masih merasa tidak percaya saja. Bahwa diri ini, dengan bantuan tangan lain, baru saja menyelamatkan seseorang yang hendak melakukan bunuh diri. Ah, ya ampun, kalau diingat lagi aku jadi kepikiran, apakah benar aku menyelamatkannya?
Sosok yang dirundung derita itu bernama Yuuko Shiki. Siswi seangkatanku di SMA. Tampaknya dia jarang sekali masuk sekolah, sebab tuntutan pekerjaan sebagai idola gravure yang menggugurkan mimpinya untuk menjadi guru. Hal itu ia lakukan demi membiayai pengobatan sang ibu. Akan tetapi, uang hasil kerjanya malah dimanfaatkan oleh sang ayah, dan pada akhirnya, sang ibu meninggal belum lama ini. Stres serta rasa kehilangan, menjadi pendorong tindakannya. Setidaknya, begitulah yang kuketahui.
Kegiatan sementara kuhentikan. Bangkit segera dari lantai, serta-merta keluar dari kamar. Seseorang dari kamar yang berseberangan tampak berpakaian rapi, segera menikung ke tangga dan turun. Aku mengikutinya dari belakang.
“Mau ke mana kau?” tanyaku.
“Main,” jawabnya singkat.
“Ah, begitu,” pungkasku begitu saja.
Sementara pemuda bergaya itu melesat ke pintu depan, aku berkelok ke dapur. Mengambil sebuah gelas, lalu berpindah ke kulkas. Kuambil sekotak susu coklat dan menuangkannya ke gelas di tangan. Selepas mengembalikannya ke dalam kulkas, aku minum di tempatku berdiri. Ini saja tidak bisa dibantah, susu coklat adalah yang terbaik dari jenisnya.
Hmm, terbaik ya ....
Selumbari hari itu, dua orang bilang kalau aku sudah melakukan yang terbaik. Salah satu dari mereka adalah seorang gadis berkesan menyebalkan bagiku, yang akhir-akhir ini entah kenapa sering kali berada di sekitarku. Atas sebuah perjanjian, aku menyebutnya si Kacamata.
Si Kacamata ini adalah tokoh lain yang membantuku menyelamatkan Shiki. Malah, andai saja dia tidak datang membantu, aku bisa-bisa ikut terjungkal bersama si pencoba bunuh diri dan jatuh dari puncak gedung sekolah. Dia menjadi alasan sebenarnya bagi dua jiwa untuk masih berada di dunia.
Meski begitu, aku tidak paham dengan ucapan si Kacamata kemarin. Dia menyebut bahwa dia lebih memilih membiarkan Shiki mati, sebab Shiki sendiri memang ingin demikian. Kukatakan hal itu salah, namun gadis itu tetap menyanggah. Beromong kosong seperti dia sudah menawarkan bantuan tapi ditolak, atau semua orang punya hak untuk mati, dan semacamnya. Pada titik itu, aku sudah cukup muak dengannya.
Akan tetapi, pada akhirnya, malah dia yang seperti memegang tanggung jawab penuh pada keberadaan Shiki yang sedang dalam posisi sulit. Saat ini pun, dia membiarkan si korban—atau pelaku?—itu menginap di rumahnya.
Di sinilah aku bertanya-tanya, apa benar aku sudah melakukan yang terbaik? Apakah aku benar-benar menyelamatkan Shiki? Lantas kenapa orang yang bilang akan membiarkan Shiki mati itu malah jadi yang paling memeras keringat untuk membantunya? Perasaan ini, mencengkeram begitu erat, dan aku tidak menyenanginya.
Akan kuakui, aku tidak memiliki pengalaman serta pengetahuan untuk menangani orang yang punya kecenderungan bunuh diri. Lebih lagi, aku tidak memiliki sumber daya untuk membantu urusan itu juga.
Sebaliknya, Kacamata adalah keturunan orang kaya. Ditambah, tampaknya, dia memiliki lebih dari cukup pemahaman mengenai urusan seperti itu. Kemarin dia sempat menyinggung psikiater, pengacara atau sejenisnya juga. Satu hal yang kemudian kusadari adalah, dunia kami benar-benar berbeda.
—Ya, jelas. Dia bepergian dengan sedan sedangkan aku hanya jalan kaki ....
Lalu, hal lain lagi yang kusadari adalah, dunia kami pun berbeda dengan dunia yang dilihat Shiki. Mata gadis berambut pendek itu bahkan terkesan sudah tidak mau melihat dunia ini. Seperti yang dikatakannya, meski itu tindakan yang salah, dia ingin cepat-cepat mati saja.
“Saku!”
Seseorang memanggil namaku. Dari suaranya, itu pasti ibuku. Seingatku tadi Ibu sedang menyapu halaman depan, ada apa ini sampai memanggil?
Bergegas ku menuju pintu depan. Gelas susu tidak kutinggal karena masih ada isinya. Sambil jalan pun seseruput kuminum juga.
“Kau kedatangan tamu!”
Suara Ibu terdengar lagi. Dan katanya, tamu? Hmm, jarang-jarang ada yang mencariku. Pada faktanya, tidak banyak teman sekolah yang tahu rumahku. Beginilah nasib orang yang rada tertutup.
Pintu kubuka. Mentari yang pagi ini sudah silau saja sejenak membutakan. Namun ketika pandanganku mulai terbiasa, alangkah terkejutnya diriku, sampai-sampai hampir menjatuhkan gelas ke lantai. Apa yang muncul di hadapanku adalah, sesuatu yang sungguh tidak terkira. Membelalakkan mata.
Sekilas terlihat seperti Megumi Megumi muncul ke dunia nyata sebab outfit kardigan merah pastel dan gaun one-piece putih itu. Hanya saja, ketika terlihat bahwa bukannya topi baret melainkan pita yang menghias di kepala, aku langsung sadar bahwa dia bukan perwujudan sang waifu sejuta umat. Tetap, dia adalah sesuatu yang LAIN.
“Ka-Kacamata ...,” ucapku terbata, tak menyangka sama sekali bahwa dia, yang belum lama berkenalan denganku, sudah dapat mencari dan datang begitu santainya ke kediamanku.
“Selamat pagi, Kreator.” Dia menyapa, dengan senyum yang seperti biasa. Sejenak kemudian, sebelah tangan itu membetulkan posisi kacamata di wajahnya. Saat itu juga, aku menata kembali diri sendiri.
“Dari mana kau tahu rumahku?” tanyaku sebagai sambutan resmi.
“Aku ... mencari alamatnya,” ungkap gadis itu dengan nada tidak yakin.
Kuusap dahi pelan-pelan. Tak mengira kalau dari semua orang yang ada di SMA, malah dia duluan yang tahu. Seingat-ingat, aku belum pernah mengatakan alamat rumah sendiri pada siapapun di sekolah—mengesampingkan guru wali, tentu saja.
Langsung aku melayangkan komplen, tidak bisakah dirinya menelepon terlebih dahulu? Lantas dia membalas, kalau kita belum bertukar nomor ponsel. Baru aku mau melontarkan komplen kedua, Ibuku yang masih ada di halaman depan segera menyela, menyuruh kami masuk ke dalam rumah supaya dapat lebih santai bercakap.
“Tidak apa-apa, Bu, maksud kedatangan saya kemari bukan untuk bertamu dulu.” Namun dengan segera, si Kacamata menolak. “Ada sesuatu hal yang hendak saya bicarakan dengan putra Ibu, sekadar itu.”
“Ah, baiklah. Kalau begitu, Ibu tidak akan mengganggu.” Setelah mengatakan itu, entah kenapa, Ibu yang ada di belakang Kacamata memberikan kedipan mata yang ... seperti kode? Damn, Ibu, serius, aku tidak butuh kode-kodean semacam itu saat ini.
Topik kukembalikan, bertanya soal apa yang hendak dibicarakan si Kacamata. Lantas dia mendekat padaku, masih di ambang pintu. Didekatkannya wajah, memberikan gestur seakan apa yang ingin dibicarakannya adalah rahasia.
“Ibumu cantik sekali, ya, Kreator.”
“Tentu saja.”
“Kalau kalian berjalan berdampingan, pasti sudah dikira sebagai pasangan, ya.”