Jujur, aku ceroboh sekali. Sebelumnya, sudah kusadari perihal derajat keluarga si Kacamata yang berbeda dengan orang biasa. Banyak kudengar suara kalau dirinya adalah putri konglomerat, dan aku sudah melihat salah satu buktinya kemarin. Hari ini, aku menaiki bukti itu sekali lagi dan mendapati pembatas kasta yang benar-benar berasa beda, dijejalkan ke dalam area pandangku.
Selama perjalanan, aku cuma melamun saja. Mencerna beberapa hal yang mengganggu di pikiran. Akan tetapi, saat kami sampai di sebuah gerbang logam yang besar, lamunanku diputus seketika.
Plakat hitam dengan patrian emas nama keluarga si Kacamata terpasang di salah satu sisi gapura. Setelah mobil masuk ke dalam properti pribadi itu, baru aku sadar kalau gerbangnya mempunyai mekanisme buka-tutup otomatis.
Mobil masih melaju beberapa waktu lagi. Menyusuri jalan yang memotong barisan pepohonan. Aku yakin, harusnya kami sudah masuk area kediaman, tapi tumbuh-tumbuhan besar masih menghalangi tampang rumah utama. Rasanya seperti, satu area hutan dicaplok dan dijadikan halaman rumah ini.
“Dibalik sebelah bahumu, padang rumput pun nampak berkilau~”
Seperti potongan lirik lagu yang sedari tadi tidak diganti, yang menyambut berikutnya adalah tampilan tanah luas berselimut rerumputan. Di beberapa titik terlihat pohon dan tanaman pagar. Itu mungkin dimaksudkan untuk taman. Tapi, luasnya ini ...
Kejutan terakhir yang sampai membuat sudut mataku berkedut adalah, tentu saja, gedung utama. Ujung jalan yang kami lalui ini menuntun pada sebuah bangunan putih yang sangat besar. Justru tampak lebih besar lagi setelah aku turun dari mobil.
Tidak seperti rumah Jepang umumnya, arsitektur bangunan ini berkiblat ke gaya barat sana. Kalau dikatakan, mirip seperti Stasiun Tokyo, namun berbeda warna dan hanya ada dua lantai saja. Punya banyak jendela, dan memanjang ke kanan-kiri. Bila melihat atap kubah di tengah-tengahnya, rasanya lebih seperti kombinasi dengan Gedung Capitol di Amerika Serikat, jelas disertai scale-down.
Mobil pun menghilang di balik sudut bangunan. Kacamata yang berjalan ke depanku, menaiki tangga, lantas mengangkat sebelah tangannya. Beserta senyum wujud sambutan hangat tuan rumah, dia menunjukkan jalan.
Tangga yang lebar kami jajaki, menyelinap di antara empat pilar besar, menuju pintu kayu yang cukup tinggi itu. Melihat semua bentuk kemegahan ini, sempat kukira akan ada maid atau butler yang akan mengucap ‘Selamat datang kembali, Nona’, tapi itu tak terjadi. Kacamata membuka pintu itu sendiri, menutupnya sendiri juga setelah aku melangkah masuk.
Pintu masuk tadi terhubung dengan sebuah koridor, yang mungkin agak terlalu luas untuk sekadar disebut koridor. Langit-langitnya begitu tinggi, pantas terasa besar meski hanya susunan dua lantai. Jendela di sisi-sisinya dihiasi kaca patri warna-warni, memberikan pola berwarna pula di lantai yang monoton dengan dinding putihnya. Tinggal ditambahi altar dan deretan bangku panjang saja, pasti koridor ini sudah bisa jadi gereja.
Ya ampun. Ini perbedaan yang terlalu luar biasa. Rasanya sudah seperti aku masuk ke dalam portal dan muncul di daratan Eropa sekarang ini. Sudut mataku berkedut-kedut tak tahu mengapa, mungkin sebab terlalu kaget dengan apa yang sedang kulihat sekarang. Rasa takjub serta inferioritas yang membanjiri ini, membuatku ingin pulang. Kenyataan bahwa aku satu sekolah dengan si Kacamata ini terasa gila sekarang.
“Kreator, mari ....” Sekali lagi, Kacamata maju ke depan, menunjukkan jalannya.
Aku, sembari mengegah di belakangnya, mengingat kembali tujuan datang kemari. Mungkin aku cuma tertekan sejurus sebab semua tampak besar sekarang. Atau, itu karena aku terlambat menyadari bahwa memang semuanya adalah hal yang besar? Entahlah. Yang pasti, aku hanya akan melihat ini sebagai usaha perbincangan. Manusia agar dapat memahami sesamanya, paling mudah adalah dengan saling bertukar kata.
“Kau di rumah sendiri?” tanyaku, menyela ketukan konstan bunyi langkah kaki.
“Ayahanda dan Ibunda masih punya kesibukan, tetapi seharusnya petang nanti sudah pulang. Bila kita mengecualikan pegawai di sini serta keberadaan Shiki, benar, aku hanya sendiri,” papar Kacamata sambil menoleh padaku.
Seterusnya, dia menjelaskan beberapa hal lain. Shiki menempati salah satu kamar di lantai dua. Kacamata memberikan kunci kamarnya pada sang tamu. Katanya, bertujuan untuk memberikan kebebasan. Namun karena itu sang tamu malah jadi mengunci diri dan menyulitkan si Kacamata sendiri.
Selama dua hari ini, Shiki selalu mengunci pintu. Untuk makan pun dia tidak akan membukanya, meski sudah dihantarkan ke depan kamar. Setiap dipanggil dia tidak mau keluar, atau bahkan menjawab. Kacamata menyuruh pegawai di rumahnya untuk maklum dengan hal itu, dan mengantarkan saja makanan bila waktunya tiba.
“Sepertinya Shiki hanya mengambil hidangannya di tengah malam, itu pun tidak dihabiskan semua. Selain itu, tidak mungkin juga aku mengarahkan psikiater masuk ke kamar gadis di jam-jam seperti itu,” lanjutnya.
“Lalu, bagaimana kau mengawasi dia? Andai dia mencoba kabur atau melakukan hal berbahaya lainnya ...,” selaku bingung.
“Tak payah risau, Kreator. Apa pun yang terjadi di rumah ini, kujamin, aku pasti mengetahuinya.”
Meski kau mengatakan itu dengan percaya diri, tetap aku tidak bisa langsung yakin begitu saja, Kacamata. Tapi, melihat fakta bahwa Shiki tidak melakukan apapun yang bisa mencelakakan diri lagi, mungkin aku akan membiarkannya. Si gadis berkacamata dengan setiap ujaran anehnya.
Bicara soal aneh, mataku sekarang terpaku pada sesuatu yang berasa jarang. Di ujung lorong ini, ada semacam ruang dengan bentuk sirkular yang diapit dua tangga. Ruang tanpa pintu itu tampak menyimpan sesuatu yang unik. Sebuah piano, serta benda berwarna-warni di tengahnya. Selepas mata terpicing kumengamati lagi, itu adalah akuarium tabung berisi ... ubur-ubur? Serius?
Tanpa aba-aba, Kacamata menghentikan langkahnya. Gelagapan, aku pun ikut berhenti. Pelan-pelan dia berbalik, menyelaraskan garis mata denganku. Tak tahu kenapa atau ada apa, alhasil hanya diam yang tercipta.
“Ngomong-ngomong, apa yang harus kutanyakan pada Shiki nanti?” tanyaku segera, memecah keheningan canggung barusan.
“Jujur, itu bebas saja. Apa yang ingin kuketahui hanya sebatas apakah Shiki benar-benar jadi bisu atau tidak,” sahutnya tanpa jeda.
“Oi,” tegurku, “apa-apaan maksudmu?” Boleh dikatakan kalau Shiki mungkin sedang dalam masa diam. Tapi bukan berarti dia bisa dipanggil bisu karena itu.
“Maaf, tapi tak ada niat konotasi pada ucapanku tadi.”
“Kau ini, ya ....” Sebab senyum itu terus terpasang di wajahnya, kukira dia berkelakar saja tiap berbicara. Namun kemudian, tatapan matanya terkesan berubah. Dari kesantaian dan keleluasaan tadi, menjadi, seperti diberi seberkas warna keseriusan.
“Tetapi, andai kata dia membalas panggilanmu, barangkali kau bisa menanyakan ini ...”
“Hm?”
“... ‘apa yang hendak kau lakukan ke depannya?’, begitu.”
Ke depannya, ya. Kupikir, apa yang ada di kepala Shiki tidak akan berubah secara drastis hanya dalam dua hari. Tapi, aku juga tidak mau dia memegang keinginan untuk mati dalam dasar benaknya itu.
Penolakannya untuk berbicara. Apakah cuma disebabkan dia tidak ingin membagikan isi nalarnya saja? Atau, kemungkinan lain, dia hanya tidak memiliki apa-apa untuk dibicarakan. Suara yang hilang, boleh jadi itu. Mau yang mana pun, aku tidak akan tahu sampai benar-benar naik dan mencoba membuka pintu di atas sana.
Kacamata kembali menuntun jalan. Mendaki tangga berlapis karpet biru, yang puncaknya melebar mengikuti dinding yang melingkar. Lorong yang menanti terbagi menjadi dua, ke kanan dan kiri. Hal lain yang segera kusadari adalah, ada pintu di sisi dinding yang melingkar.
“Sekadar memberi tahu, ini kamarku,” cetus Kacamata sambil menunjuk pintu yang kumaksud barusan.
Sesudahnya, panduan tuan rumah cukup sampai di sini. Dia menunjukkan kamar di mana Shiki mengurung diri. Dan aku langsung paham dengan mudahnya sebab hanya di muka kamar itu terdapat sebuah meja kecil, dengan nampan berisi gelas dan piring di atasnya.
“Ada baiknya aku tidak menampakkan diri di hadapannya, Kreator,” kata si Kacamata, selagi satu tangannya menggapai gagang pintu.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Firasat wanita.”
Aku tidak berkata apa-apa lagi setelah itu. Muka kuhadapkan ke kamar Shiki, kemudian melangkah dengan tenang di atas lantai berkarpet. Pesan terakhir Kacamata adalah, bila terjadi sesuatu, dia akan berada antara di kamar atau di ruang berisi piano di lantai bawah sana.
Saat sampai di pintu kamar tujuan, aku berpusing sesaat. Hanya tertangkap bunyi pintu tertutup. Wujud si empunya rumah telah menghilang dari pandang. Dari sini, aku sendiri, kah ....
Satu napas terpaksa dihela. Kucoba menyisihkan pikiran dan perasaan lain yang sempat menghinggapi tadi. Sekali lagi, berniat fokus pada tujuan hari ini, yaitu bicara. Dan sebagai bukti konkret dari niat itu, kuangkat tangan untuk mengetuk pintu.