“Masalah merubah wujudnya lebih cepat dari yang kukira, Kreator,” ujar si Kacamata, dengan campuran setengah nada mencibir.
Aku menunggu Shiki menyelesaikan makannya—meski tidak habis juga seluruhnya. Setelah itu, kuminta dia istirahat kembali, memanfaatkan situasi ‘kepatuhan’-nya saat ini. Kemudian, aku keluar dari kamar, dan mencari si empunya rumah. Aku merasa butuh menemuinya.
Hampir aku mengetuk pintu lain, kalau suara piano itu tidak terdengar. Aku mengikuti panduan itu menuju sumber suara, menuruni tangga, dan masuk ke area melingkar yang memiliki lebih banyak isi dari yang kukira. Selain piano dan akuarium tabung berisi ubur-ubur tadi, ada dua akuarium besar lain berisi ikan koi, dan beberapa lukisan.
Melodi yang dilantunkannya, seperti kemarin, Ode to Joy. Aku bertaruh, dia benar-benar suka dan menguasainya. Sosok yang kulihat barusan tadi begitu menikmati, mendalami. Kedua mata itu menutup, tenggelam dalam rasa. Jemari itu menari dengan sendirinya, melompat-lompat menurut aliran nada.
“Aku jadi tidak sempat bertanya pasal tujuannya setelah ini,” keluhku mengikuti. Kuangkat gelas berisi teh dari meja kecil dan menyesapnya sekubit.
Tapi sekarang, pertunjukkan solonya rampung. Kami duduk masing-masing di bangku, saling berhadapan. Menikmati jamuan yang disiapkan si Kacamata sebagai pendamping permainannya. Menaruh kembali gelas porselen di meja, kemudian beralih ke namagashi1 berbentuk bebungaan.
“Setidaknya aku jadi tahu kalau Shiki membuka dirinya kepadamu, Kreator.” Kacamata membelah kue kecil itu jadi dua dengan tusukan bambu, lalu memasukkan setengah potong ke mulut tepat setelah ucapannya usai.
Aku mengikuti langkah tersebut. Membiarkan pasta kacang merah dan adonan kue lumat, lantas menelannya. Baru kemudian memberi balasan kata. “Hhh, kenapa juga jadi begini ....”
Kupaparkan situasi yang kuhadapi mengenai Shiki tadi. Soal dirinya yang entah kenapa mengikuti begitu saja apa yang kukatakan. Macam dia tidak memiliki keinginan sendiri, dan bergerak atas dasar perintah orang lain.
“Itu bukanlah perihal yang diluar dugaan juga, Kreator,” balas si Kacamata. “Kupikir, wajar saja bila Shiki menjadi seperti itu.”
“Kenapa?” Aku menyahut heran.
“Sebelumnya, tolong garis bawahi kalau ini hanyalah spekulasi pribadiku.” Kacamata mulai menjelaskan, sambil memainkan stik bambu di udara. “Kalau dilihat, Shiki memiliki keterikatan yang kuat dengan ibunya. Entah ini bisa dijadikan patokan atau tidak, tapi kupikir Shiki sangat menghormati dan mematuhi ibunya itu. Hal itu juga yang membuatnya begitu hancur ketika sadar bahwa dirinya telah mengkhianati harapan sang ibu, meski itu disebabkan keterpaksaan situasi.”
“Hmm ....”
“Bila kita balik, mungkin, bisa juga dikatakan bahwa Shiki sangat membutuhkan panduan dari sang ibu. Untuk melakukan sesuatu, untuk menentukan sesuatu. Bagi Shiki, sang ibu adalah arahan hidup. Di saat sang ibu telah pergi, pilihan apa yang ia punya?”
Hmm. Walau pun itu hanya spekulasi, cukup terdengar meyakinkan. Tapi ...
“Kalau begitu, kenapa sebelumnya dia langsung terpikir untuk melakukan bunuh diri?”
“Kalau itu, kemungkinan terbesar, karena dia telah dikhianati ayahnya sendiri. Sang ayah, yang awalnya tampak memberikan jalan kesembuhan bagi sang ibu, malah mengkhianati harapan si jiwa muda ini. Ditambah, akhir dari kejadian ini adalah hilangnya satu nyawa. Karenanya, Shiki kehilangan kepercayaannya pada dunia, serta orang-orang di dalamnya.”
Hening sejenak. Kami sama-sama memasukkan potongan lain dari namagashi tadi ke dalam mulut. Bergantian, membilas lidah yang manis dengan teh kemudiannya.
Aku melanjutkan cecaran, “Baiklah. Sekarang, kenapa dia malah mendengarkanku? Kenapa bukan kau saja, yang jelas-jelas sudah memberikan tempat tinggal sementara?”
“Jangan lupakan fakta bahwa dirimu lah yang menghancurkan niatan bunuh dirinya. Kupikir itu cukup jadi alasan,” jawab Kacamata ringan. Sekali lagi, dia menyesap teh.