“Ada apa, Saku?”
Pertanyaan lembut bernada penasaran itu mengejutkanku. Sontak, dengan gerakan seperti kucing yang lincah, aku menyembunyikan ponsel ke dekapan, menggores sisi tanganku pada tatami1 dalam prosesnya.
Badanku yang tadinya menghadap kanan kutelentangkan, diikuti gerakan menoleh ke sisi kiri. Di situ kudapati ia, si penanya yang melirik penuh permainan. Ibuku.
“Kenapa kau terus memelototi pesan dari dia tadi?”
Ya, itulah alasan awalku langsung menyembunyikan ponsel. Sayang disayang, tampaknya ibuku sudah melihat semua yang bisa dilihat. Dan aku hanya bisa memalingkan wajah malu, disembunyikan oleh dehaman singkat.
Aku dan ibuku tengah bersebelahan di ruang keluarga sekarang. Membenamkan separuh badan dalam kotatsu2 yang hangat, dan menikmati apapun yang dihadirkan oleh televisi di hadapan—kendati aku tidak terlalu memperhatikan. Apa yang kupikirkan saat ini adalah, bagaimana situasi malam ini akan berlanjut nanti.
Kemarin, aku mendapatkan undangan untuk hadir dalam sebuah pesta. Si pengundang bilang akan menjemputku sebelum makan malam. Tetapi, secara tiba-tiba, dia mengirimkan pesan singkat bahwa dirinya akan terlambat. Dan, ya, benar-benar terlambat. Waktu makan malam sudah terlewat, dan dia tidak memberikan kabar sampai sekarang.
“Jadi, ada apa?” Ibu bertanya kembali.
“Aku ... tidak tahu,” jawabku mengasal. Tapi pada dasarnya, aku memang tidak tahu harus bagaimana. Apakah aku harus memastikan saja apakah undangannya masih berlaku? Atau diam saja sambil menunggu—sebab kalau dibilang si dia ini mempermainkanku, kemungkinan itu sangat besar. Intinya, aku ragu sekarang.
“Kalau tidak tahu, tanyakan saja. Jangan pernah mengira kau bisa memahami orang—apalagi wanita sepenuhnya, ya. Tanyakan saja yang kau tidak tahu. Tapi, jangan tanya terus-terusan juga, apalagi soal hal yang sama. Tanyalah, supaya sendiri tahu harus apa.”
Aku tidak percaya, juga malu sebetulnya, mendapatkan pengajaran pendekatan ke wanita oleh ibuku sendiri. Tapi, aku tidak bisa untuk tidak menghiraukannya juga.
Lantas, seketika aku terpikirkan sesuatu. “Tapi, bagaimana kalau yang ditanya tidak kooperatif?”
“Kalau itu ... mari berharap orang yang kau tanyai itu kooperatif. Soalnya, seharusnya seperti itulah dunia bekerja. Saling membantu sesama.” Ya, aku bisa melihat Ibu sedikit gelagapan tadi, tapi ya sudahlah.
Baiklah. Tinggal tanya saja, ya. Aku jadi terpikirkan lagi. Daripada ragu, mungkin lebih tepat kalau dibilang aku masih takut. Pada si dia itu, yang mana masih belum kupahami tentang apa-apanya. Tapi seperti yang Ibu bilang, mungkin aku memang tidak akan pernah memahami dia.
Aku berguling lagi ke samping. Membuka ponsel tepat di depan wajah, memastikan Ibu tidak melihat isinya kali ini, dan hendak mengetik beberapa huruf untuk bertanya, “apakah kita jadi pergi?”.
*NINGNONG!
Hingga kemudian, niatanku itu dipupuskan begitu saja oleh bel pintu yang berbunyi. Refleks, aku dan Ibu menoleh ke sumber suara. Kami diam sejenak mengira-ngira siapa yang datang. Hanya saja, aku sudah punya dugaan.
“Mau Ibu yang bukakan?” Tidak! Aku dengan tegas menolak kebaikan itu demi mencegah situasi canggung yang sulit kuatasi nantinya. Lagipula, aku sudah menduga juga siapa yang menekan bel itu.