Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #16

Kristalisasi Permen - bagian 2

Pada dasarnya, pesta natal malam ini memang sudah mau berakhir. Makanan di atas meja sudah bisa dibilang tinggal sisa. Tanda kalau makan malam sudah berakhir, dan penghuni fasilitas ini melanjutkan acara dengan permainan bebas di dekat pohon natal di sana. Tentu, Kacamata pun terseret ke dalamnya dengan segera.

Meski begitu, di sinilah gadis ini sekarang. Duduk di ujung meja paling jauh, dan berusaha menghabiskan potongan cake di depannya. Kalau kulihat lagi, sepertinya dia terlalu memaksakan diri untuk menyantap roti dan krim itu keseluruhan.

“Kau tidak bergabung dengan yang lainnya?” tanyaku, tepat setelah duduk di seberang Shiki.

Dia tidak segera menjawab. Kelihatan gestur menelan yang berat, lantas baru dia mengangkat muka, menyelaraskan mata denganku. “Aku belum selesai,” ujarnya singkat.

“Tapi kelihatannya kau terlalu memaksa untuk memakan semua itu. Apa kau masih belum kenyang?” lanjutku heran.

“Masih ... belum. Cuma, aku masih butuh waktu.”

Ah, masih dalam situasi yang sama, ya. Aku tidak tahu sebab pastinya, tapi sepertinya Shiki butuh waktu yang lama untuk makan. Kalau dipaksa buru-buru, bisa saja dia memuntahkan semua kunyahannya, seperti yang pernah terjadi dulu.

“Tapi, ... kalau kau menyuruhku berhenti, aku akan berhenti.”

Dan ... yah, aku tidak menyangka sikap itu masih ada.

“Bukan berarti aku menyuruhmu berhenti, sih. Aku hanya berpikir, kalau kau sudah kenyang, sebaiknya kau hentikan makanmu itu. Maaf.”

“Masih ... belum.”

Setelah diselamatkan, entah kenapa Shiki hanya terlihat aktif berbicara kepadaku. Sekarang dia memang sudah mulai bicara pada orang lain, tapi awalnya, dia hanya menanggapiku. Tapi yang menjadi poin perhatian utamaku adalah, kepatuhan yang ditunjukkannya itu.

Perkataanku kerap kali diartikan sebagai sebuah perintah olehnya. Aku tidak tahu apa dia juga melakukan hal yang sama pada orang lain selama tinggal di sini, tapi tetap, menurutku itu tidak bagus.

Aku sudah berbincang dengan Kacamata soal ini. Teori yang paling memungkinkan adalah, sikap ini disebabkan hilangnya sosok sang ibu, yang mana selama ini merupakan sosok panutan bagi Shiki.

Analogi mudahnya adalah, pelayan dan majikan. Shiki sekarang bagai seorang pelayan yang diam bila tidak ada perintah dari majikan. Dan bagian paling menyedihkan adalah, kemungkinan besar, dia melihatku sebagai majikan barunya. Meski aku tidak punya kompetensi, aku tetap bisa bilang begini: ini wujud ketergantungan yang tidak sehat.

Gerombolan di dekat pohon natal sana tiba-tiba bersorak. Mengejutkan, hingga membuatku menoleh ke arah mereka beberapa waktu. Pas di saat itu, Kacamata menoleh padaku dan memperlihatkan senyum senangnya.

Kehadiran si bintang utama di sana sepertinya semakin memperkuat dan menerangi suasana. Aku dan Shiki yang ada di pojokan ini jadi tidak terlihat—dan memang tidak perlu untuk terlihat. Walau ramai, kami bisa bicara dengan tenang berdua.

“Hei, Shiki.” Aku mulai bicara lagi. “Mungkin ini terkesan buru-buru, tapi, bagaimana dengan sekolahmu? Sudah berpikir untuk masuk lagi dalam waktu dekat?”

Seperti tadi, responsnya lambat. Dia perlu menjilat garpu di tangannya untuk membersihkan sisa krim, baru kemudian menaruhnya di atas piring.

“Apa sebaiknya aku segera kembali sekolah?” tanyanya balik dengan nada dan tatapan datar.

“Yaa ... Bila kau masih butuh merenung dan berkabung untuk kedua orang tuamu, kau bisa lanjut libur—.”

“Orang tuaku tidak ada hubungannya, kan?!” Membentak. Tidak keras, sih, tapi itu mengejutkanku setelah beberapa waktu dari pertama kami berjumpa. “Lagipula, mereka sudah tidak ada di dunia ini juga ....”

“B-Baiklah, maaf.”

Jadi, Shiki tadi marah karena memang dia tidak mau membicarakan orang tuanya? Atau karena aku memakai pilihan kata yang keliru? Aku tidak tahu. Tapi ada baiknya aku tidak mengungkit soal kedua orang tuanya.

Tapi kalau dipikir lagi, kenapa pula aku harus mengatakan hal itu tadi? Kalau boleh dibilang, sebab utama Shiki jadi seperti ini adalah orang tuanya sendiri. Mungkin saja, dia sudah sadar akan hal itu dan memang tidak mau bicara soal itu lagi. Lebih lagi, dia tampak membenci ayahnya sendiri.

“Jadi, berikutnya aku harus masuk sekolah?” tanya Shiki lagi, mencoba mengonfirmasi.

“Ya, kalau dipikir, iya. Kita masih sama-sama kelas satu, ‘kan? Menurutku, ini bukan saat yang tepat untuk berhenti menimba ilmu,” paparku bernada ragu. Aku waswas kalau terpilih kata yang kurang tepat lagi.

“Baiklah.”

“Hei, tunggu! Kau mau betulan atau tidak?”

Lihat selengkapnya