“Happy Valentine, Kreator~” ujar gadis itu lembut, seraya mengangkat cangkir ke depan wajahnya. Seperti yang kulakukan ketika memasukkan butiran kecil cokelat ke cangkir, atau mengaduknya searah jarum jam tadi, aku mengikuti langkahnya. Secara bersamaan, kami menyesap kopi di sore yang dingin ini.
Aku jarang minum kopi. Kalau minum pun itu kopi instan sasetan. Makanya, aku tidak bisa menilai apakah kopi di sini enak atau bagaimana. Yang pasti, variasi serbuk cokelat yang ditambahkan tadi memang memberikan rasa yang unik dan berbeda. Kalau ditanya macam bagaimana, aku akan memilih jawaban suka.
Cairan hangat mengaliri tenggorokan, meluncur lancar ke lambung dan menghangatkan badan. Sekali lagi, bersamaan, kami menurunkan cangkir kami. Menaruhnya balik ke lepeknya. Sebelum perhatian tertuju sepenuhnya pada pelbagai kudapan di atas meja, aku segera mengajukan tanya.
“Jadi, Kacamata, kenapa kau malah mengajakku ke kedai kopi?”
Ya. Mungkin itu pertanyaan tidak berbobot, tapi aku tetap perlu penjelasan. Apalagi, bila mengingat bahwa hari peringatan global di tiap 14 Februari ini selalu diidentikkan dengan cokelat—yang mana merupakan makanan favoritku. Bukan kopi, tapi cokelat.
“Karena ... kopi di sini enak?” jawabnya, sembari memiringkan kepala. Tetapi, kenapa kau seperti menaruh question mark di akhir kalimatmu itu? Mau mempermainkanku? Ah, ya, kemungkinan besar begitu.
“Apakah kopi di sini tak cukup memuaskan selera? Pikirku edisi spesial cokelat Valentine hari ini sudah patut-patut saja.”
Yah, kuakui, gabungan kopi dan cokelat tidak buruk juga. Tapi kalau disuruh memilih antara kopi dan cokelat, jelas aku akan memilih yang kedua.
“Ah, mungkinkah dirimu menantikan cokelat yang sebenarnya dariku? Baiklah, mohon tunggu sebentar, ya ...”
Setelahnya, gadis itu menyerongkan badan ke sisi kiri single sofa yang didudukinya. Meraih tas tangan yang ditaruhnya di sana, kemudian mengeluarkan sesuatu. Itu adalah, sebuah kotak kecil. Berwarna dasar putih, dengan hiasan pita emas, memotong tiap-tiap sisi bidangnya, lantas membentuk simpul indah tepat di atas tengah.
Dia menyerahkan kotak itu, dan aku menerimanya begitu saja. Kupandangi sejenak kotak itu di tangan, hingga akhirnya aku sadar, kejadian yang bak serangan kejutan ini, kotak ber-tone elegan ini, punya potensi bahaya.
Baiklah, begini rincian dugaanku. Gadis yang tengah menyilangkan kaki di hadapanku ini dikenal sebagai sosok populer di sekolah. Tidak ada yang tidak tahu dia. Pada satu titik, orang-orang—terutama yang pria—menyukainya. Sementara diriku, boleh saja dikatakan sebagai kebalikan dari definisi pribadinya tadi.
Jadi, gadis seperti itu, memberikan sebuah cokelat Valentine padaku, bukanlah hal yang bisa dibilang wajar. Rasanya seperti, akan ada yang menyerangku minggu depan karena kecemburuan. Apalagi, aku tahu kalau gadis ini kaya. Aku waswas membayangkan kalau dia meminta sanbai-gaeshi1 di White Day2 nanti. Sayang disayang, kecemasanku bertambah begitu saja setelah mendengar ucapan lanjutannya ....
“Itu adalah cokelat buatan tangan pertamaku, Kreator. Dan dirimu adalah orang pertama yang menerimanya sebagai rekan seangkatan di sekolah.” Hm, rasanya macam pancang semakin berat saja, ya ....
Gadis ini kupanggil si Kacamata. Kenapa begitu? Simpelnya, karena dia pakai kacamata. Di balik setiap senyumannya yang seperti lukisan anti luntur itu, entah kenapa aku selalu merasakan sesuatu yang mirip-mirip marabahaya.
Seperti saat ini juga, ketika dia memberikan cokelat Valentine padaku. Antara dia tidak menyadari resiko yang bisa menimpaku, atau memang dia sudah tahu dan tetap sengaja memberikannya. Kalau mempertimbangkan kepribadiannya yang sudah kuketahui sampai saat ini, mungkin yang benar adalah kemungkinan kedua.
“A-Ah, begitu. Apa kau tidak punya teman lain untuk diberikan cokelat? Sahabat dari SMP, misal ...” sahutku menanggapi, sambil memasukkan kotak cokelat ke tas di samping badan.
“Sungguh disayang, aku tidak memilikinya. Lagipula, bagaimana pula diriku dapat memiliki sahabat kalau belajar saja selalu di rumah dari kecil ....” Dari kalimat yang diakhiri dengan tawa kecil itu, aku menyadari sesuatu yang baru.
“Jadi, kau dulunya home schooling?” tanyaku hendak mengonfirmasi.
“Benar. Dari dasar hingga menengah pertama. Sebetulnya, bukan berarti aku tidak keluar dari rumah sama sekali. Hanya saja, cukup sulit membuat hubungan lebih intim ketika kau memiliki kesibukan lainnya juga.”
“Ah, benar juga, ya. Kemarin dan tadi pagi saja kau tidak masuk sekolah, ya ....”
Ya, itulah alasan mengapa dia tidak memakai seragam seperti diriku saat ini. Sebagai pengganti, dia mengenakan turtleneck putih, rok flare merah, dan legging hitam. Oh, tak lupa mantel yang sekarang dia gantung di sandaran kursi. Dengan outfit itu, dia muncul di dekat sekolah, menyergapku, lalu menyeretku ke kedai kopi ini tanpa peduli kalau aku benci udara di musim dingin.