Aku tahu ada yang bergetar di meja. Itu adalah ponselku. Tanganku bergerak secara otomat dan mematikan sumber gangguan tersebut dengan satu sentuhan. Setelahnya, tungkai masuk lagi ke peraduan. Jujur, peraduanku kali ini terasa sangat nyaman. Serasa aku tenggelam dalam lautan kapas yang empuk. Di bawah selimut tebal yang menghangatkan, dan bantal harum yang—
—Oh, ya, ini bukan tempat tidurku yang biasanya.
“Kreator.” Baru saja aku berpikir demikian, suara lembut itu menyebut namaku. Begitu halus, seperti sprei tempatku tidur saat ini. “Bangunlah, Kreator. Ini sudah pagi.”
Ya. Aku harus bangun. Aku tahu aku harus bangun. Hanya saja, kesukaanku terhadap tempat tidur yang nyaman ini merubah gravitasi menjadi seperti planet Jupiter, dan aku tak mau bergerak karenanya.
“Dengan ciuman ini, aku akan membangunkan pangeran yang tertidur.”
Nope! Aku tidak sedang berada di dalam dongeng! Dalam keterkejutan yang sangat, kuberguling ke samping dan dengan sengaja menjatuhkan diri ke lantai. Semoga bunyi benturannya tak mengganggu penghuni kamar di bawah, tapi gerakan menghindar tersebut harus kulakukan.
Kala posisiku sudah siap dan tegap bangkit dari dunia khayal, tampak dirinya yang memasuki area kasurku. Dengan pose tubuh terduduk menekuk lutut dan tatapan seakan dirinya adalah makhluk paling imut di alam semesta yang akan dituruti setiap perkataannya, dia melihatku.
“Kacamata, kita sudah membagi wilayah. Kau kasur yang kanan dan aku yang kiri. Jangan seenaknya masuk ke wilayahku,” keluhku, dengan suara serak dan mata yang tersipit tak mau dibuka paksa.
“Habis, mau bagaimana lagi? Untuk memberikan ciuman selamat pagi, aku harus mendekat, Kreator.”
“Jangan bangunkan aku dengan ciuman!”
“Kreator, sadarkah engkau, bahwa rupamu kala terlelap begitu manis? Tak kuasa diriku menolak angan kisah putri dan pangeran itu ...”
“Jangan balik posisi pangeran dan putrinya.”
“Kalau tetap menurut cerita, apakah engkau akan membangunkanku dari tidur dengan kecupanmu?”
Sialan, pagi-pagi sudah menggoda orang. Tapi yah, mau bagaimana lagi. Kupikir, mempermainkan orang adalah salah satu hobi dan kebolehan gadis ini. Si Kacamata—ya, walau sekarang kacamatanya tidak dipakai, sih—adalah orang yang suka bersenang-senang. Hanya saja terkadang, kesenangannya itu melebihi batas yang diwajarkan. Contohnya, sekarang ini, situasi ini ....
“Aku cuci muka dulu.”
Berlaku juga sebagai alasan, aku berjalan ke kamar mandi sambil mengingat-ingat lagi apa yang telah kulalui sampai ke fase ini. Bangun dari mimpi, dan langsung melakukan aksi akrobat, bukan ide yang bagus. Otakku serasa diputar dalam mesin cuci sekarang.
Berhenti di wastafel, membuka keran, lalu membasuh kedua tangan. Dengan tangan yang basah itu kutampung air, dan mencipratkannya ke wajahku. Sekalian, dengan telapak tangannya, bagai menampar muka sendiri. Setelah mengusap-usap beberapa kali, kutatap cermin di hadapan.
Apakah ini bisa dibilang nasib baik? Atau malah nasib buruk?
—Jangan ditanyakan. Kau hanya akan sakit dengan tanyaan itu.
Baiklah. Aku akan mengikuti saranmu kali ini.
Memakai handuk hotel, aku keluar sambil mengeringkan wajah. Langkahku langsung saja terhenti waktu melihat si Kacamata berdiri di sebelah lemari TV, sepertinya sedang mengoperasikan coffee maker.
“Kreator, ingin kopi?” tawarnya sembari tersenyum. Refleks, aku mengalihkan pandang. Bila terlalu lama kulihat dia dalam posisi saat ini, bayanganku terhadapnya mulai berubah. Dan aku masih tak ingin melihat si Kacamata menjadi itu dulu.
“Aku jarang minum kopi, sih, tapi baiklah,” balasku, selagi berjalan melewatinya, masih sambil melirik ke sudut lain.
Mengarah ke beranda, membuka gorden, lalu menggeser pintu kaca. Angin sepoi-sepoi dari laut pun segera mengembus wajah, memberikan sedikit rasa ringan dan tenang. Setelah melakukan sedikit peregangan otot dan masih dengan handuk mengalung di leher, kududuk di kursi, menghadap pemandangan beraroma mewah dan mahal—cuma gegara posisiku menatapnya saja.