Layaknya keledai yang bepergian tak lantas pulang balik menjadi kuda, aku tak bisa langsung masuk ke dalam euforia meski diajak ke sebuah tempat yang terlihat menyenangkan. Walau perumpamaan itu muncul di benak, tak ada juga kata yang setuju kujadikan argumen terhadap komplen si Kacamata atas respons datarku.
Di satu sisi, dirinya yang seketika membalik badan kembali, lalu melompat-lompat kecil di setiap anak tangga, mengingatkanku pada satu hal. Jarang-jarang pendapatku dibenakkan olehnya, meski kadang dia sendiri yang meminta. Angan yang ada di kepalanya—atau mungkin kepala semua wanita—tak dapat kupahami sampai titik ini.
Embus angin menerpa, seperti memberi pitawat supaya segera menyusulnya. Selepas meniupkan karbondioksida ke udara, langkah naik pertamaku dimulai sambil menghirup oksigen. Aku pun sadar, gadis itu sudah melambai padaku dari puncak tangga.
Sembari melangkah, jemari tangan kiriku mengawai dinding batu kapur. Mata tak fokus pada puncak sana, melainkan tertarik oleh lautan yang terbentang di sebelah. Menyadarkanku satu hal lain, yaitu kemiskinan hati dan kata-kata untuk sekadar merasa dan mengungkapkan apa yang kulihat saat ini. Tapi ya, memang tak perlu dipaksa. Gadis itu, akan menggantikan peranku sebagai penikmat yang sesungguhnya.
“Kreator, seperti kataku, di sini pemandangannya indah bukan?” Memunculkan senyum berbangga, gadis itu bertanya.
“Kalau kau mau menikmati pemandangan laut, bukannya di hotel sudah cukup?” balasku datar. Walau memang keindahan di sini adalah fakta, tetap saja aku tak menyangka harus menempuh tiga puluh menit perjalanan untuk melihat laut lain.
“Ayolah, Kreator. Kita kemari bukan sekadar untuk lautan yang luas itu. Tetapi, sambil membaca sekilas masa lalu dunia ini. Tentu, kesannya akan berbeda bukan?”
“Ya. Aku tak menyangka kau tertarik dengan reruntuhan seperti ini.”
Kala kakiku sampai di anak tangga terakhir, si Kacamata melompat ke atas tembok batu. Menghadap ke lautan, dia membentangkan kedua tangan. Oleh angin yang datang, pinggiran floppy hat, lengan baju blus dan roknya terkibarkan.
Sesaat tiba-tiba, dia berbalik padaku dan berseru, “Selamat datang di Kastel Katsuren!” dengan bangganya, seakan tempat ini ada dalam kepemilikannya. Mendadak, sesuatu terlintas dalam pikirku. Mungkin saja, bila mempertimbangkan kekayaan yang dimiliki si Kacamata, mungkin saja dia bisa membeli tempat ini.
Sebagai informasi, tempat kami berada saat ini adalah satu dari beberapa situs yang berhubungan dengan Kerajaan Ryukyu di Okinawa yang diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO, Reruntuhan Kastel Katsuren. Kastel ini, bersamaan dengan empat kastel lain, dua tempat suci, satu makam dan satu taman yang tersebar di kepulauan Okinawa terdaftar pada tahun 2000 yang lalu.
Aku sendiri, sebenarnya tak keberatan juga berkunjung ke tempat seperti ini. Lagipula, melihat tempat bersejarah bukan suatu bentuk siksaan. Aku pun paham bila Kacamata tertarik dengan sejarah peradaban, hanya saja ...
“Hei, Kacamata, kenapa kau tidak sekalian pilih Kastel Shuri?”
“Hm, kenapa kau menanyakan itu, Kreator?”
“Ya, karena dari semua situs yang ada, di sana yang paling bagus, ‘kan? Kastelnya sudah direkonstruksi, jadi kau mungkin bisa melihat dengan lebih jelas kondisi di masa lalu.”
“Hmm, alasanku sederhana saja. Pengunjung di sini tidak banyak.”
Hm, masuk akal. Aku juga setuju dengan alasan itu. Tempat wisata yang penuh sesak dengan pengunjung kerap mengacaukan suasana hatiku. Entah seberapa hype euforia yang ditawarkan suatu tempat, kalau tak ada cukup ruang bagiku merenung diam, aku tetap akan menghela napas lesu.
—Yah, bukan berarti Kastel Shuri selalu ramai juga, sih ....
Dengan satu tangan memegangi topi di kepala, Kacamata melompat turun. Jujur, aku agak waswas kala dia berdiri di dinding batu itu. Apabila dia terpeleset, tak tanggung-tanggung, tubuhnya akan langsung menghujam lima meter di bawah. Kecuali dirinya punya kemampuan kucing, rasa sakit yang terbayangkan sudah membuatku merinding.
“Tempat yang juga disebut Gusuku Samudra ini merupakan bukti dari sifat dasar manusia yang selalu berseteru. Perebutan kekuasaan yang berakibat terambilalihnya kastel ini oleh Kerajaan Ryukyu tentu saja tak terjadi tanpa bentrokan di masa lalu. Tapi sekarang, apa yang terdengar hanya gerisik daun beserta angin berderu,” ujar Kacamata, lantas melangkah ke tempat lain.
“Semua hal memiliki masanya, Kacamata. Seperti dinosaurus yang sudah mendapatkan kesempatannya, kita beserta warisan yang ada akan hilang juga. Yah, setidaknya, akan ada sisa di dalam tanah,” balasku, sembari mengikuti jejaknya.
Kastel Katsuren dibangun pada sebuah bukit dengan ketinggian 98 meter di atas permukaan laut. Posisinya tak yang terlalu jauh dari pantai, menjadikannya salah satu spot yang cukup bagus untuk menikmati pemandangan Samudra Pasifik—juga merupakan sebab panggilan Gusuku Samudra-nya—di area Semenanjung Katsuren. Meski begitu, ya, ada banyak sekali laut dan pantai untuk dilihat di Okinawa. Tak perlu secara khusus kemari untuk menikmatinya.
Karena lautnya sudah cukup dilihat, aku mengalihkan fokus pada apapun yang bisa kulihat di reruntuhan ini. Tentu, tak banyak, selain dinding batu, rumput, batu, tanah, batu, dan beberapa pohon di ujung sana. Oh, tak lupa tangga batunya.
Sekali lagi, tangga kayu kami naiki. Kali ini adalah tambahan yang tak terlalu tinggi. Di tingkatan berikutnya, aku melihat lebih banyak batu. Mereka berjejer membentuk persegi panjang di tingkatan ini. Lalu di dalam persegi panjang itu, ada batu-batu lain yang lebih besar tertanam di tanah. Pasak dan bekas dinding, mungkin?
“Kreator, mengapa menurutmu orang zaman dahulu mendirikan kastel seperti ini?”
“Ya karena untuk melindungi diri dari ancaman, ‘kan? Binatang buas, penjahat, semacamnya.”