Masalah timbul sebab kenyataan tak sesuai dengan harapan. Itu benar. Meski diriku juga tak ingin menjadikan ini sebuah masalah, begitulah hatiku merasa saat ini. Kala aku tau ada pilaf di menu, aku tak bisa menahan diri untuk tak memesan sepiring. Satu momen yang sempat membuat Kacamata terkekeh lucu karena tingkah macam bocahku. Tapi ya, apalah daya, kenyataan bahkan tak seindah video di YouTube.
Apa yang kuharapkan dari masakan ini adalah rasa yang kuat dari segala macam rempah khas Timur Tengah yang meresap ke dalam tiap-tiap butir berasnya. Memberikan sebuah ilusi harmoni di lidah dan membuat air liur mengalir semakin deras di setiap mengunyahnya. Apalagi, ketika tahu bahwa resep ini bahkan sudah tercatat dalam Gastrology yang terbit pada 350 sebelum masehi, sudah gatal saja mulutku.
Sayangnya, kesan yang kudapat dari hidangan di tempat ini adalah, ini seperti nasi goreng saja. Bumbu sederhana yang lebih meresap, ya, aku tidak menyangkalnya. Hanya aku akan tetap menyalahkan rearrange yang dilakukan orang Jepang kepada banyak menu luar yang masuk. Tolong, aku tahu kita tidak terlalu banyak menggunakan bumbu, tapi aku ingin merasakan sebuah tantangan bila berkaitan dengan makanan. Cuma makanan.
—Jinta, kau mau mencobanya?
Saat hiu paus itu lewat di sampingku, secara spontan kubertanya dalam hati. Di saat yang sama, sekali lagi kusuapkan sesendok nasi beserta potongan udang. Mengunyahnya, lalu menelan di detik yang sama hewan raksasa itu menghilang dari jangkauan pandang.
“Kreator, kudapati kekecewaan di rautmu. Apa kau baik saja?” tanya Kacamata tetiba. Kualihkan mata dari kaca akuarium ke gadis yang duduk di depanku saat ini. Lantas, aku baru sadar, dia sudah menghabiskan napolitan-nya.
“Ya. Aku baik-baik saja. Hanya merasa dijatuhkan,” jawabku. Setelahnya, dia memberikan senyum keibuan—entah kenapa.
“Yah, aku sudah mengira sebab kau tampak begitu tertarik ketika melihat menu. Tapi, apakah seburuk itu?” tanyanya lagi, yang kemudian dia meraih gelas di sebelah piring kosong untuk minum yang berisi soda hibiskus dingin.
“Kau mau coba?” tawarku spontan.
“Kreator ingin memberikan suapan?”
Sialan, tidak begitu juga! Lagipula garpu juga masih ada di sebelah tanganmu, ‘kan? Kenapa tidak gunakan itu? Begitulah ronta logikaku, walau akhirnya dihancurkan jadi kepingan kali dia membuka bibirnya. Ya sudah, ya sudah, mari kita suapi dia.
Hatiku ada di dilema tak ingin dipermainkan, tapi juga merasa tidak enak karena dia yang membayar ini semua. Karenanya, mau tak mau egoku yang harus mengalah. Setidaknya, aku bisa menganggap gadis ini sebagai anak-anak yang masih belepotan saat makan untuk beberapa waktu. Pemikiran itu, untuk menenangkan diriku.
Kuserok nasi dengan sendok, mengarahkannya pelan-pelan ke mulut menganga gadis itu, dan dia melahapnya dengan raut senang. Si Kacamata mengunyah perlahan, dengan ritme yang teratur, dan mungkin saja sebanyak 32 kali seperti yang kerap dibicarakan orang. Kemudian dia berkomentar, “Ini tidak buruk.”
Ya, aku tahu, ini tidak buruk-buruk juga. Namun, sekali lagi, harapanku tidak terpenuhi. Yah, lagian, memang dunia selalu begini, sih. Kalau ada tempat di mana harapan kita dapat terkabul dengan sempurna, tak lain itu adalah tempat indah bernama surga. Dan untuk ke surga, mati adalah salah satu prosesnya. Aku belum siap, belum mau juga.
Meski begitu, tempat ini juga—yang buatan manusia—tidak kalah indahnya. Perumpamaan seperti mengambil sepetak laut mungkin tak berlebihan. Sebabnya? Karena memang akuarium ini cukup besar hingga dapat memuat beberapa ekor ikan hiu paus dan pari manta, yang jelas ukurannya bukan main.
Kesampingkan suasana yang rada ramai, maka kau akan mendapat sensasi makan santai di dasar samudra. Pada faktanya, pendaran cahaya mentari yang terfilter biru oleh air mewarnai separuh tubuhku dan Kacamata saat ini. Pemandangan yang tidak bisa dilihat tiap hari tentunya.
“Jadi, kenapa kita sampai harus ke akuarium ini hanya untuk makan siang?” ucapku membuka pertanyaan.
“Oh, Kreator, tidak banyak tempat di mana kita bisa menikmati santap bersama ikan-ikan raksasa yang menawan.” balas Kacamata, diikuti senyum menawannya seperti biasa.
“Hm, ya, karena mungkin beberapa orang merasa tidak nyaman dengan mereka.”
“Kupikir semua orang selalu terpukau dengan hal yang besar, agung, namun lembut seperti hewan-hewan ini. Mau bagaimana pun, hati kita berdecak kagum, bersamaan dengan mata yang membelalak.”
“Kuharap kau tidak memasukkan orang-orang megalofobia dalam daftarmu.”
Pada kalimat terakhirku itu, dia hanya terkekeh sejenak. Sekali lagi, hiu paus lewat dekat jendela. Aku tak yakin itu Jinta atau bukan, tapi dia besar. Yang mana dengan segera mengingatkanku betapa kecilnya diriku—dan manusia secara umum—di dunia ini. Teringatkan begitu, sedikit cemas timbul di hatiku.
“Jadi, intinya, kau cuma mau makan siang sambil melihat ikan?” tanyaku lanjut.
“Kesampingkan makan siangnya, tujuan utamaku adalah ikan-ikan di akuarium ini, Kreator,” jawab Kacamata, sambil menghadapkan muka pada pemandangan di balik kaca.