Capek. Ya. Kesampingkan fakta bahwa hatiku cukup menikmati petualangan hari ini, sebab tubuhku kehilangan tenaga hingga tingkat yang tidak bisa ditolerir. Apalagi bila mengingat diriku sekarang berada jauh dari rumah, di sebuah tempat asing, bersama gadis muda yang sebetulnya tak ada hubungan apa-apa.
Setidaknya, kasur empuk ini sedikit memberikan pereda. Sangat empuk, hingga serasa masalahku meleleh ke dalamnya, menyisakan raga yang berasa di atas awan sana. Bantalnya pun sama, tak mengganggu juga untuk bernapas walau kubenamkan wajah padanya. Hah, andai aku punya tempat tidur seperti ini di kamarku.
Masih sambil tertelungkup, kutolehkan kepala ke sisi kiri badan. Menghirup udara malam dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Sudah jelas aku merasa lelah, tetapi otak tak kunjung masuk fase REM juga. Walau tungkai-tungkai sudah mulai berdenyut sebab digerakkan sepanjang siang, kelopak mata ini masih terbuka seakan mengucap ‘aku baik-baik saja’.
Aneh. Ya, aneh. Kalau diingat lagi keberadaanku di sini dengan anak gadis di kasur sebelah sudah aneh juga dari awal. Apakah aku gugup? Hanya karena tidur bersebelahan dengan seorang gadis? Yah, aku memang belum pernah tidur berdampingan dengan wanita selain ibuku waktu kecil dulu. Jadi ... bagaimana menyebutnya, kurang pengalaman saja?
—Sh*t, itu pilihan kata yang menyesatkan untuk situasi ini!
Ya sudah, ya sudah, ya sudah. Bukan berarti kami seranjang bersama juga. Masih ada ruang di antara kami sebab memang ranjang di kamar hotel ini ada dua. Tak ada yang aneh sampai saat ini, dan semoga jangan sampai ada. Si Kacamata sudah tenang tak bersuara di ranjang sebelah sana.
Dalam kegelapan kamar ini, aku sejenak kehilangan pemahaman waktu. Lantaran penasaran, kujulurkan tangan ke ponsel di meja. Kudekatkan ke wajah, lalu menghidupkannya.
“23:37 ... sebentar lagi tengah malam, ya ....,” gumamku lirih.
Baik, penasaran terjawab. Dengan itu layar ponsel kupadamkan lantas kukembalikan ke meja. Sembari berharap tidak ada masalah entah di dunia fisik atau khayal, kucoba balik pejamkan mata. Sampai ...
“Kreator, kau masih terjaga?”
Tentu saja, siapa lagi yang akan menyahuti gumamanku ....
“Kau juga, Kacamata?” balasku tanya.
Pelan-pelan, kumembalik hadapan wajah ke sisi kanan badan. Mulus saja gerak sebab bantal ini halus sekali rasanya. Hingga tetiba, aku sadar, kenyamanan yang dimunculkan kualitas tempat tidur ini, juga jadi bumerang.
“Hei, kenapa kau tepat ada di sebelahku begini?” tanyaku lagi, menekan dan sedikit mengintimidasi—semoga terdengar seperti itu.
Ranjang ini kalau tak salah adalah pocket coil, jenis yang cukup bagus dalam pembagian beban tekanan. Kalau pun dua orang tidur bersamaan, ketika salah satu bertingkah atau memiliki berat badan yang berbeda, kita tak akan kena efek pemusatan beban areal mereka dan tetap tidur dengan tenang.
Aku suka fitur itu, sampai sadar bahwa itu juga alasan wilayahku dapat disusupi tanpa terdeteksi begini. Saat ini, Kacamata dengan santainya tidur telentang di sampingku. Dalam gelap remang-remang pun, aku bisa melihat jelas kepala di atas bantal—hei, bahkan dia memindahkan bantalnya ke kasurku?!
“Tak apa bukan, Kreator? Ini juga bukan malam pertama kita.” ucapnya, sebagai balasan atas tanya tadi tampaknya, yang mana mengundang raut masamku segera.
Sungguh, kuharap dia lebih memperhatikan pilihan kata, sebab ujaran tadi sulit agaknya untuk dijelaskan bila sampai didengar orang. Oh, iya, gadis ini memang suka main-main. Bagimana kubisa lupa. Untung saja dia bercanda di tempat sepi—bukan berarti aku senang juga, sih.
Masih gelagapan, aku tersadar akan sesuatu dan menanyakannya, “Ngomong-ngomong, kenapa kau masih pakai kacamata?”
Untuk itu, Kacamata menengokkan wajah padaku—yang mana anehnya tak mempengaruhi posisi kacamata di wajahnya. “Teringin tahu?” tanyanya sembari tersenyum. Sebagai jawaban, kuberikan satu anggukan kecil. Tapi, seperti biasa ...
“Engkau akan tahu nanti, Kreator, ...”
Ya, apalah juga aku berharap. Memang aku sedikit penasaran dengan ciri khasnya itu. Apalagi mengingat dia tampak tak terlalu butuh kacamata juga sebetulnya.
“... setelah kau membantuku, tentu saja.”
—Oh, oke.
Hei, tunggu sebentar wahai alam bawah sadar, kenapa kata ‘oke’ langsung keluar begitu saja?! Untuk dia, untuk gadis ini saja, tak boleh asal mengiyakan bila dia berbicara atau meminta sesuatu. Atau, harusnya, pada semua orang juga, sih. Pertama, kita harus tahu tujuan atau alasan mereka dulu.
“Membantu apa?” tanyaku memastikan.
“Engkau bersedia membantu?” tanyanya balik memastikan.
“Tergantung apa yang kauminta. Tentu, jangan yang memakan waktu banyak karena ini sudah malam.”
Sekali lagi, dia tersenyum. Senyuman—yang kelihatannya—tulus dan penuh syukur atas pertolongan yang bahkan belum diterima. Melebih-lebihkan? Mungkin saja. Tapi bila seorang yang good looking yang melakukan hal begitu, kupikir orang-orang tak akan banyak komentar. Aku akan coba menjadi netral.
“Tenang saja, Kreator. Kuyakin semua akan berakhir tepat tengah malam nanti.”
Berakhir tepat tengah malam, ya. Dikata kita ada di dalam cerita Cinderella? Tapi biarlah, malah pas juga. Mungkin dalam waktu yang tersisa, aku bisa mendapatkan kantuk yang kubutuhkan untuk menenggelamkan kelopak mata.
Beberapa saat berlalu. Setelah mendengar penjelasannya, bukan hal muluk-muluk juga yang diminta. Layaknya gadis SMA biasa, hal di masa-masa puber yang pasti dilalui orang-orang, keraguan akan arah hidup. Semacam itulah.