Minggu lalu, salah seorang teman kami, Saki, meninggal dunia. Belum banyak masa berlalu setelah liburan musim panas usai, namun ia sudah pergi di hari Jumat itu. Lantas, aku teringat sesuatu. Beberapa golongan percaya bahwa hari Jumat adalah hari yang istimewa. Juga, orang yang meninggal pada hari Jumat akan mendapatkan semacam keistimewaan ...
Ah, kenapa juga aku teringat hal begitu. Kepercayaan itu mungkin saja tak berlaku di sini. Mungkin, aku hanya ingin membuat kematian Saki memiliki kesan yang sedikit lebih baik. Mungkin saja, aku masih tidak terima dia mati begitu saja.
Suasana kesedihan dari upacara pemakaman hari Sabtu lalu masih dapat kurasakan. Ramai, sungguh ramai kediaman mendiang, disesaki oleh teman dan kerabatnya. Semua menangis tampak tak rela melepas kepergiannya yang terbilang tiba-tiba. Bahkan ada yang meronta-ronta, tak menerima fakta sang sobat karib pergi mendahuluinya.
Akan tetapi, aku dan Kacamata, yang mana berbaris paling depan, di dekat peti mati Saki sendiri, tak mau meneteskan air mata dulu. Selagi Kacamata yang merangkap tanggung jawab perwakilan dari ayahnya mengucap bela sungkawa, aku memikirkan hal lain yang tersisa.
Hal itu, juga karena rasa lelah setelah mendapat interogasi dari polisi sebagai saksi mata utama, air mataku tidak mau keluar di upacara pemakaman. Sama sekali, bahkan ketika aku melihat untuk terakhir kali wajah gadis ramah itu dan menaruh bunga di dalam petinya.
Kombinasi rasa terkejut, sedih, tak rela, hingga marah itu menyebabkan kebingungan di hati dan pikiranku. Hingga beginilah akhirnya, aku berdiam di kelas sore ini, menatap terus vas bunga kecil di atas meja Saki, mengesampingkan fakta bahwa jam pelajaran telah usai sejak lama tadi.
Tak seperti biasa, walau mentari masih menyinari dengan cahaya kuning-emas, kelas sudah kosong. Tampaknya, teman-teman yang lain tak kuat dengan bunga di atas meja yang mengingatkan mereka akan sosok baik itu. Mereka menghindar dulu, sebab tak mau diingatkan bahwa kawannya mati—dan kenyataan bahwa mungkin mereka akan menyusul suatu saat nanti.
Meski begitu, bukan berarti aku sendiri di sini. Kacamata datang pula. Setelah tadi pagi dia mampir dan memberikan karangan kecil mawar sebagai penghormatan, dia datang lagi ke kelas ini. Ingin menjengukku, katanya. Tapi selain itu, memang ada yang harus kami bahas saat ini.
“Kreator,” panggil Kacamata pelan, selagi duduk di kursi sebelah, mengalihkan pusatanku sesaat pada dirinya. “Tampaknya, rumor tak mengenakkan perihal kematian Saki-san mulai bertebaran. Sayup-sayup, aku mendengarnya di kelasku. Ada yang berujar bahwa, Saki-san sebenarnya meninggal sebab bunuh diri ....”
“Hm, kebetulan, di sini juga. Sepertinya, gosip memang sesuatu yang tidak bisa dicegah, ya,” balasku pelan juga, dengan sedikit penekanan di satu kata ‘gosip’ itu.
Ya, gosip seperti itu memang tidak menyenangkan. Apalagi, kalau sekali menyebar, akan sangat sulit untuk menghentikannya. Tapi kenapa gosip kejam semacam itu berdesus pada kasus kematian Saki yang dikenal baik ini? Tentu, bukan tanpa alasan.
Kematian kerap diidentikkan dengan akhir. Penutup dari sebuah kehidupan. Yang mana mungkin saja akan dilanjutkan di kesempatan berikutnya. Akan tetapi, setelah mati pun, Saki masih memberikan sesuatu kepada kami. Akhir dari kisahnya, tidak berada di titik ini.
Atas laporan kami hari itu, tubuh Saki segera dibawa ke rumah sakit. Dan di malam yang sama juga, atas persetujuan keluarga, dilakukan otopsi. Sayangnya, harapan dan usaha untuk mengetahui sebab meninggalnya malah berbuah misteri lain. Tidak ditemukan keanehan seperti penyakit, racun, atau sesuatu semacamnya. Tubuh Saki adalah tubuh yang sehat, dan terkesan seperti cangkang yang seketika ditinggalkan empunya.
Sebetulnya, kasus kematian tanpa sebab ini sudah banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Akan tetapi, mengingat usia Saki yang terbilang muda, dan kecemasan akan munculnya dugaan tak menyenangkan, diputuskan bahwa sebab kematian resmi Saki adalah sudden cardiac arrest atau henti jantung mendadak. Kelihatannya, penyakit ini mudah dipakai sebagai alasan kematian mendadak.
Misteri tak berhenti sampai di situ. Selain sebab kematian yang tak jelas, Saki sempat membuat pesan sebelum kematiannya. Atas fakta mengejutkan ini, aku dan Kacamata harus melewati separuh malam bersama polisi. Selama sesi interog—ehem, tanya jawab, Kacamata menuturkan bahwa dia mendapat pesan aneh dari Saki, dua hari sebelum kematiannya. Lantas, sebuah surat dengan isi yang sama seperti pesan yang diterima Kacamata, juga ditemukan di laci meja Saki. Surat itu, ditujukan padaku.
Untuk sementara, kedua fakta membingungkan itu disimpan rapat-rapat. Cuma diketahui oleh pihak berwenang, keluarga, dan sebagai tambahan, Kacamata serta diriku. Hanya saja, sayangnya ...
“Mungkin, entah bagaimana, ada orang yang tahu soal surat Saki-san, sehingga menyimpulkan seenaknya bahwa dia melakukan bunuh diri,” tutur Kacamata, mengeluarkan perkiraannya.
“Yah, seorang gadis mati tanpa kejelasan di ruang kelas sepulang sekolah, ditambah dia meninggalkan sebuah surat yang mau dilihat bagaimana pun seperti wasiat. Tak heran aku kalau ada yang berpikiran itu adalah aksi bunuh diri,” imbuhku.
“Setelah penyelidikan lebih lanjut, tampaknya tidak hanya kita yang menerima pesan aneh dari Saki-san, Kreator. Ada dua orang lagi, yang sama-sama menerima pesan itu dua hari sebelum kematiannya.”