Hari Jumat minggu lalu, salah satu teman sekelasku, Saki, meninggal dunia. Sungguh mengejutkan, bagi siapapun yang mengenalnya. Apalagi, kalau kau baru saja membicarakan tentang sebuah film dengannya di hari yang sama di mana dia meninggal.
Aku masih mengingatnya. Kesenangan dan terima kasih yang ia tunjukkan. Di bawah cahaya sore yang lembut itu, kami bertukar kata. Lantas, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu bersama Kacamata. Tapi, aku teringat ada barangku yang tertinggal, jadi aku kembali ke kelas. Sayang, yang kutemukan malah tubuh gadis itu yang sudah tidak bernyawa.
Tak kusangka, aku bisa benar-benar mengucapkan salam perpisahan tepat sebelum kematiannya. Meski awalnya bukan dimaksudkan untuk perpisahan selamanya, tapi, tetap saja. Ketika aku mengingat hal itu, rasanya, timing yang diberikan Saki benar-benar pas. Yang pasti ...
... wajah pucatnya sore itu, sangat tenang. Seperti orang yang tertidur pulas saja.
Sayang, tak semua orang bisa melihat wajah damai darinya. Maka dari itu, setelah ia benar-benar pergi, orang-orang terusik hati pikirannya. Mereka menangis, dan menyumbang suasana berat ke sekitar yang hampir saja menerkamku habis.
Dan inilah mereka, sepasang yang tak berkesempatan memberi wejangan perjalanan kepada mendiang. Tenggelam dalam perasaan hancur dan tertekan, yang saking kuatnya tampak semua di wajah mereka. Si Pacar, dan si Sahabat. Dua sosok, yang harusnya lebih dekat dengan Saki sendiri. Bukannya diriku, maupun Kacamata juga.
Seperti ingin memberi keluhan pada Saki atas ketidakadilan kesempatan yang ia berikan, kami duduk mengitari meja yang pernah ditempatinya. Apalah daya, hanya bunga putih itu yang dapat kami gunakan sebagai pengganti sosok baik dan ramahnya.
Selepas menghalau siswa lain yang mendengar keributan, Kacamata memberikan rangkulan pada si Sahabat yang masih tersedu-sedu. Sejak beberapa saat yang lalu, pipinya dibanjiri air mata. Kedua kali, aku melihat rupanya begitu.
Sementara itu, di sisi lain, si Pacar yang duduk di arah berlawanan hanya terdiam. Seperti diriku, tak terlalu paham cara mengungkapkan rasa dengan ucapan dan tindakan pastinya. Dia hanya diam, menatap ke bawah, bagai wajahnya ditarik oleh sesuatu yang begitu kuat. Ya, emosinya sendiri.
“Diriku hendak menanyakan sejumlah soalan kepada kalian, tetapi ...” ujar Kacamata, terpotong oleh tarikan napasnya sendiri. “Sebelumnya kumohon, jangan ada yang meluapkan emosi secara berlebihan dan membuat kegaduhan kembali. Mohon jangan dilupa, kita masih dalam nuansa berkabung. Tak sepatutnya kita menjadi barbar saat ini.”
Aku diam sambil melihat ke arah Kacamata. Walau tak ada yang merespons, setidaknya si Pacar sudah mengangkat kepala. Sementara si Sahabat masih duduk terisak-isak tidak keruan didekap Kacamata.
“Adakah yang berkenan menjelaskan ujaran tadi, soal ‘siapa membunuh Saki-san’?” celetuk si Kacamata. Meski dia tadi bilang untuk jangan emosi, entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang dalam dan kasar dari pertanyaannya barusan.
Lagi-lagi, tak ada yang mau membuka mulut. Sadar akan situasi yang tidak menyenangkan, Kacamata menaikkan dagu, lalu memandang dari tepi bawah pandangannya. Kemudian, dia menghela napas berat. Ketika kulihat bibirnya akan bergerak lagi, baru ada suara lain yang menyela.
“Dia ... perempuan—temannya si Saki itu, menuduhku telah membunuhnya,” cetus si Pacar dengan terbata-bata, yang mana menurutku tak cocok dengan mukanya yang cukup garang. Setidaknya, rundingan bisa dimulai sekarang.
“Memang ...” sayup terdengar, si Sahabat menyela, “... memang begitu kenyataannya bukan? Karena kau Saki mati. Seharusnya dia tidak perlu mati, tidak. Tidak mungkin Saki mati .... Masih banyak janji yang belum kami lakukan. Menirukan gaya dan akting dari film kesukaannya, makan crepe di kafe yang baru buka, dan yang lainnya ....”
Yang segera kusadari dari situasi ini adalah, si Sahabat ini, masih belum menerima kepergian Saki dengan baik. Dia, masih belum mau mengenali takdir yang baru saja datang.
Yah, bukan hal yang aneh juga. Kematian bukanlah sesuatu yang mudah diterima manusia. Seperti rasa tak puas yang muncul ketika game yang begitu menyenangkan tamat, atau tutup server begitu saja. Hal yang mirip dengan itu, namun dengan kadar yang lebih jauh di atasnya.
“Sebelumnya, kenapa kau mengira bahwa Tuan Pacar lah yang menjadi sebab kematian Saki-san?” tanya Kacamata lagi. Dahinya rada mengernyit saat ini, terheran.
Si Sahabat mengangkat wajahnya, namun tetap membiarkan rautnya basah terbanjiri tetesan emosi. Hidungnya masih terganggu sebab berair, dan itu membuatnya butuh lebih banyak waktu sebelum mulai bicara lagi. Namun, dengan pasti, selama beberapa saat dia menatap ke siswa berwajah garang dengan tatapan mata kemerahan yang kejam.