Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #31

1.4.2. - bagian 4

Pesan yang dikirimkan Saki, memang cuma terlihat seperti teka-teki atau puisi kalau diterima minggu lalu. Cuma sebuah pesan iseng dari teman yang suka bersenang-senang. Namun, setelah dia mati, seketika aku memahami maksud pesan itu. Sungguh menyedihkan, Saki seperti benar-benar memberikan jawaban pada akhir pekan—melalui kematiannya sendiri.

Aku menyadari bahwa pesan yang dibuat Saki mengandung susunan yang unik. Dan kebetulan, aku mengetahuinya. Kenapa? Karena kami menonton film yang sama. Dan Saki sendiri, mengutip beberapa kalimat dari film tersebut.

Mengesampingkan pemakaian bahasa lama, aku dapat membacanya. Bait pertamanya yang bunyinya ‘Hidup mati bertandang bertolak sepantun ia boneka di almari. Senyampang seutas kenurnya saja rantas bakal jatuh remuk segala tiada sisa lagi’ seketika menarik perhatianku, sebab itu adalah potongan puisi yang dibuat oleh Zeami1, pelakon drama Noh yang cukup terkenal, kalau tidak salah. Pengartian umum dari puisi itu adalah, ‘sekali kematian datang, semua hal akan kembali ke ketiadaan begitu saja’.

Lalu, bait kedua yang berbunyi ‘Bulan ini hari ini dengan tenang mairat jiwa ini. Berkenanlah Tuan menyebar kabar’. Mau dilihat bagaimana pun, ini tampak seperti pengumuman kematian. Pada faktanya, kata-katanya serupa dengan pengumuman kematian yang dibuat oleh Saitou Ryokuu—sastrawan lawas Jepang yang meramalkan kematiannya sendiri dua hari sebelumnya. Apalagi, dengan tanggal yang jelas tertera. Terlalu bagus untuk dibilang ‘sekadar kebetulan’.

Kemudian, bait ketiga, ‘Keesokannya nanti, hendaklah merapat ke griya kawula. Cukup cerita bakal disuguh guna ihwal-ihwal yang ada’. Untuk yang ini, aku belum pernah dengar. Mungkin Saki membuatnya sendiri. Yang pasti, inti yang kudapat dari bait ini adalah, ‘datanglah ke rumahku, akan kuceritakan sesuatu’. Kemungkinan begitu.

Lalu, bait terakhir, juga merupakan kutipan dari Saitou Ryokuu. Aku tidak tahu bagaimana mengartikannya, tapi sepertinya, Saki juga tidak mengharapkan orang-orang membawakan bunga sebagai penghormatan di upacara pemakamannya. Apakah maksudnya adalah jangan bersedih? Aku tak yakin.

Melihat semua itu, apa yang terpikirkan olehku adalah, Saki sudah mengetahui kematiannya sendiri. Terutama, pasal kapannya. Itu terbukti dari tanggal yang dia berikan di pesannya. 11 September. Entah sejak kapan atau bagaimana, yang pasti dia tahu, dan ... dia menerimanya begitu saja.

Tentu, dengan surat itu saja, bukan berarti kematian Saki yang terbilang misterius dapat terjelaskan. Sekali lagi, ini hanyalah kemungkinan yang melintas di kepalaku. Bukan kemungkinan yang menyenangkan juga, bagiku, maupun bagi kedua orang ini yang bahkan tak diberitahu bagaimana Saki mati kemarin. Dan ya, aku langsung dapat sanggahan keras atas ide barusan.

“Omong kosong!” pekik gadis itu, sembari mencengkeram kuat rok seragamnya. “Apa yang kautahu soal Saki sampai bisa bicara begitu?!”

“Aku ... hampir tidak tahu apa-apa. Yang pasti, kami menonton beberapa film yang sama. Itu saja. Juga kebetulan, kebanyakan bait yang ada di pesan Saki itu, mengambil kutipan dari film yang baru kurekomendasikan belakangan.”

Ya, begitulah kenyataannya. Aku bisa dibilang hampir tidak mengenal Saki. Meski begitu, aku masih berani menyebut diriku temannya. Sebab mungkin, Saki sendiri, tak peduli seberapa banyak aku tahu soal dirinya, juga menerima saja diriku sebagai temannya.

“Jadi, apa yang mau kaukatakan? Apa kau mau bilang kalau Saki mati begitu saja karena dia tahu kapan akan mati?”

Oh, tampaknya si Sahabat mulai menangkap maksudku. Meski tidak diterima sebagai artian yang baik—dan tidak secara lengkap, kupikir, itu lebih mending daripada tidak sama sekali. Sayang, dia jadi menatapku dengan tatapan kejam yang tadinya dia tujukan untuk kakak-kakak di sebelah.

“Tunggu sebentar,” ujar si Pacar menyela. “Sementara, anggap pemikiranmu itu adalah benar. Lalu kenapa Saki tidak pernah menceritakan hal seperti itu kepada orang lain? Bukankah ... ketika kau mengetahui kapan dirimu kau akan mati, kau akan takut?”

Ya. Itu pemikiran dasar yang tidak salah. Kebanyakan manusia memang takut akan kematian. Takut akan derita dan rasa sakitnya mati, takut akan hukuman setelah mati nanti, takut meninggalkan orang yang dicintai. Itu wajar. Karena ketakutan itu, kita cenderung akan lari nantinya. Tapi, beda cerita kalau kita menerima kematian itu.

Lihat selengkapnya