Keesokan harinya ....
Tepat di hari keempat setelah kematian Saki, sepulang sekolah, Kacamata menyeretku untuk membeli crepe di kafe yang baru-baru ini buka. Karena hari ini tak ada jadwal khusus juga, aku pun mengiyakan ajakan—atau paksaannya itu. Tentu saja, kali ini, aku membayar sendiri makananku.
“Pokoknya, yang banyak rasa cokelatnya, lalu es teh lemon,” pesanku.
“Low calorie ice cream fruit mille dan macchiato mungkin cocok untuk sore ini.” Lalu, itulah yang dipesan si Kacamata.
Sembari menunggu pesanan datang, kami berdua duduk saling berhadapan di meja bundar yang dekat dengan jendela. Rasanya, sensasi ini kualami berkali-kali belakangan ini. Senja, jendela, dan si Kacamata. Hanya saja yang berbeda untuk kali ini adalah, awan mendung gelap menggelayuti langit di sana. Badai tampaknya hendak memberikan sapa, ya.
“Kreator.” Baru sebentar kami diam, Kacamata sudah mulai melempar kata lagi. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Bukankah setiap kita bersama, memang selalu untuk membahas sesuatu? Katakan saja.”
Kalau sampai membuat Kacamata menanyakan izin padaku seperti itu, kelihatannya topik yang dia bawa adalah sesuatu yang serius. Mempertimbangkan hal tersebut, yang melintas pertama di kepalaku adalah, mungkin, lanjutan dari debat kusir kemarin.
“Sebelumnya, mohon terimalah pujianku, Kreator. Kau sungguh hebat dan dicintai Fortuna tampaknya.”
Kala gadis itu menatapku dengan ekspresi dan senyum bangga, tak mampu kutahan keheranan dan pertanyaan, “Hah? Kenapa coba?”
Kedua tangannya yang tadi saling menumpuk dan bersinggasana di atas meja dia singkirkan. Beralih mengambil tas yang ditaruh di wadah di bawah kursi, membuang pandang sesaat dariku, masih tanpa menanggalkan garis lengkung di bibirnya.
Sebagai ganti, kutancapkan sebelah siku ke meja kayu, menggunakannya sebagai sanggahan untuk kepala yang terasa panas setelah dibakar matematika baru saja tadi. Dengan mata malas, kulihat si Kacamata memangku tasnya, membukanya, lalu merogoh sesuatu di dalam. Apa yang dia keluarkan setelahnya, dengan segera disodorkan padaku.
“Buku?” celetukku, sambil menerimanya dengan sebelah tangan lain yang bebas.
Yang ada di tanganku sekarang ini, memang tak lain tak bukan adalah sebuah buku. Buku catatan biasa yang rada tipis dan kusut. Tidak ada tulisan maupun keterangan apa-apa di sampulnya yang berwarna merah.
“Kemarin malam, aku menerima panggilan dari orang tua Saki-san. Katanya, mereka menemukan buku ini dibawah lemari di kamarnya. Pagi tadi, mereka menyerahkan ini dan memintaku untuk membacanya,” jelas Kacamata.
Berarti, kemungkinan besar buku ini adalah milik Saki. Apakah ada sesuatu di dalamnya, hingga harus diserahkan ke Kacamata begini? “Jadi, kau ingin aku juga membaca ini?”
“Benar. Sebab apa yang engkau spekulasikan kemarin, adalah benar adanya, Kreator.”
“Maksudmu?”
“Buku itu berisi catatan kehidupan Saki-san. Meski tidak banyak, isinya cukup penting. Itu adalah jawaban dari misteri kematiannya. Apa yang kauutarakan sehari lalu, benar-benar tertulis di dalamnya.”
“Hah?”
Mendengar hal itu, aku bergegas membuka buku di tangan. Halaman-halaman yang kusut tapi masih kosong kubalik cepat-cepat. Sensasi kertas yang kaku cukup mengganggu, tetapi, aku tetap saja memburu. Ketika kutemukan halaman yang sudah digores dengan pensil, aku mulai membaca.
...
Aku akan mati.
Yah, semua orang juga bakal mati sih nanti. Cuma bedanya, mereka tidak tahu kapan dan bagaimana. Sementara, aku tahu hal itu. Kenapa aku bisa tahu? Entahlah, aku tak tahu ...
....
... aku mulai yakin soal kapan aku mati saat kelas 3 SD. Terlalu muda untuk bicara soal kematian? Tidak juga. Saat aku mengatakan ini ke Nenek, dia berkata, kematian bukan sesuatu yang menakutkan. Kalau dipikir lagi, dia adalah teman karena selalu ada di sebelah kita. Seperti sutando1 mungkin, ya. Dan di hari terakhir aku bisa bicara dengan Nenek, dia meninggal dunia dengan wajah tersenyum dan sedikit air mata. Memang, seperti menyambut seorang teman lama. Satu hal yang paling membekas di hatiku adalah, Nenek minta diputarkan lagu Suizenji Kiyoko2 yang berjudul Shinjitsu Ichiro no March di hari itu juga ...
....
... oh, iya, kalau kalian membaca ini, besar kemungkinan aku sudah mati, ya. Sebelumnya maaf, karena aku tidak mengatakan apa-apa soal ini. Kenapa aku tak bilang? Satu, karena tidak ada yang tanya. Dua, karena aku tidak mau kalian cemas. Tiga, karena aku tidak mau dipanggil gila (tertawa). Tenang saja, aku tidak takut. Eh, mungkin takut juga sih, sedikit. Apalagi kalau catatan ini tidak ketemu. Pokoknya, maaf, ya. Ayah, Ibu, dan siapa pun yang jadi temanku ...
....
。。。この世は長い坂道だけど、長さじゃないよ人生は。真実一路生きたなら、短くたって構わない、構わない。。。
... Dunia ini memang jalan berbukit yang panjang. Tapi kehidupan, bukan soal seberapa panjangnya. Kalau hidup maju di jalan kebenaran, meski pendek saja maka tak apa, tak apa ...
...
Erm, ya, aku terkejut dengan ini. Sampai level di mana aku bingung harus bereaksi bagaimana. Secara tak sengaja, pemikiranku yang cuma dihubungkan dengan kutipan dan dialog film akan berakhir mendapat sematan quod erad demonstrandum3 begini. Di salah satu sisi, kurasakan mataku berkedut saking bingungnya mau komentar macam apa. Tak kusangka, waktu menjawab dengan begitu cepat.
“Kreator, pesanan sudah datang, lo.”