Perundungan itu tidak baik.
Beberapa orang bisa mengatakannya sebagai sebuah keisengan belaka, karena mengatakan hal buruk atau melayangkan pukulan ke orang lain merupakan salah satu bentuknya. Hanya saja, itu tidak mengubah statusnya sebagai tindakan tidak menyenangkan yang menyakiti, dan seharusnya tidak dilakukan.
Masih banyak contoh kasus perundungan dalam kehidupan, dan terkadang kita tidak menyadarinya. Atau, ketimbang tidak sadar, lebih tepat dikatakan tidak ingin sadar.
Berbicara soal perundungan, tentu kita akan melihat sekolah sebagai TKP yang akrab dengannya. Di sini, sekolah yang merupakan sebuah instansi memiliki harga dan nama untuk dilindungi. Ketimbang mengurus masalah hingga selesai seperti mencabut jamur hingga ke akarnya, sekolah kadang cenderung menutupi hal ini, bahkan tidak mengambil tindakan sama sekali. Ini fakta, dan kalau kalian mencari buktinya, pasti akan segera ketemu.
Masih ada orang dewasa yang mengatakan tindakan perundungan sebagai permainan saja. Tetapi, kalau setiap umpatan, tendangan, pukulan, atau pemalakan itu sudah memakan korban jiwa, kira-kira apa yang orang dewasa itu pikirkan ya? Aku pernah melihatnya di drama, mereka hanya akan meniadakan apa yang ada. Begitulah cara kerjanya.
Data yang menunjukkan bahwa perundungan menjadi salah satu sebab meningkatnya tingkat bunuh diri remaja, tidak akan selalu masuk ke mata semua orang. Juga, meski kita mengutuk tindakan tersebut, tidak berarti kita semua mengambil aksi atasnya.
Kenapa aku tetiba bicara soal isu menahun ini? Apakah aku hendak membuat gerakan menolak perundungan, selagi aku masih punya hak istimewa beridealisme di usia muda? Yah, kalau bisa dan ada temannya, mungkin tak apa, mengesampingkan pribadiku yang rada susah bersosialisasi.
Tidak, tidak. Alasan utamaku tidak semegah dan semulia itu. Kenapa aku kepikiran hal ini sekarang adalah karena, mungkin, aku sedang menjadi target perundungan. Ya, sialnya.
[Daku tunggu engkau di muka gerbang.]
Begitulah isi pesan singkat yang kuterima. Khayalanku sudah berhenti sekarang, dan aku harus segera keluar dari sini.
Segala barang sudah selesai kumasukkan dalam tas. Sebelum beranjak, sekali lagi kuraba laci meja, memastikan tak ada yang tertinggal—termasuk sampah semacamnya. Baru kemudian, aku bangkit dari kursi sambil menjinjing tas.
Sebelum keluar kelas yang sudah sepi, kupastikan pintu loker terkunci rapat. Barangku yang lain aman di sini, seharusnya. Baiklah, mari tenangkan pikiran dan berjalan pulang sekarang.
Keluar dari kelas. Menggantung tas di sebelah bahu. Berjalan menyusuri lorong yang hening. Menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Bergegas ke loker sepatu.
Berlawanan dengan kebiasaan awalku yang datang awal pulang akhir, belakangan ini aku pulang cepat-cepat. Tentu, itu untuk menghindari situasi tidak menyenangkan yang menghantuiku. Hanya saja, hari ini, karena beberapa urusan, aku jadi pulang sore lagi.
“Hei, kau!”
Dan ya, bersamaan dengan seruan menghina itu, ketakutanku datang menghampiri.
Aku menoleh, dan merespons dengan berkata, “Aku?” sambil menunjuk diri sendiri.
“Iya kau! Yang punya nama norak!”