Kreator & Kacamata - The Anthology

Kosong/Satu
Chapter #38

Parabellum - Countermeasure

Ya, aku memang bodoh. Tidak punya stamina yang mumpuni, tapi memaksa lari jarak jauh. Ketika sampai di sebuah taman, pandanganku seketika menjauh, memutih dan hampir saja tubuhku jatuh ke tanah. Ya ampun, ya ampun.

Butuh waktu cukup lama hingga napas kembali ke ritme semula. Dan sekarang, aku berbaring di atas bangku taman, memakai tas sebagai bantalan, lalu memayungi wajah dengan lengan. Mengistirahatkan badan yang panas, sampai terpaksa melepas jaket almamater.

 “Sudahkah kau merasa lebih baik, Kreator?”

Aku tidak bisa memastikan letak sumber suara itu sebab masih merasa sedikit pusing. Saat kusingkirkan lengan yang menutupi mata, alangkah kagetnya diriku, wajah itu tepat berada di atasku.

Tentu, ini tidak seperti film horror yang mana wajah yang menyambut kita menyeramkan dan penuh luka. Sebaliknya, wajah gadis itu kemungkinan adalah idaman para gadis. Sosok wajah yang bisa dikatakan sebagai perwujudan dari kata indah itu sendiri. Tanpa peluh sama sekali, meski dia juga ikut lari bersamaku tadi.

Tetapi sekali lagi, bagiku, yang paling menonjol darinya adalah aksesoris itu. Ya, kacamata itu. Dia menatapku sambil memegangi sebelah gagang di telinganya supaya benda itu tak jatuh menimpa mukaku.

“Ya, beri aku sedikit waktu,” lirihku.

Aku tidak melihat, tapi nampaknya dia meletakkan sesuatu di bangku, di dekat kepalaku. Terdengar suara benda keras ditaruh, dan gemerisik plastik. Kemudian, kudapati suara lain. Gadis itu duduk, sepertinya.

Setelahnya, kurasakan ada angin yang berembus ke wajahku. Tidak konstan, tapi bergelombang. Juga, samar-samar kucium aroma harum dari tiap embusan tersebut. Saat kubuka mata, dia mengipaskan topi baret yang tadi ia pakai rupanya.

“Aku punya cukup banyak waktu untuk dibagi denganmu, Kreator,” celetuk gadis itu, yang diakhiri dengan tawa kecil yang ditahan.

Ku mengeluh, “Kau bilang begitu setelah seminggu tidak masuk sekolah, Kacamata?”

“Aduduh, apakah kau kesepian selama seminggu diriku tidak di Jepang?” Kali ini, dia berbicara seperti berkelakar.

“Memangnya kau ke mana, sih?” tanyaku, mengalihkan topik.

“Al-Quds1. Ada sedikit pekerjaan yang harus kulakukan di sana, dan aku baru kembali pagi tadi.”

Al-Quds? Di mana itu coba? Jazirah Arab ‘kah? Yah, sudahlah.

Dia adalah orang yang mengirimiku pesan singkat tadi. Kupanggil dia Kacamata. Aku lupa sejak kapan, tapi dia kerap berputar-putar di sekitar diriku. Bukan berarti tanpa alasan juga, tapi, aku hanya tak yakin dengan apa yang dipikirkannya.

Dia adalah sosok yang dikatakan terbaik di lingkungan sekolah. Bergelar ‘Nona Sempurna’, dan dikenal oleh setiap orang. Selain nilai akademisnya yang top-class, latar belakangnya sebagai putri konglomerat ikut andil mendampingi gambaran sopan santunnya, yang mendongkrak derajatnya dalam masyarakat.

Orang seperti itu, bergaul dengan pemuda biasa yang mudah ngos-ngosan meski cuma lari beberapa blok sepertiku, tentu agak aneh. Namun, sudah, tak ada yang bisa kulakukan. Kami sudah telanjur terikat dalam hubungan tak jelas ini.

Hubungan kami sebetulnya tidak spesial juga. Meski kami sudah menyebut diri masing-masing dengan nama panggilan, kami ini cuma sebatas teman biasa. Ya, teman biasa.

“Maaf, ya, aku minta tolong saat kau sibuk.” Dalam hati, sedikit, ku merasa sesal.

“Tak apa, Kreator.” Dan seperti biasa, Kacamata mengalirkannya begitu saja. “Daripada itu, apakah pesananmu ada hubungannya dengan situasi yang barusan kauhadapi tadi?”

Ya, tentu saja.

Lihat selengkapnya