Tubuhku—juga udara di taman ini mulai terasa dingin. Kuputuskan untuk memakai kembali jaket almamater yang tadi kugantung di senderan bangku. Kacamata di sebelahku ... yah, dia sepertinya tak punya masalah dengan suhu sementara ini. Sepertinya tak masalah untuk berbicara lebih lanjut di bawah langit sore hari ini.
“Kacamata, tindak perundungan adalah masalah, dan masalah pasti memiliki pemicunya,” jelasku.
“Ya, itu benar,” sahut Kacamata datar. “Dalam hal ini, bisa dikatakan sebagai motif, ‘kan?”
“Ya. Orang tidak selalu melakukan perundungan semata-mata karena mereka jahat. Memang ada kemungkinan seperti itu, tetapi, tetap ada faktor lain seperti lingkungan dan semacamnya yang dapat saja memicu kebiasaan buruk tersebut,” lanjutku.
Kemudian, Kacamata segera menyimpulkan, “Dan kau ingin mencari tahu pemicu itu melalui data pribadi Kurogane Kaname-san dan kawanannya.”
“Benar. Aku tidak terlalu mengenal mereka, tidak mau juga, sih, sebenarnya. Makanya aku meminta tolong soal ini padamu.”
Setelah melakukan pencarian di internet, aku menemukan beberapa alasan kenapa orang melakukan tindangan perundungan. Beberapa di antaranya adalah, pelaku pernah menjadi korban, pelaku memiliki masalah berat, pelaku kurang mendapat perhatian, ingin dipandang dominan, rasa iri, sekadar ikut-ikutan, mencari keuntungan, dan yang agak tidak kusukai, sekadar main-main.
Kalau dilihat lagi, banyak juga faktor yang mempengaruhi orang untuk merisak orang lain, ya. Apa yang hendak kulakukan adalah, menilai perilaku si Kurogane demi menentukan alasan utamanya melakukan perundungan, lalu kalau bisa menghilangkan alasan tersebut. Tapi ...
“Hmm, Kaname-san tidak pernah menjadi korban,” celetuk Kacamata seketika, tepat selepas aku berhenti bicara sejenak.
“Aaah, sesuai dugaan, ya,” balasku kecewa.
“Keluarga Kurogane bisa dibilang cukup terpandang, lo, Kreator. Agak aneh memang mengatakan ini sendiri, tapi mirip-mirip kondisinya dengan keluargaku. Aku tidak berpikir dia pernah dirisak,” terang Kacamata lebih lanjut.
“Tapi bisa saja, ‘kan? Karena dia kaya, jadi dia kena palak, atau semacamnya ...”
Untuk argumenku barusan, dia segera menyanggah, “Tapi tidak ada laporan seperti itu dari data yang kutemukan. Juga, coba pikir, ketika Kurogane Kaname-san masuk SD, kakak laki-lakinya sudah menjadi anggota kepolisian. Kalau aku, tak akan berani macam-macam dengan anggota keluarga kepolisian.”
Yah, itu mungkin cuma anggapan pribadi, tapi masuk akal juga bagiku. Aku juga tidak akan macam-macam pada keluarga polisi.
“Jadi, mungkin saja dia punya masalah di keluarganya? Kurang diperhatikan orang tuanya, mungkin ...” Aku lanjut mengira-ngira.
“Sepertinya tidak juga,” Kacamata diam sejenak. Mengambil ponsel lagi, lalu membuka berkas yang dikirimnya padaku tadi. “Syukurlah keluarganya masih lengkap, tidak ada laporan mengenai masalah dalam keluarga, ini juga berlaku pada ekonomi. Apa yang diinginkannya, orang tua akan memberikannya pasti. Kalau kau tanya pendapatku, masalahnya ada pada Kaname-san sendiri.”
“Aaah, ya ampun, perilakunya, ya.”
“Meski seharusnya dia tidak punya masalah dengan ekonomi, ada laporan kalau dia memalak siswa lain di beberapa kesempatan. Kaname-san juga memiliki nilai akademis yang cukup tinggi, jadi seharusnya dia tidak punya alasan untuk merasa iri atau inferior dibandingkan kebanyakan siswa.” Penjelasan lain dari Kacamata memaksaku menghela napas panjang.